Hardin sudah menunggu kedatangan Reyhan sejak tiga puluh menit yang lalu. Dia sudah menghabiskan satu gelas Moccacino yang dia pesan. Kini dia mulai memesan minuman kedua. Sudah berkali-kali dia melirik arah jam di tangan kirinya. Sepertinya Hardin mulai bosan.
Kalau saja bukan karena perintah Opah rasanya malas sekali bertemu dengan laki-laki itu. Meski dia sendiri menyadari semua ini terjadi bukan atas kesalahan Reyhan. Hanya saja egonya sebagai laki-lakilah yang lebih mendominasi.
Bagaimana pun Reyhan dan Katrina itu dulu pernah saling mencintai dan kini setiap kali memikirkan hal itu kepalanya kian terasa mendidih. Seandainya saja bisa, Hardin lebih memilih tinggal di Jakarta bersama Katrina, setidaknya Katrina dan Reyhan bisa tinggal di lokasi yang berbeda. Tapi, Hardin sadar bahwa dirinya lebih mengkhawatirkan keadaan istrinya jika harus dibiarkan tinggal sendirian di rumah mereka di raffless. Mimpi-mimpi buruk yang dia alami akibat memikirkan teror-teror itu kian hari kian menjadi. Membuat tidurnya tak bisa nyenyak. Meski kasus teror itu kini sudah dia pasrahkan kepada pihak yang berwajib tapi tetap saja Hardin merasa khawatir. Dia tidak mungkin meninggalkan Katrina sendirian di rumah tanpa ada pengawasan saat dirinya harus bekerja, jika dia tetap memaksakan diri untuk kembali Jakarta. Kalau di Podomoro setidaknya keamanan Katrina lebih terjamin. Rumah itu sudah dilengkapi dengan sistem keamanan berbasis komputer serta sensor passive infra red yang terpasang di segala penjuru rumah. Jadi jika sampai ada pergerakan yang mencurigakan pasti akan langsung terdeteksi dengan cepat.
Hardin membenarkan posisi duduknya ketika dia melihat sosok Reyhan dikejauhan yang baru saja memasuki area Cafe. Pandangan Reyhan menyapu seluruh sisi ruangan dan mendapati Hardin duduk di ujung ruangan yang berhadapan langsung dengan kolam besar dibawahnya. Cafe ini didominasi oleh dinding-dinding kaca, jadi dari atas sini mereka bisa menikmati pemandangan dibawahnya.
Reyhan duduk di samping Hardin. Pandangannya lurus menatap dinding kaca dihadapannya. Tak sama sekali menoleh pada laki-laki disampingnya.
"Mau pesen minum, Han?" Hardin akhirnya memulai percakapan setelah mereka berdua cukup lama terdiam. Dia sadar raut wajah Reyhan sepertinya masih terlihat kesal.
"Nggak usah. Langsung ke intinya aja, ada apa?" nada bicara Reyhan terdengar datar, ekspresi wajahnya dingin. Sedingin es di kutub.
"Opah minta lo untuk meninjau keadaan perusahaan di Jakarta. Gue sendiri nggak tau ada masalah apa. Padahal gue udah telepon Dimas, tapi Dimas bilang semua lancar-lancar aja. Nggak ada masalah. Tapi Opah tetep ngotot nyuruh lo supaya lo kesana," Hardinpun menjelaskan.
"Lo nggak bilang sama Opah, kalau gue resign?"
Hardin terdiam. Dia jadi serba salah. Meski akhirnya dia bicara juga.
"Gue minta maaf, Han, kalau kata-kata gue tempo hari udah menyinggung perasaan lo. Gue cuma emosi aja, mungkin efek banyak pikiran karena masalah Angel waktu itu."
Reyhan tersenyum sinis. Reyhan mengerti alasan apa yang membuat Hardin tidak memberitahukan pada Opah perihal keluarnya dia dari perusahaan. Pasti karena Hardin takut Opah akan marah. Apalagi?
"Bosen gue denger lo bilang maaf melulu. Tapi ujung-ujungnya tetep aja mengulangi kesalahan yang sama." Reyhan memutar-mutar kontak mobilnya di atas meja. Pikirannya kembali tertuju pada Dimas.
"Gimana kasus teror yang menimpa Katrina? Apa udah ada perkembangan?" tanya Reyhan. Dia jadi kembali curiga pada Dimas mengenai teror-teror yang menimpa Katrina selama ini. Setelah dia mendengar penjelasan Kisya tadi. Sepertinya Dimas itu ingin sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampaui. Meski atas dasar alasan apa Dimas melakukan semua itu, Reyhan sendiri belum menemukan jawabannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA DARI MASA LALU (End)
Romance# 1. Sahabat sejati (14 - 09 -2019) dr 440 cerita # 5. Pilu (07 - 11 - 2019 ) dr 632 cerita Kisah Romansa 21+ Follow dulu sebelum membaca... Sequel lanjutan dari CINTA DI BALIK CADAR Yang paling suka dengan cerita romantis yang bikin baper, ayo mari...