"Kelompok Dua!" suara Bu Hana, guru Kesenian SMA Bendera menggema penuh di kelas 12 Bahasa 3. "Berlian Pertiwi, Choki Mahardika, Mahesa Utomo."
"Yes!" Lian berbisik senang pada Naira di meja seberang. "Lumayan banget, nih. Tugas kali ini gue sekelompok sama Choki dan Tomo."
Naira cuma merespons kegembiraannya dengan menunjukkan satu jempol. Berikutnya ia memasang telinga lagi untuk mengetahui siapa saja kelompoknya untuk tugas pekan depan. Paling tidak dalam sebulan sekali Bu Hana akan mengambil nilai dari pelajarannya.
"Kelompok Tiga!" Bu Hana kembali bersuara. "Dylan Prayoga, Husni Efendi, Salsabila Seruni."
"Asiik, gue setim sama lo, Sa!" kali ini Husni berteriak dari bangkunya hingga Bu Hana dan Salsa kompak melototinya. Dylan sendiri cuma mengulas senyum. Tampaknya ia tak pernah keberatan sekelompok dengan siapapun.
"Kelompok Empat!" sejenak Bu Hana melihat catatan di buku panjangnya. "Adisty Maretta, Libra Fabian," jeda sekitar tiga detik karena bolpoin beliau jatuh, membuat anak-anak Bahasa 3 berdebar-debar, berharap bukan nama mereka yang dipanggil setelahnya. "... Naira Kenisha."
"Alhamdulillah...," bisik beberapa anak lega, berbanding terbalik dengan Naira yang langsung menggelosorkan kepalanya di atas meja.
Kenapa Bu Hana memasangkannya dengan Libra, sih? pikir Naira kesal. Padahal ia baru senang karena sejak kenaikan kemarin ia dan Libra tak pernah satu kelompok dalam berbagai pelajaran, tak seperti waktu kelas 11. Kalau begini bisa sia-sia Naira menghindarinya belakangan.
"Bisa-bisanya kita sekelompok sama itu manusia," keluh Disty, begitu Bu Hana menyuruh anak-anak berunding dengan kelompok yang sudah disebutnya. Untuk awal bulan ini para murid diberi tugas menampilkan pertunjukan musik dengan tema musim hujan.
"Lo bakalan marah nggak, kalau gue minta Bu Hana buat mindah gue ke kelompok lain?" Naira menanyai Disty meski tak yakin. "Gue nggak tahu entar gimana ngomongnya sama Arzaki. Mana akhir-akhir ini Libra serem banget kalau liatin gue. Gimana kita mau latihan bareng tiap hari kalau gue aja mau ngindarin dia?"
"Terserah lo sih," jawab Disty santai. "Tapi, emangnya lo berani ngomong sama Bu Hana?"
Naira menghela napas panjang. Dalam sejarah SMA Bendera, memang tak pernah ada yang berani mengganggu gugat keputusan Bu Hana. Guru Kesenian itu terlalu tegas dan galak untuk diajak bicara. Bahkan beliau menyandang sebagai guru killer nomor satu di SMA Bendera.
"Kali aja. Kita kan nggak tahu hasilnya gimana kalau nggak nyoba," ujar Naira lirih, menyaksikan Libra berjalan ke arahnya dan Disty karena diserui Bu Hana. Ia langsung mengangkat tangan. "Maaf, Bu Ha...."
"Kenapa?"
Belum sampai inti Naira bertanya, Bu Hana sudah lebih dulu memotong dengan suaranya yang lantang.
"Ada yang mau protes? Ada yang kurang setuju dengan kelompok pilihan saya?" kata beliau membuat kelas mendadak senyap seperti bekas pasar kebakaran. Rupanya tak hanya Naira saja yang tidak cocok dengan tim yang dipasangkan. Beberapa anak di bangku belakang juga tampak kurang senang.
"Silakan kalian protes, tapi jangan harap kalian mendapatkan nilai dari saya. Ingat, semester depan saya sudah tidak mengajar kelas kalian lagi. Pelajaran Kesenian untuk kelas 12 hanya ada di semester pertama. Jadi jangan salahkan saya kalau ada yang tidak lulus gara-gara nilai raport kosong dari pelajaran ini."
Kepala Naira lagi-lagi terkulai tak berdaya di atas meja. Belum-belum Bu Hana sudah menodongnya dengan senapan mematikan.
"Udahlah, terima nasib aja, Nai. Arzaki pasti ngerti lah kalau urusan pelajaran," hibur Disty, prihatin melihat keadaan Naira. "Tenang aja. Nanti gue bakal jadi wasit kalau-kalau Libra nyerang lo lagi," candanya lantas terpingkal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Princess Pink's Boyfriend
ספרות נוער[SELESAI] Padahal jelas-jelas Naira sudah punya pacar. Pacarnya pun cakep, perhatian, dan personil band terkenal. Mereka juga saling sayang. Tetapi, kakaknya malah menjodoh-jodohkan Naira dengan seorang cowok judes yang merupakan teman sekelasnya. M...