brosis time

4.9K 474 4
                                    

SHEILA

Sebenarnya aku terpaksa ada di ruang makan rumah keluarga Wiraatmaja malam ini. Masih capek juga baru landing dari Malang tadi pagi. Kalau bukan Bunda yang minta, birthday dinner katanya, mungkin aku sudah di apartemen main gitar sendirian. Iya, hari ini aku ulang tahun. Tapi yah, toh nggak ada bedanya juga.

"Iya, Bun, minggu lalu aku nggak sengaja ketemu sama Mas Tama di apartemennya Mbak, terus aku malah jadi dibantuin deh buat project website ini. Mbak Sheil, Mas Tama tuh baik banget ya, padahal dia kan sibuk juga, tapi masih mau bantuin tugas kuliah aku...,"

"Tama itu temanmu yang pernah ke sini itu ya, Sheil?" tanya Bunda.

"Itu loh, Bun, yang ikut nganterin ke sini waktu aku sakit...," belum sempat aku membuka mulut, Chika udah nyamber duluan.

"Chika, kamu tuh bisa nggak sih ga usah jadi bayang-bayang aku terus? Nggak cukup perhatian semua orang di rumah ini udah terpusat ke kamu, perhatian dari pacar aku mau kamu ambil juga? Dulu Reinaldi, sekarang Tama? Nggak boleh ada yang deket sama aku atau gimana maksudnya? Aku pamit dulu, Bunda, Assalamualaikum," tandasku sambil berjalan dengan langkah cepat ke pintu depan. Nafsu makanku mendadak hilang mendengar gimana semangatnya Chika cerita tentang Tama. Orang yang beberapa bulan belakangan ini berubah menjadi orang terpenting di kehidupanku. Tapi melihat apa yang terjadi akhir-akhir ini, sepertinya aku kembali harus bersiap kehilangannya.

"SHEILA!" Bunda dan Ayah memanggilku berbarengan. Aku tetap tidak menoleh dan melanjutkan langkahku meninggalkan ruang makan.

"Biar Rio aja, Bun," sayup-sayup kudengar suara Mas Rio dan langkah kakinya menyusulku.

"Dek, tunggu...," ucap Mas Rio sambil menahan lenganku . Masku ini memang langkah kakinya panjang ya, dalam sekejap sudah ada di depanku sekarang.

Aku mendengus pelan, "Apaan lagi sih, Mas? Mau ngomel-ngomel kalau aku harus sabar? Harus ngalah? Mau belain Chika?"

"Mas yang anter kamu pulang. Masuk mobil," ucapnya tegas sambil mengambil kunci yang tergantung di jari telunjukku.

"Makasih. Aku bisa nyetir sendiri. Minggir deh, Mas," ujarku ketus sambil berusaha melangkah maju namun terhalang tubuh tinggi Mas Rio.

"Mas bilang masuk mobil. Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa karena nyetir mobil lagi nggak stabil gini. Masuk," titahnya tetap dengan suara rendah, lalu membuka pintu pengemudi dan duduk di sana.

Mau tidak mau aku terpaksa memutar dan duduk di kursi penumpang. Sejujurnya aku lebih takut melihat Mas Rio marah daripada Ayah. Lebih dingin.

"Kita mau drive thru apa? Kamu pasti laper kan...," tawar Mas Rio setelah mobilku meninggalkan halaman rumah.

"Terserah Mas aja, aku nggak laper," jawabku tanpa menoleh ke arahnya.

"Ck. Udahlah, Sheil, Mas tau kamu tuh kalo cranky gini sebenernya lapar kan? Wong tadi makannya baru berapa suap gitu udah ditinggal. Mas laper juga lho... kamu lagi PMS juga nggak nih? Lagi ulang tahun kok sensi banget," Sial. Percuma memang menahan gengsi sama kakak satu-satunya ini. Perbedaan usia yang hanya dua tahun membuat kami sudah cukup hafal kebiasaan dan keburukan masing-masing.

***

SHEILA

Aku dan Mas Rio duduk di sofa apartemenku dengan sambil menyatap seloyang medium stuffed crust cheese pizza di hadapan kami.

"Mas... kamu kan tau Chika gampang banget ngambil hati orang... dulu waktu masih kuliah, Rei dengan mudahnya jadi lebih deket ke Chika daripada aku... sekarang Tama... mulai sering juga ketemu sama Chika..." keluhku dengan suara tercekat.

"Sheil... menurut Mas, kalau udah menyangkut jodoh dan perasaan, jatuh cinta itu nggak bisa diatur. Kamu nggak pernah tau kamu akan jatuh cinta sama siapa, dan sebaliknya kamu juga nggak pernah tau siapa yang akan jatuh cinta sama kamu," Mas Rio menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan kalimatnya, "Mas tau, kamu sayang banget sama Tama, dan Mas juga tau, gimana sayangnya Tama sama kamu. Kalau perasaan kalian memang berbalas, lalu kenapa kamu tiba-tiba insecure?"

"I'm just... aku takut kehilangan Tama, Mas... selama ini semuanya kan selalu tentang Chika, terus kalau Chika jadi suka sama Tama, pasti ujung-ujungnya aku yang disuruh ngalah, Mas...,"

"Aku tuh nggak pernah mau nomor satuin Chika atau gimana, Dek. Maaf kalau kamu ngerasa begitu. Cuma kamu kan tau dari kecil, Ayah selalu minta aku ekstra ngawasin Chika, terprogram di sini, ya Chika itu yang paling lemah dan butuh pengawasan lebih. Maaf kalau bikin kamu ngerasa nggak dianggap," terang Mas Rio sambil menunjuk pelipisnya sendiri, "Mas itu seneng kamu ketemunya sama Tama, yang bisa ngasih perhatian yang selama ini kamu cari, dengan caranya sendiri. Jujur ya, Mas yang jadi nggak rela kalau laki-laki sebaik Tama, kamu lepas begitu aja, meskipun ke adik sendiri. Balik lagi... semua kamu yang jalanin, coba kamu pikirin baik-baik... Ajak ngobrol deh, Tama-nya... kalau masih sayang, gengsinya dibuang dulu jauh-jauh..., sebelum kamu malah bener-bener kehilangan dia...," ucap Mas Rio sambil menguyel-uyel sayang kepalaku. Aku tersadar betapa kangennya aku diperlakukan seperti ini sama Mas Rio.

"Mas... kamu kok sempet-sempetnya sih, mikirin aku, mikirin Chika... emang kamu nggak capek ya, mikirin orang lain terus?"

"Sheil, itu udah resiko Mas sebagai anak sulung. Ayah dulu pernah pesan, kalau nanti mereka berdua udah nggak ada, aku yang akan jadi pegangan kalian," ucap Mas Rio sambil mengambil sepotong pizza di hadapannya.

"Dulu kamu marah-marah sama aku, karena menurut kamu aku ini panutannya keluarga Narendra dan aku nggak ngerti rasanya jadi kamu. Ya aku emang nggak ngerti rasanya jadi kamu, tapi kamu emang tau rasanya jadi aku? Kadang capek juga lho, Dek... Mas harus selalu jadi yang sempurna, harus selalu jadi yang bisa diandalkan ketika adik-adiknya lagi sedih. Menurut kamu, terus kalau Mas yang lagi sedih, Mas harus ke mana?" aku tertegun mendengar pertanyaan Mas Rio, lalu menggeleng pelan. Mas Rio menghela nafas pendek sebelum melanjutkan ceritanya, "kalau udah gitu Mas biasanya agak menarik diri dulu, olahraga, atau ngelakuin apa aja yang bisa ngelepasin emosi. Untungnya lagi, Mas punya Lola, pacar yang paling pengertian sedunia..."

Aku mengangguk-angguk mendengar cerita Mas Rio, "Ngomong-ngomong Mbak Lola, kalian pacaran udah lama emang Mbak Lola atau orang tuanya nggak minta kalian nikah? Kamu serius nggak sih, Mas, pacarannya?"

"Wey santai doong, nanyanya...," jawab Mas Rio sambil kembali menguyel-uyel kepala gue, "Doain ya, Dek, kakak lo yang ganteng ini bisa cepet dimutasi untuk kerja di office aja, atau dapat kerjaan baru yang nggak pake sistem rooster 2 minggu di site 1 minggu off gini. Kasian nanti Lola, gue tinggal-tinggal terus. By the way, kalian seumuran lho, yang ada dia marah nanti lo panggil Mbak," ujar Mas Rio terkekeh.

"Ya gimana juga kan dia akan jadi kakak iparku, Mas. Kenapa ribet gini ya, giliran calon kakak iparku, seumuran. Lah calon adek ipar kamu malah lebih tua,"

"Ciyee... jadi serius nih sama Tama? Calon adek ipar aku banget?" goda Mas Rio sambil menjawil daguku. Aku memutar mataku dan melempar bantal yang dari tadi kupeluk ke wajahnya. Mas Rio tergelak puas berhasil membuat wajahku seperti kepiting rebus.

"Dek, ikut aku yuk, sebentar...," ajak Mas Rio sambil mengetikkan sesuatu di ponselnya.

Futsal Love [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang