einundzwanzig

1.2K 111 6
                                    

Siegfried menatap nanar pintu ruang operasi yang tertutup perlahan. Dia mengusap kasar wajahnya. Sebelah tangannya masih setia merangkul pundak gadis tercintanya. Sedikit merunduk dia menyurukkan kepalanya ke lekukan leher gadis itu.

" I'm confused." Lirihnya.

Katharina dengan lembut mengusap punggung kekar lelaki itu. Dia sangat mengerti perasaan lelaki itu. Tatapannya yang sarat akan kesedihan dan kekecewaan membuatnya ingin terus berada di sampingnya untuk menguatkan dan menenangkannya.

" Bicaralah dengan Pap. Kau harus menyelesaikan ini semua. Tapi aku mohon tenang. Ingat Siegi. Aku mencintaimu. Pergilah. Aku akan menunggu di sini."

Suara lembut Katharina membuat Siegfried luruh dengan kediamannya. Dia teramat sangat mengerti dengan ucapan kekasihnya.

Dengan langkah terpaksa dia menghampiri Pap yang duduk agak jauh dari ruang tunggu. Lalu dia mengambil duduk di hadapannya. Pap menengadahkan wajahnya, menatap kaget kehadiran Siegfried. Segera lelaki tua itu menghapus air matanya.

" Siegi, maafkan aku." Ucap Pap dengan suara serak. Siegfried menatapnya dengan senyum sinis.

" Mengapa selama ini kau tidak mau bercerita. Kau sengaja menutupinya, Pap. Memanfaatkan hilangnya ingatanku. Aku kecewa, sangat kecewa sekali."

Ucapan Siegfried membuat Pap tertunduk dalam. Air mata tampak menyembul dipelupuk matanya.

" Aku selama ini selalu dibayangi kelebatan peristiwa. Aku melihat perempuan cantik berambut panjang, tertawa lepas dipelukan lelaki yang saat ini sedang berjuang antara hidup dan mati dimeja operasi." Siegfried menghela napasnya yang tampak sesak.

" Perempuan berambut panjang yang fotonya terpajang di meja kerjamu. Kau mengatakan dia Istrimu, Ibuku. Tapi mengapa dia tidak tertawa lepas dipelukanmu. Aku tidak pernah berani bertanya."

Siegfried mendengus kesal. Matanya tajam menatap Pap yang masih menunduk. Raut wajahnya memerah karena amarah.

" Lalu hari ini semuanya menjadi jelas. Sekarang aku hanya ingin mendengar jawabanmu Pap. Iya atau Tidak. Itu saja."

Tidak ada jawaban dari mulut Pap. Lelaki itu malah terisak. Pundaknya bergetar hebat. Tampak penyesalan yang teramat dalam dapat terlihat jelas oleh Siegfried. Lelaki itu berdecak.

" Berarti jawabannya. Iya. Aku saat ini inginnya marah atau membunuhmu. Tapi aku teringat perkataan kekasihku, yang kini sedang memandangiku dengan tatapan khawatir di sana. Aku tidak ingin menyakitinya dengan melakukan hal yang membuatnya menangis dan bersedih. Aku tidak ingin menyesal sepertimu, Pap." Siegfried menjeda. Dia menyilangkan kedua tangannya di dadanya. Berusaha meredam amarahnya.

" Aku juga menghargai lelaki tua yang mengaku sebagai Ayahku, yang dengan napas tersenggal memintaku untuk memaafkanmu. Lelaki yang telah rela dipenjara untuk sesuatu hal  yang tidak dia lakukan. Dia rela terkurung dan mengisi hidupnya dengan penyesalan dan tangis karena kehilangan wanita yang dicintainya."

Siegfried menghapus air mata yang turun membasahi pipinya. Dia sejenak tertunduk dan merapalkan doa untuk lelaki yang kini sedang memilih untuk bertahan atau menyerah.

" Lagi pula Pap, aku ingin melihatmu hidup dalam penyesalan dan rasa bersalah. Itu lebih sakit dari pada pisau yang tertancap di jantungmu yang akan membuatmu mati."

" Siegi, jangan hukum aku. Maafkan aku."

Suara Pap yang parau dan bergetar membuat Siegfried menyeringai. Sekilas dia menatap gadis yang sedari tadi tidak lepas memandanginya.

" Tidak Pap. Aku tidak akan menghukummu, kau yang akan menghukum dirimu sendiri. Minta maaflah pada lelaki yang kini berada di ruang operasi. Itu pun jika dia masih bisa bertahan hidup."

Siegfried bangkit berdiri dan siap melangkah ketika suara Pap menahannya.

" Aku tidak mencintai Ibumu ketika aku menikahinya. Aku menikahinya hanya karena permintaan dari Ibu Oliver dan Carl yang meninggal setelah melahirnya Carl."

Siegfried menatap Pap yang kini menatapnya. Sorot matanya menyipit dengan wajah datar.

" Thalia, dia anakku bersama Edwina. Kekasihku.  Aku ingin menceraikan Ibumu karena dia tidak juga mau hamil. Lalu ketika aku tahu dia hamil oleh Ayahmu, aku tidak mau mengakuinya. Aku terlalu sombong dan kesal kala itu. Ibumu yang bertahun menikah denganku tidak bisa hamil, lalu hamil begitu cepat ketika bertemu dengan Ayahmu. Lalu ketika Ibumu pergi, aku merasa tidak ingin kehilangannya."

Tubuh Siegfried menegang dan terpaku. Tidak ada sepatah pun kata keluar dari mulutnya. Hanya batinnya yang mengumpat, manusia licik dan egois.

" Aku mencintai Ibumu tapi telah terlambat. Aku membenci lelaki yang membuatnya berpaling dariku. Aku..."

" Cukup Pap. Jangan lagi memberikan pembelaan atas dirimu. Aku merasa bersyukur lahir ke dunia ini bukan karena dirimu." Tukas Siegfried cepat dengan gigi bergemeretuk.

Tangan lelaki itu terkepal erat. Sorot matanya menggelap karena amarah dan kecewa. Lelaki itu sangat terluka. Katharina yang melihat itu segera berlari dan merengkuh sosok besar itu. Lelaki itu menyambutnya. Katharina mengusap punggungnya lembut. Dia sampai harus berjinjit untuk menyampaikan bibirnya ke bibir lelaki itu. Airmata gadis itu mengucur deras.

" Dan ingat Pap. Aku Baldomero." Ucap Siegfried dengan suara kasar.

SIEGFRIED BALDRIK   ( COMPLETED )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang