concert day

6.2K 532 9
                                    

TAMA

Sheila ternyata beda banget ya kalau lagi nonton konser. Gila, sepanjang Sheila on 7 perform satu setengah jam tadi, perempuan yang jalan di samping gue ini nggak berhenti nyanyi, plus loncat-loncat di lagu up beat, dan kadang teriak-teriak heboh juga. Badannya sih boleh kurus, tapi stok energinya banyak juga.

"Duh, Tam... maaf ya gue kalo nonton konser tuh pasti heboh banget gini. Lo pasti malu ya nonton konser sama gue? Mana panas banget lagi tadi, gila gue keringatan parah sih ini. Mudah-mudahan nggak bau ya...," celotehnya sambil menyemprotkan parfum yang baru saja dia ambil dari tas kecilnya. Gue terkekeh mendengar penjelasannya. Sheila memang blak-blakan sih kalau udah ngomong, walaupun katanya cuma sama orang-orang yang dia ngerasa nyaman aja.

"Namanya juga nonton konser outdoor. Crowd-nya juga rame dan seru banget tadi, ya pasti keringatan lah... tapi lo hebat juga ya kayak nggak ada capeknya...," puji gue tulus.

"Wah, kalo udah Sheila on 7 tuh kayaknya stok energi gue mendadak nambah banyak deh, Tam. Eh, lo mau minum lagi nggak?" tanyanya sambil berhenti sejenak di penjual minuman dan membeli dua botol air mineral.

Setelah menyerahkan selembar uang sepuluh ribuan ke penjual minuman tadi, Sheila memberikan satu botol air mineral ke gue. Kami berdua langsung membuka botol masing-masing dan menenggak isinya hingga tinggal setengah. Luar biasa memang panasnya hari ini, di pantai pula tempatnya.

"Hufh... akhirnyaa...," ujar Sheila setelah kami duduk di dalam mobil gue. Parkiran mobilnya memang sekitar lima menit jalan kaki dari venue, karena yang di venue tadi udah penuh banget. Gue menyalakan mesin mobil dan AC supaya agak adem sedikit.

"Sheil... can I be honest?" ucap gue lamat-lamat. Mudah-mudahan Sheila nggak bisa denger detak jantung gue yang kenceng banget udah kayak abis main futsal satu jam.

"Hmm? Sure...," jawab Sheila menatap gue dengan kening berkerut.

"I... I kinda like this... us, going to a concert together, talking about anything comes to mind, watching each other's futsal game...," Sheila mulai menundukkan wajahnya, hal yang selalu dia lakukan kalau sedang salah tingkah. Gue meraih kedua tangannya, menggenggamnya lembut, "should we take this relationship any further?"

SHEILA

Jantungku rasanya berhenti berdetak mendengar pertanyaan Tama barusan. Ini Tama serius ngajak pacaran? Mau bilang nembak tapi kok kayaknya ABG banget. Jujur, Tama selalu berhasil membuatku merasa nyaman saat bersamanya. "I don't know, Tam...," aku menghela nafas pelan, "I do like us, but don't you think it's too fast? I'm not sure if I'm ready, yet...," ucapku dengan tetap menunduk. Aku nggak siap kalau harus melihat wajah kecewa Tama karena jawabanku barusan.
Dengan satu tangan masih memegang tanganku, ia mengangkat wajahku menatapnya dengan tangan lainnya, "Hei... nggak papa, Sheil... aku cuma harus ngungkapin ini aja supaya kamu tau, kalau aku ada niat serius sama kamu dari awal... aku nggak mau kita terjebak di friendzone atau apalah itu nantinya... kalau kamu memang belum siap, entah apapun alasan kamu, I can wait... but firstly... will you try to open up your heart for me?"

Aku terenyuh mendengar perkataan Tama yang begitu tulus. Aku menatap matanya, mencari keyakinan untuk memberinya kesempatan. Aku menarik nafas dalam-dalam sebelum akhirnya menjawab, "I like us too... tapi aku nggak bisa janjiin kamu apa-apa karena aku nggak tau kapan aku akan siap...,"

"No problem, Sheil...," ucapnya sambil tersenyum tulus.

