19. PERPUSTAKAAN

571 70 5
                                    

Bunga matahari selalu setia mengikuti arah matahari bersinar. Kalau aku selalu setia denganmu, apa boleh?

                       


TEPAT tiga minggu sejak Beryl mendapatkan clue pertamanya pun tiba. Itu artinya waktu Beryl hanya tersisa satu minggu lagi. Dibilang gelisah tentu saja Beryl gelisah. Apalagi kemarin ia sudah mendapatkan clue kedelapan yang dikirim bersama buket bunga matahari yang cantik.

Tentu saja itu membingungkan.

Pertama orang itu mengirimkan kertas-kertas aneh. Lalu permen lolipop di lokernya. Lalu boneka berdarah, dan sekarang bunga? Apa maunya?

“Bekal pagi itu disiapin Bi Amy. Terus sebelum pelajaran gue ke kamar mandi dan bekal gue ada di atas meja. Jam istirahatnya gue ke kantin sama Amara sama Kuker. Jadi stickynote itu ditempel kapan?”

Kepala Beryl rasanya ingin pecah kalau diajak mengingat-ingat. Tiba-tiba ada seruan seseorang memanggil namanya. Beryl berbalik badan.

“Gue?”

Siswi berkerudung instan itu mendengus pelan. “Belakang lo.”

“Nama lo Beryl?” tanya Beryl pada salah seorang siswa berkacamata di belakangnya. Siswa itu menggeleng. Dia laki-laki, ya mana mungkin namanya Beryl.

Ya kali.

“Dia bukan Beryl.”

Dengan gemas siswi itu memindahkan tumpukan buku tulis di tangannya ke tangan Beryl. “Tolong bawa ini ke kelas dua belas A Satu, gue ada panggilan alam.” Setelah berucap terima kasih, siswi itu berlari ke arah lain yang sudah Beryl lewati tadi, kamar mandi.

Kebetulan siang ini guru-guru sedang mengadakan rapat, jadi tidak ada pelajaran. Tadi Beryl hanya ke kamar mandi sebentar dan berniat kembali ke kelas. Tapi belum sampai tujuan malah mendapat tugas tambahan. Untungnya kelas yang dimaksud ada di lantai dasar. Gadis itu menghela napas pelan dan membenahi beberapa buku yang hampir jatuh dari tangannya.

Bruk

Buku-buku yang dibawa Beryl berjatuhan ke lantai koridor. Tak terkecuali manusia yang membawanya.

“Maaf gue gak sengaja.”

Beryl menggeleng. “Gue yang jalannya gak lihat-lihat.”

“Lo gak pa-pa?”

Beryl merasa tidak asing dengan suara itu, gadis itu mendongak. “Lo yang waktu itu tolongin gue di rumah sakit, kan?” Diam-diam Beryl berdecak kagum, sedang memakai seragam sekolahpun gadis itu terlihat menawan.

Siswi itu mengangguk dan membantu Beryl berdiri. Lalu membantu memungut buku-buku yang berserakan di lantai. “Gue bantu bawa.” Setengah tumpukan buku dibawa Beryl dan sisanya dibawa siswi itu.

“Kaki lo sakit ya? Mau gue antar ke UKS?”

“Enggak usah. Tadi cuma kepentok bangku doang kok, gak pa-pa.” Beryl melirik bagian kanan seragam siswi itu. “Nama lo siapa?” Keduanya mulai berjalan beriringan menuju kelas 12 A-1.

“Berlian.”

“Kelas lo di mana?”

Berlian menunjuk ke arah lantai dua di seberang mereka. “Kelas sebelas?” Berlian mengangguk. Di saat itu juga Beryl memalingkan muka, malu sudah bersikap seolah Berlian seumuran dengannya.

Berlian tersenyum maklum. “Ini hari kedua gue sekolah di sini.”

“Murid pindahan?” Lagi-lagi Berlian tersenyum. Gadis itu benar-benar cantik.

Celandine ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang