17. RAGU

598 78 4
                                        

Aku tau posisiku. Sebatas slogan kodomo bagimu.
                 

“AMARA, mana?”

Kuker meletakkan nampan berisi tiga porsi rujak buah dan tiga minuman dingin ke atas meja. Gadis itu celingak-celinguk menatap setiap sudut kantin. Nihil. Di antara manusia-manusia lapar ia tak menemukan yang mana satu makhluk bernama Amara.

“Kamar mandi.”

Kuker mengangguk singkat dan mulai menikmati rujaknya, begitu pula dengan Beryl. “Ber, kemarin gue ketemu Ataya di toko boneka.”

Beryl mengerutkan dahi. “Ataya jual boneka?”

Alih-alih menjawab Kuker justru hilang fokus dan ternganga menatap ke arah lain. Beryl ikuti arah pandangnya, sekarang ia tau alasan Kuker ternganga. Sahabatnya itu sedang mengerjap kagum menatap salah dua kakak kelas ganteng yang selalu muncul dimana-mana, Saadan dan Arkananta.

Daebak, gantengnya gak ada akhlak,” kata Kuker terkagum.

Beryl hanya geleng-geleng kepala. Memangnya ganteng yang berakhlak itu yang bagaimana?

Ada-ada saja.

Lihat cogan dikit aja langsung meleng. Beryl jadi berpikir, bagaimana jadinya kalau ia beritahu Kuker jika dirinya satu atap dengan Aruna atau Haydar? Bisa mimisan kali. Salah sendiri sahabatnya yang satu ini bucinnya kelewat akut.

“Demi yang idaman, gue rela ngejar doi kayak yang di novel-novel fiksi kebanyakan.”

Setidaknya itu ucapan Kuker tahun lalu yang Beryl ingat. Saat itu Kuker bilang sedang mengagumi seseorang, yang sampai sekarang bahkan masih belum ia dan Amara ketahui bagaimana bentuk dan rupanya.

Setelah beberapa saat Kuker melenceng dari topik akhirnya gadis itu kembali ke fokusnya semula. “Ih bukan gitu, Supirmin. Gue lihat Ataya di toko boneka sama cewek, cantik banget. Kayaknya sih pacarnya.”

Beryl menusuk potongan buah mangganya penuh kekuatan. “Terus apa untungnya lo kasih tau ke gue dan apa untungnya gue denger itu?”

“Ya gak pa-pa. Kali aja lo terbakar api cemburu,” kekeh Kuker tanpa dosa.

Beryl manggut-manggut, ekspresinya berubah jadi sok serius. “Gue jadi ngerti, besok-besok kalau masak gak usah pake api kompor, Kuk.”

“Terus pake apa?”

“Pake jealous lah.”

“Kan jealous bisa menghasilkan api.” Kuker mendengkus keras mendengar jawaban nyeleneh Beryl.

Beryl melirik Kuker ragu. Mungkin ini kesempatannya untuk menyelidiki Kuker. Ah, sepertinya dewi fortuna memang berpihak padanya. “Kuk, waktu itu lo pernah bilang kalau ada terror di sekolah ini.” Di sela makannya Kuker mengangguk singkat.

“Siapa yang kena terror?”

“Kakak kelas jurusan bahasa.”

“Yang bulan lalu jatuh dari tangga?” Lagi-lagi Kuker mengangguk.

“Siapa pelaku terrornya?”

“Sahabatnya sendiri.” Sesaat setelah menjawab tiba-tiba Kuker memandang Beryl aneh, kedua mata gadis itu memincing curiga. “Kenapa tiba-tiba lo tanya itu? Lo diteror?”

Beryl menggeleng penuh keyakinan.

Tak ingin berpikir lebih jauh, Kuker manggut-manggut mengerti. “Lo pernah gak sih ngerasa ada yang aneh sama Amara?”

“Aneh gimana?”

“Aneh aja, dia misterius.”

“Kayak ada sesuatu yang dia sembunyiin gitu.”

Diam-diam Beryl mengiyakan dalam hati. Apalagi mengingat dua hari yang lalu saat Amara datang ke rumahnya, gadis itu memang sangat misterius. Meskipun sudah bersahabat sejak SMP, rasanya seperti ada hal yang tidak ia dan Kuker ketahui tentang Amara. Entah tentang apa.

Beryl terdiam.

Kenapa pikirannya mencerna seolah-olah Kuker meragukan Amara? Kalau ia pikir-pikir tadinya Amara juga seperti menyiratkan sesuatu tentang Kuker. Kenapa seolah-olah mereka sama-sama menyembunyikan sesuatu? Apa yang Beryl tidak tahu?

Beryl ragu.

Beryl meragukan Amara. Beryl juga meragukan Kuker.

Beryl meragukan keduanya.

Tapi, apakah pantas jika ia meragukan sahabatnya sendiri?

Lalu, apa salah satu dari mereka ?

“Oh iya, ini si Amara di kamar mandi lama banget sih? Kan kasihan ini rujaknya di-pedekatein lalat. Atau jangan-jangan dia lupa... ”

Setelahnya Beryl tak bisa mendengarkan apa rentetan omelan Kuker. Fokusnya teralihkan pada layar ponselnya. Ada nama seseorang yang tertera jelas di sana. Setelah meminta izin Kuker, Beryl keluar kantin dan mencari sudut koridor yang cukup sepi.

“Waalaikumsalam, Ma.”

Suara lembut dari seberang sana kembali bersuara. “Kabar kamu gimana, Sayang? Maaf akhir-akhir ini Mama jarang perhatikan kamu.”

Niat Beryl untuk membuka suara urung saat fokusnya justru teralihkan pada seorang senior dan siswi pindahan di sekolahnya. Kalau tidak salah nama senior itu kak Aidan dan siswi berwajah pucat itu bernama Aiko.

“Lo lupa lagi buat bilang makasih ke gue.”

Itu suara Kak Aidan yang membuat Aiko berhenti melangkah dan mengucap terima kasih dengan datarnya, lalu pergi begitu saja.

Sekilas Beryl ingin sekali tertawa melihat interaksi keduanya. Kak Aidan dengan ketengilannya dan Aiko dengan sikap dingin dan aura mengerikannya.

Beryl kembali ke fokusnya. “Iya, Ma. Beryl baik-baik aja. Udah ada bi Amy juga kok.”

Detik itu juga Beryl menggigit bibir bawahnya. Pasti ia mendapat dosa karena telah berbohong pada Mama-nya. Mama-nya tidak tahu jika ia menginap di rumah Tante Luna, yang sebenarnya belum begitu dikenalnya. Ia masih butuh waktu untuk menjelaskan ke Mama-nya dan ia juga tidak mau Mama-nya di sana jadi khawatir.

“Dokter, pasien kamar nomor dua puluh kritis.”

“Beryl, maaf Mama harus tutup telfonnya ya.”

Belum sempat menjawab, telepon sudah lebih dulu terputus secara sepihak. Beryl menghela napas. Mau bagaimana lagi?

Di tempat lain tanpa sepengetahuan siapapun, terlihat Amara sedang berbicara dengan seseorang di telfon. Sekilas gadis itu tersenyum miring.

Sedangkan di tempat yang lain lagi, tanpa ada yang tahu siswi ber-name badge Kukira Juniper sedang sibuk mengetikkan sesuatu di ponselnya. Samar-samar gadis mengulum senyum misterius.

To be continued...

Best Regards,
alfyixx

Celandine ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang