39. Bayangan Semata

499 95 21
                                    

"Chok!" seru Lukas segera. "Tunggu sebentar! Lo nggak bisa mutusin hal penting kayak gitu sembarangan! Choki!" panggilnya lebih keras karena anak itu tak menoleh sedikitpun.

"Kas," Dylan yang mengetahui Lukas hendak mengejar Choki menahan bahunya. "Kayaknya bakalan percuma kalau lo ngomong sama dia di saat situasinya masih kayak gini. Biarin aja dulu. Besok kita ajak ngomong dia lagi setelah emosinya reda."

Walau agak kurang setuju tapi Lukas berakhir mengendurkan bahunya yang menegang. Ia membuang napas keras-keras lalu beralih menatap Zaki. "Sebenarnya ada masalah apa, sih? Apa yang kalian ributin sampai dia bisa ngomong kayak gitu?" ucapnya dengan nada kecewa. Lukas yang kesal tak menunggu Zaki memberi penjelasan, justru ikut pergi mengambil motornya. Ia pasti marah karena baru saja bertemu pemilik kafe untuk membicarakan urusan manggung.

Dylan yang menyaksikan temannya beringsut satu persatu menghela napas panjang. Ia kembali memandang Zaki. "Lo bisa cerita sama gue nanti kalau perasaan lo udah tenang," ujarnya seraya menyentuh punggung anak itu. "Sebaiknya lo juga pulang sekarang, Zak. Tenangin diri dan pikiran lo."

"Sori," Zaki mengangguk pada Dylan, menyibak rambutnya yang jatuh menutupi dahi ke belakang.

"Pokoknya nanti kalau udah mendingan, lo mesti langsung hubungi gue. Kasih tahu apa yang terjadi," kata Dylan, memeriksa setiap inci wajah sahabatnya. "Apa lo mau gue ikut pulang ke rumah lo aja?"

"Nggak perlu, Dyl. Gue janji, nanti setelah suasana hati gue baikan gue bakal langsung hubungi lo. Sekarang biarin gue sendiri dulu," Zaki menyahut. Dylan membalasnya dengan anggukan paham.

Setelah menyalakan motor masing-masing, dengan sengaja Zaki membiarkan Dylan pergi lebih dulu darinya. Pikiran Zaki saat ini masih begitu kacau. Rasanya ia tak yakin bisa selamat  sampai rumah jika berkendara dengan kepala berkecamuk seperti itu. Maka demi menghindari kemungkinan buruk yang ada, ia pun menunda kepulangannya. Sebagai pilihan ia menyeberangkan motornya menuju taman depan Holly yang senja ini tampak begitu sepi.

Zaki memarkirkan motornya di lahan bebas yang disediakan, kemudian berjalan ke salah satu bangku yang paling dekat dari gerbang masuk. Ia duduk di sana sambil merenungi apa yang tengah terjadi. Matanya yang tertuju pada lalu lintas jalan di luar area taman menatap kosong. Ia bahkan tak tahu apa saja yang lewat di hadapannya karena pikirannya jauh menerawang.

Ucapan demi ucapan Choki masih jelas terngiang di kepala. Zaki tak menyangka anak itu bisa mengucapkan kata-kata seperti itu terhadapnya. Ia juga tak menyangka dirinya sanggup memulai perkelahian dengan seorang teman baiknya.

Bagaimanapun Zaki merasa ia marah karena alasan yang masuk akal walau tindakannya tak bisa dibenarkan. Ia begitu tersinggung dengan perkataan Choki. Ia merasa dikhianati temannya sendiri. Padahal jika dipikir lagi tak ada yang salah dari ucapan anak itu. Choki mempunyai hak untuk menyukai seseorang. Hanya saja Zaki merasa kesal. Kenapa orang yang disukai Choki harus Naira? Kenapa bukan cewek lain saja? Choki sendiri tahu walau sudah putus Zaki masih sangat mengharapkannya.

"Aargghh, sial!" desau Zaki, kembali menyibak rambutnya yang terus jatuh ke dahi. Ia lalu mendongak menatap langit. Hari benar-benar mulai gelap. Ia bahkan tak ingat sudah mendengar suara magrib atau belum. Ibunya dan Melissa pasti akan mengomel ia belum juga sampai rumah padahal tak ada jadwal manggung. Namun biarlah. Ia ingin memenangkan pikirannya dulu saat ini.

Menyinggung soal manggung, Zaki jadi ingat bahwa Choki sudah bilang keluar dari band. Zaki menghempas napas kuat-kuat, masih tak percaya dirinya bisa berkelahi dengan seorang sahabat gara-gara perempuan. Kemarin-kemarin ia selalu tertawa dan meledek jika ada teman sekelasnya yang babak belur karena masalah cewek. Tapi sekarang justru dirinyalah yang terlibat dalam hal konyol seperti itu. Benar-benar memalukan.

Princess Pink's BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang