SHEILA
Pagi ini aku bangun dan menemukan Tama masih terlelap di kamar tamu. Aku masih tidak percaya dengan apa yang terjadi menjelang tengah malam tadi. Di saat kupikir akan kehilangan Tama, ternyata ia justru memberikan kejutan terindah. Entah berapa lama waktu yang ia habiskan untuk meminta ijin ke pengelola, mendekor rooftop, dan menyiapkan segala sesuatunya. Aku mungkin memang terlalu insecure selama ini, takut kalau-kalau Tama akan meninggalkanku sama seperti yang sudah-sudah.
Dulu, aku tipe orang yang pembosan. Aku punya banyak teman lelaki yang akan siap sedia mengantarku ke mana saja, tapi tidak ada satu pun yang kuseriuskan. Sampai akhirnya aku bertemu Reinaldi, yang membuatku terbiasa dengan kehadirannya di kehidupanku. Bukan bosan, justru candu. Padahal, kalau kupikir-pikir, dia hanya datang kepadaku ketika sedang ada masalah. Mungkin salahku yang memang selalu senang mendengarkan cerita orang lain, mencoba membantu memberikan solusi. Eh, ternyata Rei malah kepincut sama Chika.
Ah sudahlah, daripada membahas masa lalu, lebih baik aku ke pantry dan menyiapkan sarapan buat Tama.
***
Sudah hampir jam sepuluh siang, Tama belum juga bangun. Aku memutuskan untuk mengecek kamar tamu kembali. Tama masih meringkuk di dalam selimut. Aku coba mendekatinya dan meraba keningnya. Astaga, badannya panas sekali. Pasti karena semalaman kena angin di rooftop. Aku bergegas kembali ke pantry dan menyiapkan kompres air dingin.
"Shh... tidur lagi ya...," ucapku pada Tama yang bereaksi saat handuk dingin menyentuh keningnya. Aku membenarkan letak selimutnya lalu kembali ke pantry dan memasak sup ayam untuk makan siang.
***
TAMA
Entah sudah jam berapa saat gue membuka mata. Yang gue tahu, kepala gue luar biasa pusing dan ada handuk kecil yang lembab di atas kening gue. Perasaan kemarin masih baik-baik aja. Emang sih, sempat bersin beberapa kali kemarin siang. Gue mencoba duduk bersandar di kepala tempat tidur kamar tamu apartemen Sheila. Ya, gue masih ingat gue menginap di sini, setelah sukses memberikan surprise untuk permaisuri gue yang berulang tahun hari ini. Gue meraih ponsel gue di atas meja kecil di sisi tempat tidur. Ternyata sudah jam setengah dua belas. Hampir dua belas jam berarti gue tertidur. Pantas aja bangun-bangun pusing. Hidung gue mencium wangi sesuatu yang masuk dari pintu kamar yang sedikit terbuka.
"Eh... udah bangun, Tam...," ujar Sheila yang tiba-tiba muncul dari balik pintu, "udah enakan badannya? Makan dulu yuk...,"
Gue tersenyum tipis dan bergerak duduk di sisi tempat tidur. Namun, saat gue mau berdiri dan menghampiri Sheila, pusing kembali menyerang dan membuat gue limbung.
"Astaga, Tama!" seru Sheila yang tahu-tahu sudah memegang lengan gue dan mendudukkan gue kembali di sisi tempat tidur, "pusing banget ya? Masih agak demam ini kamunya..., duduk di tempat tidur aja ya, aku ambilin dulu sup nya...,"
Gue hanya bisa mengangguk pelan dan kembali bersandar di kepala tempat tidur. Kenapa sih gue sekalinya sakit lebay banget gini? Kan jadi nggak enak sama Sheila.
"Makan dulu ya, Sayang... aku cuma bikin sup ayam aja sama telur dadar... mudah-mudahan kamu suka ya... aku udah pernah bilang kan, aku lebih bisa masak dessert dari-...,"
"Kamu ini ngomong apa sih?" potong gue sambil meletakkan telunjuk di bibir Sheila supaya dia berhenti bicara, "aku terima kasih banget, Sayang, kamu udah mau repot-repot ngurusin aku yang lebay banget gini kalau sakit..., di hari ulang tahun kamu lagi..., maaf ya...,"
"Said someone who stayed up all night just to make my birthday so unforgettable... udah, makan dulu ya...," ucapnya sambil menyuapkan sesendok makanan ke dalam mulut gue. Nggak cuma perut tapi hati gue juga otomatis terasa hangat.
SHEILA
Tama kembali tertidur setelah mengganti bajunya yang basah karena keringat. Syukurlah demamnya sudah turun. Aku mengelus rambut Tama yang sudah terlelap. Saat aku beranjak dari kamar tamu yang bisa dibilang sudah menjadi kamar Tama, aku melihat ponselnya menyala tanpa suara di samping tempat tidur. Rupanya Mbak Riris baru saja menelepon.
Beberapa saat kemudian ganti ponselku yang berbunyi di ruang tengah. Aku bergegas mengambilnya, rupanya ada panggilan video call dari Mbak Riris.
"Happy bday, Onty Cilla..., kapan bacain Dido celita lagi?" ternyata wajah menggemaskan Dido yang pertama kali muncul di layar.
"Terima kasih, Dido sayaang..., iya kapan-kapan Tante main lagi yaa...," ucapku sambil tertawa.
"Bawel banget dia dari tadi minta telpon kamu, Sheil, happy birthday yaa... gimana surprise-nya semalam? Suka?" ganti Mbak Riris yang berbicara karena Dido sudah asyik kembali dengan mainan Tayo-nya.
Aku refleks melongo sesaat, "Mbak... tau juga?"
"Ya tau dong, Sheil... wong Tama heboh banget nyiapin ini itu... Bapak Ibu juga tau kok...," ujar Mbak Riris sambil tertawa puas.
Aku menepuk jidat pasrah, "Ya ampun...,"
"Sebentar, Sheil, ada yang mau ngomong ini...,"
"Nduk, selamat ulang tahun ya... kamu sehat-sehat toh?" wajah Tante Asti dan Om Teguh yang kali ini terlihat di layar.
"Alhamdulillah sehat, Tante, Om..., terima kasih banyak ya...,"
"Lho ini Tama-nya mana?" tanya Om Teguh dengan kening berkerut.
"Mm... sebelumnya aku minta maaf ya, Om, Tante, Tama jadi sakit gara-gara nyiapin kejutan buat aku... tadi pagi Tama demam dan pusing... tapi sekarang udah mendingan kok, udah makan dan minum obat juga...,"
"Ealaah... makasih ya, Ndhuk, udah repot-repot ngerawat Tama...,"
TAMA
Gue terbangun lagi karena mendengar suara Sheila di ruang tengah, entah dia berbicara dengan siapa, sepertinya video call. Saat gue beranjak ke luar kamar dan menghampiri Sheila di ruang tengah, gue semacam mengenali suara-suara yang ada di video itu. Sheila yang menyadari keberadaan gue sudah mau bergerak menghampiri dengan wajah terkejut. Namun gue buru-buru mengangkat telapak tangan gue memintanya untuk tetap di sana.
Gue lalu merangkul Sheila dari belakang sofa dan bergabung ke dalam video call, "Berisik banget deh lagi ngomongin aku pasti, ya?" tanya gue yang langsung disambut cubitan pelan Sheila di tangan gue.
"Halah lemah lo, Dek, baru kena angin rooftop aja langsung tepar..., sengaja kan lo biar bisa dirawat sama pacar..., " goda Mbak Riris yang diiringi gelak tawa Bapak dan Ibu, "jangan kelamaan main dokter-dokterannya, nikah gih sana...,"
Boleh nggak nih mulut kakak gue tersayang disumpel pake apa kek gitu? Sembarangan banget emang kalau ngomong. Kasian kan Sheila mukanya langsung merah gitu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Futsal Love [Completed]
RomanceSheila Naladhipa Prameswari (25) Si anak tengah yang tangguh dan independen. Jantung hati yang menerangi keluarga Wiraatmaja. A recruiter and a futsal freak. Narendra Arkatama Daniswara (29) Si bungsu kesayangan yang juga pelindung bagi saudaranya...