distance

5.5K 533 2
                                    

SHEILA

Semenjak kejadian Chika sakit itu, aku semakin malas untuk pulang ke rumah orang tuaku. Weekend-ku lebih banyak kuhabiskan di apartemen, main futsal dengan teman-teman kantor, atau kadang olahraga bersama Tama. Seperti pagi ini, aku sudah ada di unit apartemen Tama, menyiapkan sarapan untuk kami berdua. Ya, Tama memang sudah menyerahkan kunci cadangannya untukku. Katanya, dapurnya jadi lebih hidup -lebih banyak makanan- semenjak aku sering main ke sini. Kadang kalau aku belanja ke supermarket, aku membagi dua cemilan atau bahan makanan yang kubeli, satu di tempat Tama, satu di tempatku. Dengan aku punya kunci cadangannya, aku bisa memasukkan makanan tanpa harus menunggu dia pulang. Tama itu sering lapar tengah malam kalau harus begadang, tapi dia sering lupa untuk nyetok cemilan. Aku sedang membuka lemari es hendak mengambil telur ketika Tama tau-tau memelukku dari belakang.

"Good morning, Sayang, kamu bangun jam berapa kok pagi-pagi udah di sini aja?" tanya Tama lalu mengecup pelipisku.

"Kamu ih, ngagetin aja, untung telurnya nggak jatuh," ujarku sambil menyikut Tama pelan, lalu menaruh telur di mangkuk yang sudah kusiapkan, "baru aja, kok, ini kan udah jam 8 pagi, Bapak Narendra. Dan aku tau kamu habis begadang semalaman ngerjain codingan untuk absensinya klien kamu yang bermasalah itu kan...," ucapku sambil menjawil hidungnya ketika posisi kami sudah berhadapan. Terus terang, bagiku pagi-pagi seperti ini adalah waktu gantengnya Tama. Rambutnya yang sedikit berantakan karena bangun tidur, dan five o'clock shadow-nya yang tipis terlihat menggemaskan.

"Ngeliatin akunya gitu banget? Sayang yaa...?" goda Tama yang masih merangkul pinggangku erat.

"Iya, sayang banget. Puas?" ucapku sok galak sambil melepaskan diri dari rangkulan Tama, "itu udah aku bikinin kopi di meja makan,"

"Sayang... kok ngambek sih... diulang lagi dong tadi yang baru kamu bilang...," goda Tama lagi yang bukannya ke meja makan malah berdiri di sampingku dengan cengiran memelas.

"TAMA!" seruku kesal yang diiringi dengan gelak tawa Tama yang menjauh. Aku bukan orang yang gampang mengucapkan kata cinta atau sayang, tapi aku tidak bisa bohong bahwa aku memang sudah jatuh cinta pada lelaki ini. Yang selalu berkeras untuk ada di sisiku ketika aku ada di titik terendahku. Tak perduli setinggi apapun benteng yang sudah kubangun untuk melindungi diriku sendiri. Satu lagi, walaupun ini kadang sering membuatku kesal, tapi seberat apapun kondisinya, pada akhirnya aku akan menemukan diriku tertawa di pelukan Tama. He always knows how to make me smile.

TAMA

Sheila dari jam berapa di sini ya? Gue baru sampai apartemen jam 2 pagi tadi, setelah menyelesaikan kerjaan urgent dari klien. Biasanya kalau habis lembur gitu, gue baru akan bangun paling cepat jam sepuluh pagi. Tapi pagi ini gue terbangun karena mendengar suara klotak klotek, yang rupanya suara permaisuri gue lagi bikin sarapan. Sekarang gue ngerti kenapa orang-orang pada pengen cepet nikah ya, nyaman banget rasanya pagi-pagi bangun tidur langsung melihat orang yang kita sayang.

"Sheil, kamu kayaknya udah lama ya nggak pulang ke rumah orang tua kamu?" tanya gue sambil menyesap segelas kopi hangat yang tersaji di meja.

"Hmm...? Iya ya? Nanti deh...," jawabnya singkat.

"Lagi males kah...?" tanya gue lagi hati-hati. Kalau jawabannya udah begini biasanya sensi nih ujungnya. Tapi tetep harus gue tanya.

"Hmm...," gumam Sheila sambil meletakkan french toast di atas meja sebagai sarapan kamwi, "bahas yang lain aja dong, Tam, boleh nggak? Masih pagi nih...," jawabnya ketus.

"Okaaay, sorry... cuma nanya aja. Hari ini kamu mau ngapain rencananya?"

"Belum ada rencana sih... kamu ada ide nggak?" tanya Sheila sambil mengunyah sepotong roti buatannya. Ngomong-ngomong ini enak banget lho buatan Sheila, manisnya pas, telurnya juga nggak bikin eneg gitu.

"Mmm aku lupa bilang sama kamu sih, baru inget kemaren juga sebenernya. Hari ini itu ponakan aku ulang tahun, dirayain di rumah orang tua aku. Keluarga inti aja sih. Tapi Bapak, Ibu, sama Mbak Riris minta aku ngajak kamu...," tutur gue.

Sheila mengangkat alisnya sambil tersenyum, "Aku?"

"Eh tapi ya kalau kamu nggak mau, nggak papa, Sheil. Nanti siang aku tetap pergi sendiri aja...," gue nggak mau maksa, apalagi gue juga nggak tau apakah kita ini sekarang udah pacaran atau belum. Terakhir kan gue cuma minta dia untuk coba buka hatinya buat gue.

"Ponakan kamu umur berapa? Kita cari kado dulu ya kalo gitu...,"

"Eh... gimana?" tanya gue memastikan kalau barusan gue nggak salah dengar.

SHEILA

"Ya masa ponakan kamu ulang tahun nggak kita bawain kado sih, Om?" kataku geregetan melihat Tama yang masih melongo di hadapanku.

"Aku masih shock ini... kamu beneran mau aku ajak ke rumah?" tanya Tama lagi sambil mengerjapkan matanya lucu.

"Iya, Tama sayang, tanya terus deh, keburu aku berubah pikiran nih...," tau-tau Tama sudah berdiri di sebelahku dan mencium puncak kepalaku.

"Makasih banget ya... bilang sayangnya boleh diulang lagi nggak?" godanya dengan mata berbinar-binar.

"Nggak ada siaran ulang!" tukasku sambil merengut.

Setelah merapikan semua peralatan makan, aku pamit kembali ke kamarku untuk siap-siap. Aku menerima ajakan Tama untuk datang ke ulang tahun keponakannya karena toh Tama sudah dua kali berkunjung ke rumahku. Bahkan yang terakhir kemarin ikut kerepotan karena Chika sakit. Jadi kupikir, nggak apa-apalah sekali ini, hitung-hitung gantian dengan yang kemarin. Lagipula, sudah lama juga aku nggak bermain dengan anak kecil. Meskipun kerja sebagai HRD, tapi sebagai lulusan psikologi yang dulunya juga belajar tentang perkembangan manusia, aku masih selalu tertarik pada dunia perkembangan anak. Toh ilmunya juga bisa jadi modalku ketika berkeluarga nanti. Eh, berkeluarga sama siapa emangnya, Sheil?

Narendra Arkatama D:
Ketemu di parkiran aja ya, Sayang... biar kamu nggak turun naik...

Sebuah pesan whatsapp dari Tama membuatku bergegas menyisir rambutku dan memoleskan lipstik warna peach di bibirku sebelum turun ke parkiran.

TAMA

Gue seperti deja vu ketika melihat Sheila menghampiri gue di parkiran. Ingat kan waktu gue bawain Sheila sarapan pertama kali dan gue terkesima melihat dia pakai rok? Nah ini sensasinya sama. Sheila menggunakan dress selutut warna apa sih ini namanya, kuning muda yang kayak di baju bayi-bayi gitu lho, dengan sepasang sepatu sandal bertali. Rambutnya yang sebahu itu digerai begitu saja. Cantik banget ya Tuhan.

"Tam? Kok bengong?" tanya Sheila setelah jarak kami tidak lebih dari setengah meter.

"Eh, sorry, sorry, yuk berangkat...,"

Kami mampir dulu ke sebuah toko buku, dan Sheila memilihkan buku cerita untuk anak usia empat tahun yang dilengkapi dengan aktivitas mengenal bentuk. Mungkin karena dia belajar psikologi ya, jadi dia tau banget buku apa yang tepat untuk anak seumur Dido, ponakan gue. Sepanjang perjalanan gue bolak balik mencuri pandang ke wanita cantik di sebelah gue ini.

"Assalamualaikum, mana ini ponakan Om Tama yang lagi ulang tahun?" sapa gue saat memasuki rumah.

"Om Tama!" Dido yang melihat gue berjalan dari pintu masuk langsung bangun dari sofa tempatnya duduk dan berlari memeluk gue. Setelah beberapa saat ia sadar ada orang lain di sebelah gue, lalu melepaskan pelukan gue dan beralih ke Sheila, "Ini capa?"

Sheila langsung berlutut di depan Dido, "Halo... tante temannya Om Tama... namanya Sheila..., ini siapa?" tanyanya sambil menunjuk Dido.

"Alo Onty Cila, aku Dido...," ujarnya sambil memeluk Sheila sebentar tapi cukup membuat gue -dan juga Mbak Riris, sepengelihatan gue- takjub, sebelum berlari kembali ke pangkuan Mbak Riris. Masalahnya Dido ini jarang banget bisa langsung akrab sama orang baru, lha ini tau-tau langsung meluk, gimana? Aura orang psikologi tuh emang beda gitu ya atau gimana sih, guys?

Futsal Love [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang