"Huuh, kenapa sih kalau belanja harus ngajak aku?" Zaki mendorong troli yang sudah penuh barang sambil terus mendumal. "Mana dari tadi nggak kelar-kelar pula. Cepetan dikit dong, Squid!"
"Squid-squid!" Melissa menyorot sengit adiknya. "Bisa nggak sih nggak protes melulu?" ia mengomel, memasukkan beberapa bungkus mie instans lagi ke celah troli yang tersisa. "Dipikir kita belanja buat siapa, heh? Mau nggak makan satu bulan?"
Bibir Zaki mengerucut. "Tapi yang biasanya belanja kan cewek. Jadi Kak Mel kalau mau belanja sembako sama Bunda, kek. Masa iya cowok ganteng macam aku gini tentengannya minyak goreng sama tepung terigu?"
"Halah, nggak usah sok kecakepan!" Melissa menyemprot sekaligus menimpuk kepala Zaki dengan buntalan kertas daftar belanjaan. "Terus maunya kamu nenteng apa? Gitar, iya? Makan tu gitar sampai kenyang!"
“Yee, gitar bisa menghasilkan uang kali. Bisa banget kalau cuma bikin perut kenyang. Jangankan buat beli makanan, buat dongkrak ketenaran aja bisa," balas Zaki bangga.
"Nggak usah sok artis, deh. Jijik aku tu liatnya," Melissa menutupi mulut dengan tangan, berlagak ingin muntah. "Denger, ya! Kamu ini anak cowok satu-satunya di keluarga kita, jadi mesti bisa diandalkan. Harusnya kamu bersyukur cuma disuruh nemenin belanja. Coba kamu hidup di jaman jajahan Belanda. Anak cowok nggak bakalan bisa jalan-jalan santai apalagi tebar pesona."
"Kenapa nggak bisa?"
"Kok kenapa? Ya kamu pasti sibuk kerja rodi bangun terowongan atau masang rel kereta lah. Lagak dikit langsung penggal tuh kepala!"
Zaki menggeleng-geleng, tampak tak habis pikir dengan kakaknya. "Ya tapi kasihan para pahlawan yang udah berjuang keras demi bangsa dan negara kalau ujung-ujungnya para pemuda dijadiin budak sama kaum wanita."
"Mulut sembarangan! Emang kapan kamu diperbudak? Lagian mana ada budak nyolot kayak kamu?" sembur Melissa langsung saja, nyaris menempeleng kepala adiknya. "Udah deh, mendingan kamu diam terus antri ke kasiran dulu sana! Aku lupa belum ngambil tisu tadi."
Walau merasa sebal tapi Zaki menurut saja akan perintah kakaknya. Dengan malas-malasan ia mendorong lagi troli yang semakin penuh lantas berbelok menuju tempat kasir. Super market tempatnya belanja cukup ramai sore-sore begini. Namun syukurlah antrian pembayarannya tak sepadat hari-hari pada akhir pekan.
Memang bukan hanya kali ini Zaki mengantar kakaknya berbelanja. Hampir setiap bulan ia selalu menemani Melissa atau ibunya pergi jika sedang luang. Namun sore ini ia cuma sedang merasa buruk dengan suasana hatinya, makanya bawaannya gampang kesal.
Baru saja saat memarkir motor di halaman super market, Zaki melihat Naira. Ia sedang jalan berdua dengan anak SMA Pahlawan itu, memasuki kafe di dekat tempatnya dan Melissa berbelanja.
"Jadi lo suka makanan yang manis-manis?" tanya Oki yang terbawa angin sampai ke telinga Zaki. "Gue perhatiin dari kemarin, lo sukanya pesen makanan manis. Terus kalau makan mie atau bakso lo ngambil sambelnya dikit banget."
"Oh, lo lihat ya?" Naira terkekeh kecil, wajahnya agak malu. "Soalnya gue nggak bisa makan yang pedes-pedes, Ki. Perut gue gampang sakit. Tapi kalau makan nggak ada pedesnya agak aneh gitu. Jadinya kalau ngambil saus apa sambel beraninya dikit aja."
"Kalau gitu besok gue mesti ngajak lo ke tempat makan favorit nyokap gue. Di sana ada ayam geprek, ayam penyet, yang sambelnya enak banget tapi nggak pedes. Lo pasti suka. Nyokap gue nggak seneng makanan yang terlalu pedes juga masalahnya. Jadi lo mesti nyoba."
"Boleh, deh," Naira mengangguk. "Tapi tempatnya nggak jauh banget kan, Ki?"
"Nggak, kok. Nggak nyampe setengah jam kalau dari sekolah lo. Keira sama Zein pernah gue ajak ke sana. Alvin juga. Mereka jadi jarang makan menu sejenis di tempat lain sejak saat itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Princess Pink's Boyfriend
Teen Fiction[SELESAI] Padahal jelas-jelas Naira sudah punya pacar. Pacarnya pun cakep, perhatian, dan personil band terkenal. Mereka juga saling sayang. Tetapi, kakaknya malah menjodoh-jodohkan Naira dengan seorang cowok judes yang merupakan teman sekelasnya. M...