Kami tidak terlalu banyak berbicara sepanjang perjalanan dari venue menuju apartemen. Hanya suara music player Tama yang mengiringi, tentunya masih dengan playlist Sheila on 7. Pikiranku memutar kembali apa yang sudah terjadi di satu hari ini.

***

Pagi ini, tidak lama setelah aku membalas chat-nya, Tama sudah muncul di apartemenku dengan membawa dua bungkus bubur ayam untuk kami sarapan.

"Lo baru bangun banget ya, Sheil? Gue kepagian ya? Sorry... sorry...," kata Tama dengan sedikit panik melihat aku membuka pintu masih sambil mengucek mata.

Aku menahan tawa melihat tingkahnya dan menggeleng pelan sebelum mempersilakannya masuk. Jam 9 pagi memang waktu normalnya orang sarapan kan? Hanya saja kadang kalau sudah weekend gini, aku seringkali melewatkan sarapan dan langsung sekalian masak untuk makan siang.

"Nggak papa, Tam, gue udah bangun dari tadi kok, cuma masih ngumpulin nyawa aja di kamar..., lo... abis jogging ya?" tanyaku setelah menyadari tampilannya yang sporty banget dengan kaos, celana pendek, dan sepasang running shoes.

"Iya, Sheil, di taman dekat sini. Terus pas selesai tadi lihat abang-abang bubur ayam. Berhubung perut gue mulai keroncongan ya sekalian aja beli, buat lo juga...,"

TAMA

Gue sudah memarkirkan mobil di tempat biasa, tapi urung mematikan mesin mobil karena melihat Sheila masih asyik melamun.

"Permisi, Mbaknya mau nginep di dalam mobil aja atau gimana?" goda gue sambil menepuk pelan pundak Sheila.

"Eh... astaga Tama... udah nyampe dari tadi ya? Maaf-maaf...,"

"Lagi ngelamunin siapa sih? Serius banget kayaknya...," tanya gue sambil tersenyum simpul.

"Ngelamunin kam-... eh nggak jadi... turun yuk...," jawabnya sambil menunduk.

Dia mau bilang apa tadi? Ngelamunin kamu? Ngelamunin gue maksudnya? Jadi ge-er... gue terkekeh pelan lalu mematikan mesin mobil dan mengikuti Sheila keluar. Gue memutuskan untuk mengantarnya sampai ke kamar. Tanggung jawab dong, udah ngajak jalan anak orang, ya anterin lagi pulang ke rumahnya, well... apartemennya to be exact.

Ketika kami sampai di depan pintu unitnya, gue beranikan diri untuk meraih tangannya dan membuat kami berdiri berhadapan.
"Sheil..., semoga apa yang aku bilang ke kamu tadi, nggak jadi beban buat kamu ya? Jangan terlalu dipikirin... aku cuma ngerasa, I have to tell you how I feel... kalau memang ke depannya kamu ngerasa keberatan atau nggak nyaman, bilang ya...," terang gue berharap semoga Sheila nggak mikir yang terlalu jauh. Gue juga nggak mau dia terpaksa ngejalanin ini karena nggak enak sama gue.

"Tam... ini mungkin terdengar klise, php, atau apapun itu, tapi... kita jalanin dulu aja ya... kamu... nggak keberatan kan?" tanya Sheila sambil menatap manik mata gue.

"Sama sekali nggak, Sheil... aku yang terima kasih, karena udah dikasih kesempatan, untuk deket sama kamu..., thank you ya...," ucap gue sambil tersenyum dan mengelus puncak kepalanya lembut. Dia pun memberikan senyumnya yang paling tulus.

"Ya udah, kamu masuk, gih... mandi, terus istirahat... udah mulai bau-bau asem gimana gitu nih kayaknya...," canda gue sambil mengerutkan hidung. Nggak sampai sedetik jelas gue langsung dihujani cubitan-cubitan kecil di pinggang plus dengan omelan Sheila yang tidak henti-henti. Yang jelas, hati gue hangat sekali malam ini.

Futsal Love [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang