ijin

4.8K 462 2
                                    

TAMA

Sejak malam itu, tiba-tiba kondisi kerjaan gue dan Sheila bertukar posisi. Dia lagi bisa leyeh-leyeh di kantor, sementara gue menghabiskan hari-hari gue di perjalanan menuju site. Udah hampir dua minggu ini gue keliling mulai dari Samarinda, Separi, Melak, sampai hari ini tiba di destinasi terakhir yang paling susah sinyal, Tabang. Selama dua minggu ini juga komunikasi gue sama Sheila benar-benar terbatas, seperlunya aja. Untungnya kami dia cukup bisa memahami kondisi kerjaan gue yang kayak gini. Mungkin juga karena Rio, kakaknya, juga kerja dengan jadwal yang kurang lebih mirip kayak gue. Dia lagi ngapain ya sekarang? Entah kenapa, semakin ke sini, I kinda miss her more and more everyday.

SHEILA

Aku baru saja sampai di apartemen sekitar pukul enam sore. Tama kebetulan masih ada project di site sampai akhir minggu ini. Sinyal pun agak susah di sana. Ya, akhir-akhir ini giliran dia yang sibuk dengan pekerjaannya di kantor. Kalau sudah begini biasanya aku menghabiskan waktu di apartemen dengan menonton Netflix atau mencari-cari resep dessert baru.

Aku sedang menyeduh teh di pantry ketika ponselku berbunyi, dan nama Mas Rio terpampang di layar.

"Halo, Mas?"

"Dek, udah di apartemen? Mas nginep situ dong... mau pulang ke rumah kayaknya macet banget jalanan... capek...," celoteh Mas Rio dari ujung telepon. Lokasi kantornya kebetulan memang lebih dekat dengan apartemenku. Kalau ia terlalu lelah sepulang dari lokasi, kadang ia suka tiba-tiba muncul di sini.

"Yaudah ke sini aja, Mas, tapi aku belom masak apa-apa ya ini...," jawabku, khawatir Mas Rio sudah keburu lapar.

"Ga usah, Dek, Mas beliin aja sekalian yang selewatan ya...," ucap Mas Rio sebelum memutus sambungan telepon.

Aku teringat masih punya persediaan alpukat dan nata de coco di lemari es. Cuaca yang panas terik seharian memberiku ide untuk membuat es alpukat sambil menunggu Mas Rio datang dengan makan malam kami.

Setengah jam kemudian masuk chat dari Mas Rio yang mengatakan dia sudah sampai di lobby. Aku bergegas turun dan menjemputnya naik ke unitku.

"Tama nggak ke sini, Dek?" tanya Mas Rio sambil mengedarkan pandangannya saat aku sedang mengeluarkan box pizza dan pasta yang dibawa Mas Rio. Italian food has been our thing since forever. Aku dan Mas Rio suka banget pizza atau pasta, tapi tidak dengan anggota keluarga yang lain. Makanya kalau sedang berdua, kami seperti menemukan kesempatan untuk memesan makanan favorit ini.

"Tama lagi di Tabang, Mas..., sampai akhir minggu ini..., yuk makan...," jawabku sambil mengeluarkan wadah berisi es alpukat yang tadi kusiapkan di atas meja.

"Ooo...," ucap Mas Rio sambil mengangguk-anggukkan kepalanya dan duduk di hadapanku, "wiih ada es alpukat, kamu yang bikin?"

Aku mengangguk sambil tersenyum, "Mas..., engg... kamu sama Mbak Lola rencananya kapan nikah?" tanyaku ragu-ragu.

Mas Rio mengangkat alisnya dan terkekeh pelan, "Kamu disuruh Bunda nanyain Mas apa gimana ini maksudnya?"

Aku tertawa dan menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal, "Ya enggak..., kepo aja ga boleh ya?"

"Mas sih planningnya dua kali trip lagi terus mutasi ke office, Sheil...," Mas Rio memberi jeda sejenak, "tapi kayaknya Lola masih mau S2 dulu nih... ada program yang setahun gitu,  jadi yaa paling cepet satu setengah tahun lagi lah Mas baru ke arah sana...,"

"Wah, keren... pengen juga deh aku sekolah lagi...," ucapku sambil mengambil satu potong pizza.

"Mau sekolah lagi, apa mau nikah?" pertanyaan Mas Rio membuat mulutku menganga dan batal menggigit pizza yang sudah di depan mata, "Tama bilang apa?"

"Kok lo nyebelin sih, Mas?" protesku sambil mengunyah pizza.

Mas Rio tergelak melihat wajahku yang ditekuk. "Udahlah, gimanapun juga aku udah kenal kamu dari kamu baru lahir, kalau bukan disuruh Bunda, kemungkinannya ya cuma Tama. Jadi gimana?" cecar Mas Rio.

Aku menyerah lalu menceritakan permintaan Tama malam itu, dan semua kebingunganku. Jujur, aku tidak menyangka hubunganku dengan Tama akan bergerak sejauh ini, di saat kami bahkan belum genap satu tahun mengenal satu sama lain. Dari dulu aku adalah orang yang paling tidak percaya kalau ada orang yang baru kenal satu dua bulan lalu langsung bisa memutuskan untuk menikah. Bagiku, untuk mencapai keputusan itu butuh waktu perkenalan dua sampai tiga tahun atau bahkan lebih. Tapi dengan Tama, rasa nyaman ini terbangun begitu cepat.

"Wajar lah Tama nanya begitu, kamu lupa ya dia lebih tua dua tahun dari Mas? Tahun depan kan dia udah tiga puluh. Dia juga pasti pacaran udah bukan untuk main-main gitu aja. Toh dia bilang dia juga mau aja nungguin sampai kamu siap. Pertanyaan Mas sekarang... apa yang bikin kamu ragu?"

"Well... aku nggak expect aja aku akan jadi orang pertama yang nikah di antara kita bertiga. Itu satu, yang kedua, kamu gimana, Mas? Aku tau kamu sama Mbak Lola pacaran udah lama banget, dan kalian juga santai. Tapi kalau sampai aku nikah duluan, aku takut malah akan jadi sumber konflik kamu sama Mbak Lola...," tuturku sambil mengaduk es alpukat di dalam gelas.

"Anak psikologi tuh emang bakat overthinking gitu ya? Atau kamu kebanyakan nonton film?" tanya Mas Rio lalu terkekeh, "Sheil, you deserve to be happy dan kalau kebahagiaan kamu jadi lengkap dengan menikah sama Tama, go for it. Mas restuin kok. Cuma Mas ijin ngasih tau Lola duluan soal ini ya... just to make sure that she'll be okay also...,"

Aku menatap kakak laki-laki satu-satunya ini terharu. Aku yakin kalau waktunya Mas Rio menikah nanti, Mbak Lola akan jadi wanita paling bahagia karena mendapatkan suami seperti Mas Rio.

"Thanks ya, Mas... but may I request one thing from you?" tanyaku yang dijawab Mas Rio dengan meninggikan alisnya, "kalau udah waktunya nanti Tama ngomong sama Ayah, back him up ya, Mas, pleaseee...," pintaku memohon.

"You can count on me, lil sis... always...," ucapnya sambil mengacak rambutku pelan dan tersenyum.

Futsal Love [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang