TAMA
"Assalamualaikum," gue mengucapkan salam sambil melongokkan kepala saat membuka pintu rumah orangtua gue.
"Waalaikumsalam, eh, masuk, Le... sama Sheila nggak?" jawab Ibu yang kebetulan sedang duduk di ruang tamu.
"Ibu ini lho... anak bungsunya udah lama nggak pulang, yang ditanya malah yang lain...," gerutu gue sambil mencium tangan Ibu diikuti Sheila dengan senyum tertahan.
"Tante... gimana kabarnya?" tanya Sheila setelah bersalaman dengan Ibu.
"Sheila kan bukan orang lain, Le... alhamdulillah baik, Ndhuk, kalian sehat-sehat toh? Sini-sini duduk...," Sheila mengangguk lalu ikut duduk di sofa ruang tamu.
"Bapak mana, Bu? Eh... lagi ada tamu ya?" tanya gue menyadari ada beberapa barang di ruang tamu yang sepertinya milik orang lain.
"Iya... lagi ada Pakde Pur, teman bapakmu waktu masih kerja dulu, yang sama-sama orang Jogja itu, waktu kecil kamu sering main sama anaknya, inget ndak?" tutur Ibu panjang lebar.
"Ooh... yang suka barengan kalau mudik itu ya, Bu...,"
"Eeh... ada Tama sama Sheila rupanya...," suara Bapak terdengar mendekat dari dalam rumah.
"Malam, Om...," ucap Sheila sambil tersenyum sementara gue menghampiri Bapak dan mencium tangannya.
"Malam, Nak... sudah lama datangnya?" tanya Bapak.
"Baru sampai kok, Pak, mana kata Ibu ada Pakde Pur?"
"MAS TAMA!" gue terkejut mendengar suara seseorang yang tahu-tahu langsung menghambur memeluk gue.
"Eh... hai, Ra...," ucap gue kikuk sambil melepaskan pelukan Tiara, anak Pakde Pur, teman kecil gue dulu, "Pakde, Bude, apa kabar?"
"Alhamdulillah baik, Nak Tama... sudah dewasa ya sekarang...," jawab Pakde Pur sambil menepuk pundak gue.
"Oh iya kenalin, sayang, sini...," ucap gue memanggil Sheila yang masih duduk di sofa, "ini Sheila, calon istri aku...," Sheila bangkit dari duduknya dan menghampiri keluarga Pakde Pur, menyalami mereka satu per satu.
"Ealaah... wis nduwe calon toh... padahal dulu kirain bakal besanan sama Mbak Ayu...,"
SHEILA
Aku masih belum bisa menghilangkan rasa terkejutku saat melihat Tiara atau siapa tadi namanya tiba-tiba memeluk Tama begitu saja. Apalagi, tampaknya hubungan mereka dulu begitu dekat.
Yah, walaupun Tama mengenalkanku sebagai calon istrinya kepada mereka, dan orang tua Tama pun seolah tidak berhenti menceritakan tentang aku di saat makan malam. Namun, tetap saja egoku sebagai perempuan terusik. Terutama saat aku menyadari perubahan raut wajah Tiara mendengar kata-kata "calon istri" keluar dari mulut Tama.
"Sayang... masih mikirin Tiara?" tanya Tama menatapku sekilas saat mobil yang dikendarainya berhenti di lampu merah.
"Eh? Nggak kok, Tam..., kenapa Tiara?" tanyaku kikuk.
Alih-alih menjawab pertanyaanku, ia hanya menggenggam tanganku erat, "Nanti kita bahas di apartemen kalau gitu ya...,"
Tanpa banyak kata-kata, yang Tama lakukan justru memelukku dari belakang saat kami baru saja masuk unit apartemenku. Aku mati-matian menahan air mata supaya tidak jatuh. Sungguh, aku nggak tau gimana aku bisa menjalani hari-hariku tanpa lelaki ini.
"Aku sama Tiara cuma masa lalu, Sheil, dan udah lama banget, lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Kami masih SMA waktu itu...," tutur Tama saat kami sudah berpindah ke sofa ruang tengah, "kami memang sempat pacaran, dua tahun sampai akhirnya aku melanjutkan kuliah di Jakarta. Kami putus karena Tiara yang terlalu manja waktu itu, demanding banget buat aku. Ya kamu liat sendiri lah kemarin waktu ketemu aja dia kayak gitu, masih kayak anak kecil...,"
Aku terdiam mendengar penjelasan Tama. Aku sadar bukan salah siapa-siapa di sini, hanya mungkin waktunya yang tidak tepat.
"Terus... waktu kamu putusin Tiara, dia gimana?"
"Well... dia nggak terima sih, dan masih terus berusaha ngejar-ngejar aku, bahkan sampai nyusulin ke Jakarta kalau weekend...," ujar Tama lalu menghela nafas panjang, "capek banget bikin dia ngerti kalau kita emang udah ga bisa jalan bareng, bukan hanya karena LDR, tapi emang karena aku yang nggak cocok sama dia...,"
"Ini yang aku takutkan, buat kamu, semua sudah selesai, tapi buat Tiara, masih ada unfinished business dan dia ngerasa ini kesempatan dia buat ngedeketin kamu lagi...," ujarku sambil menatap ke luar jendela.
TAMA
Dalam hati gue merutuk, kenapa juga keluarga Pakde Pur harus datang hari ini bersamaan dengan gue dan Sheila. Masalahnya, gue udah susah payah meyakinkan Sheila selama ini bahwa gue nggak akan seperti Rei, mantannya dulu, yang justru jadian sama adiknya sendiri. Eh sekarang ini lagi. Gue sih yakin gue nggak akan berpaling ke Tiara apapun yang terjadi. Gue nggak cocok sama dia, beneran deh. Tapi meyakinkan Sheila bahwa gue tetap akan melamar dia dan nikah sama dia, ini lain cerita.
"Sheila... sayang...," ucap gue sambil mengangkat dagunya supaya menatap gue, "aku paham, dengan semua yang udah kamu laluin, akan susah buat kamu untuk percaya sama aku. Tapi dalam masalah ini, aku minta kamu bisa percaya sama aku, kalau aku serius sama kamu dan nggak pernah sedikitpun aku kepikiran untuk ninggalin kamu. Aku akan berusaha sebisa aku, untuk ngejaga kepercayaan kamu... but I can't do this alone... Kita hadapin ini sama-sama, mau ya?" tutur gue sambil menggenggam kedua tangannya erat-erat. Sheila menggigit bibir bawahnya dan matanya mulai basah.
"Aku... takut..." ucapnya terbata-bata, air matanya mulai jatuh satu per satu, "Tiara dan keluarganya... kenal kamu... lebih lama... lebih dulu...,"
Gue refleks menarik Sheila ke dalam pelukan dan membiarkan dia menumpahkan emosinya.
"Sheil... kalau ini bisa bikin kamu ngerasa lebih baik, Bapak, Ibu, Mbak Riris, mereka udah sayang banget sama kamu lho... Percaya sama aku ya, Sayang... please percaya sama aku..., I'll never leave you... I promise...," gue mengeratkan pelukan gue berharap ini cukup menenangkan Sheila dengan segala pikiran negatif di otaknya. Gue membiarkannya tersedu-sedu di pelukan, sambil terus gue elus punggungnya dan sesekali mengecup pelipisnya. Setiap lagi kayak gini, Sheila yang stok energinya selalu melimpah, membawa keceriaan di manapun ia berada seolah lenyap entah ke mana. Yang gue lihat hanyalah seorang perempuan yang sedemikian rapuhnya, dan itu membuat gue ingin selalu menjadi pelindungnya.
Gue sayang banget sama Sheila, dan gue nggak bisa ngebayangin menghabiskan hidup gue sama orang lain selain dia. God, help us overcome it.
Selamat sahur semuanyaa... semoga puasanya lancar ya ❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Futsal Love [Completed]
Lãng mạnSheila Naladhipa Prameswari (25) Si anak tengah yang tangguh dan independen. Jantung hati yang menerangi keluarga Wiraatmaja. A recruiter and a futsal freak. Narendra Arkatama Daniswara (29) Si bungsu kesayangan yang juga pelindung bagi saudaranya...