tumbang

6.2K 556 18
                                    

SHEILA

"Rhe... jangan kasih tau keluarga gue yaa... please...," ujarku lemah. Rhea yang sedang mengetik di ponselnya mendadak berhenti dan menatapku dengan kening berkerut. Aku tau sahabatku ini khawatir sekali melihat keadaanku dan mungkin sudah tinggal memencet tombol send ke salah satu anggota keluargaku.

"Lo serius, Sheil? Masih aja ya... tapi gue tetap kasih tau Tama ya..." ucap Rhea tegas sambil menggeleng-geleng kepalanya melihat kelakuanku. Aku hanya sanggup mengangguk pelan. Kepalaku masih terasa berat sekali. Kuputuskan untuk memejamkan mata sejenak.

Sejak kecil, aku ini memang mudah sekali sakit. Bukan sakit parah, hanya demam dan flu biasa. Tapi entah kenapa sistem imun di tubuhku sepertinya kurang baik jadi aku seringkali terserang flu. Kalau sudah flu berat, aku biasanya susah makan. Yang akhirnya berimbas ke maag. Seperti hari ini, aku migrain luar biasa sejak pagi hanya karena kemarin aku terlambat makan siang. Kesibukan di lokasi career fair yang cukup ramai kemarin membuatku lupa makan sampai acara selesai. Yah akhirnya aku menyerah dan ada di IGD.

Semenjak kuliah, aku paling anti mengabari keluarga kalau aku sedang tidak fit, kecuali aku benar-benar terkapar tak berdaya di apartemen. Bukan apa-apa, aku tau Ayah sibuk dengan pekerjaannya, Mas Rio dulu juga sibuk dengan tugas kuliahnya, dan sekarang dengan pekerjaannya di site. Sementara Bunda, sudah pasti sibuk dengan urusan Chika, kesayangan keluarga Wiraatmaja.

Aku tidak tahu sudah berapa lama aku tertidur. Tiba-tiba aku merasakan ada yang membelai rambutku. Kucoba membuka mataku perlahan, samar-samar kulihat Tama berdiri di sisi tempat tidurku. Sorot matanya tetap teduh sekalipun ia tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Aku tersenyum sambil berkata lirih, "Hai, Tam..."

"Masih pusing? Maaf ya... kerjaan kantor ngga bisa ditinggal, jadi aku baru datang sekarang..." Tama duduk di kursi di sebelah tempat tidurku, dengan tangannya menggenggam tanganku.

"Udah lumayan kok... Rhea mana?" tanyaku menyadari sahabatku tidak ada di kamar ini.

"Rhea aku suruh pulang tadi, kasihan dia belum istirahat. Biar aku yang jagain kamu malam ini ya..." aku mengangguk pelan.

***

TAMA

Ga tega banget rasanya ngeliat Sheila pucat ga bertenaga gini. Beda banget sama dia biasanya yang selalu ceria, selalu punya segudang cerita seru di setiap hari-harinya. Cerita-cerita Sheila itu udah kayak dongeng sebelum tidur buat gue.

Waktu tadi siang Rhea whatsapp dan bilang kalau dia lagi bawa Sheila ke IGD, rasanya gue pengen langsung ijin aja dari kantor dan menuju ke RS. Sayangnya waktu Rhea telepon gue masih di tengah meeting di kantor klien bahas project instalasi VSAT.

"Eh... mau duduk ya, Sheil... sebentar tempat tidurnya aja yang ditegakkin... kamu baring aja ya...," titah gue segera setelah melihat Sheila berusaha bangun dari tidurnya. Duuh cinta gue ternyata kalau tumbang begini ya. Gue kira energinya selalu unlimited, ternyata dia bisa sakit juga.

"Makan dulu ya? Aku beliin bubur ayam tadi... Terus minum obat..." Sheila hanya mengangguk pasrah. "Oh iya, orang tua kamu udah tau kamu opname?"

"Belum... nggak usahlah... paling aku besok juga udah boleh pulang... cuma karena telat makan aja kok ini..." Entah kenapa Sheila kayaknya enggan ngasih tau keluarganya. Tapi gue ga mau protes, dia yang tau kondisinya. Tugas gue ya nemenin dia sampai dia sembuh. Itu aja dulu.

"Sibuk banget ya kerjaan kamu?" Yang ditanya hanya meringis.

"Aku udah ngasih tau kamu kan ya, tiga harian ini aku kan jaga stand job fair di Universitas Bina Bangsa, dan ramai banget ternyata. Yaa maklumlah sebentar lagi musim wisuda kan, jadi banyak yang mulai cari-cari kerja. Terus baru sempat makan jam 4... Terus tadi malam kan ada Chelsea lawan Ajax di tv... kamu udah liat highlightnya belom sih gila ya... "

"Lek ngono yo kowe sing cari penyakit toh, ndhuk..."

SHEILA

Waduh, mati. Jawanya Tama udah keluar. Salah ngomong nih kayaknya. Tama menepuk jidatnya lalu menatapku dengan tatapan menusuk yang sungguh tidak baik untuk kesehatan jantungku.

"Ya terang aja kamu masuk rumah sakit, udah telat makan terus begadang pula... gemes aku sama kamu...," protes Tama sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Aku cuma bisa nyengir sebelum menyuap bubur ayam yang sudah dibelikan Tama. "Iya, ini aku makan ya... udahan dong ngomelnya, Mas..."

Tama melihatku sambil menyipitkan matanya. Aku tertawa geli. Tama itu suka salah tingkah kalau tiba-tiba aku panggil mas. Yaa secara umur toh memang dia lebih tua 4 tahun dari aku. Jadi nggak papa dong? Ya kan? Iyain aja ya.

"Kamu besok ke kantor jam berapa?" Kantor Tama memang menerapkan kebijakan flexi time walaupun Tama sendiri sama sepertiku yang tipikal morning person.

"Siangan aja, kalau memang kamu udah boleh pulang besok, biar aku temenin kamu dulu ke apartemen baru aku ke kantor. Nggak ada yang urgent juga kok besok... Ini kamu udah makannya?" tanya Tama yang kujawab dengan anggukan pelan. Lidahku masih terasa pahit, perutku masih agak mual, aku hanya sanggup menghabiskan setengah porsi. Tama mengambil stereofoam tempat buburku kemudian memberikan segelas teh manis hangat.

"Tam, aku besok naik taksi online aja nggak papa lho... kalau malam ini kamu mau pulang juga nggak papa... kasihan kamu di sini nggak nyaman tidurnya...," ucapanku ini langsung dijawab tatapan tajam Tama yang sulit kuartikan.

"Sheila Naladhipa, aku kan tadi udah bilang malem ini aku yang jagain kamu. Besok juga aku temenin. Titik. Ini kamu minum dulu obatnya, terus istirahat lagi ya..." tegas Tama sambil memberikan obat-obatan dari rumah sakit yang harus aku minum. Takut.

TAMA

Cewek gue ini bener-bener deh ya. Tipe-tipe cewek yang saking mandirinya, jarang banget mau terima bantuan dari orang lain. Padahal, kadang badannya udah protes minta istirahat. Ya kayak sekarang ini. Terkapar di rumah sakit karena demam tinggi dan maag-nya kambuh.

Ada yang mengganjal sih sebenarnya. Kenapa ya keluarganya nggak dia kasih tau? Nggak mau bikin khawatir tapi kan nggak segitunya juga kali. Ya nggak? Ah, tapi nanti aja deh bahasnya, kalau dia udah sehat lagi. Takutnya malah nambah-nambahin pikiran jadi nggak sembuh-sembuh.

"Tam, kamu nggak makan?" tanya Sheila setelah meminum obatnya.

"Aku udah makan kok tadi sebelum ke sini. Paling nanti maleman kalo...," belum sempat menyelesaikan ucapan gue, ponsel gue di saku kemeja berbunyi.

"Halo, Pak... iya, lho Bapak di sini? Kenapa? Ooh... enggak... iya... di kamar 225... oke...," selesai menutup pembicaraan singkat dengan Bapak, gue menemukan Sheila menatap gue dengan kening berkerut. Gue hanya tersenyum simpul, "Udah, kamu istirahat aja...,"

Gue mengusap puncak kepala Sheila yang mencoba memejamkan matanya. Ngeliat dia kayak gini tuh gue kayak punya adik perempuan. Iya, gue dulu sering ngebayangin apa sih rasanya punya adik, secara gue kan anak bungsu. Ternyata gini ya, rasanya gue pengen selalu ngejagain dia apalagi kalau lagi sakit kayak gini.

Tidak berapa lama setelah Sheila terlelap, gue mendengar suara ketukan di pintu. Gue bergegas membuka pintu dan menemukan Bapak berdiri di sana.

"Gimana hasil kontrolnya, Pak?" tanya gue setelah menutup pintu di belakang gue dan mencium tangan Bapak. Beliau melihat mobil gue di parkiran, makanya tadi langsung telepon.

"Normal, kok, cuma dikasih multivitamin aja sama dokter, supaya nggak sering capek. Ngomong-ngomong, ini Bapak nggak boleh jenguk teman kamu?"

"Anaknya baru aja tidur, Pak... takutnya malah kebangun denger kita ngobrol... duduk di sana aja yuk, Pak...," kilah gue sambil beranjak duduk di kursi pengunjung di depan kamar Sheila.

"Temanmu ini pasti perempuan ya, makanya Bapak nggak boleh jenguk?" tembak Bapak sambil merangkul gue yang jelas langsung salah tingkah.

"Namanya Sheila, Pak..."

Futsal Love [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang