SHEILA
"Morning, beautiful!" sapa gue ketika sampai di kubikel dan mendapati Rhea sedang asyik sarapan.
Ia menatapku sejenak dengan kening berkerut, "Ceria banget lo, abis diapa-apain Tama lo ya?" tanya Rhea dengan tatapan penuh selidik.
"Hush, sembarangan aja lo. Abis ada inspeksi mendadak kemarin di apartemen gue," tuturku sambil tersenyum lebar.
"Lah? Abis disidak kok bahagia?" tanya Rhea lagi, masih bingung.
"Iya, yang sidak full team soalnya, Ayah, Bunda, Mas Rio, Chika," terang gue sambil mengeluarkan kotak bekal berisi roti tawar isi selai kacang.
"What? Tumben... kok bisa?"
"Iya, gara-gara Tama laporan ke Mas Rio kalau gue cedera abis main futsal sama lo," ujarku sambil terkekeh.
"Wadidaw, udah merambah ke keluarga ya Tama ternyata... good move...," ucap Rhea sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Awalnya nggak sengaja juga kok, Rhe... gue ngasih kado apa ya, buat Tama? Yaa sebagai ucapan terima kasih aja gitu maksudnya...," tanyaku.
"Lo nyanyiin pake gitar aja, Sheil, malem-malem pas lagi berduaan di apartemen...," celetuk Rhea yang membuat gue menaikkan alis, "lo gimana sih, waktu itu kan dia pengen banget liat lo main gitar tapi lo-nya nggak mau... atau nyanyiin pake piano aja sekalian, lebih bagus mana? Tapi kalau pake piano ya di rumah lo...," lanjut Rhea lagi.
"Hmm... I think I have better option...,"
TAMA
Sejak sarapan di apartemen Sheila kemarin pagi, gue sama sekali belum menghubungi dia. Sengaja memang, supaya dia bisa puas-puasin quality time sama keluarganya. Apalagi, kemarin Tante Ajeng sempat bisik-bisik ke gue kalau Om Heru juga akan datang menjenguk. Semoga Sheila senang ya, soalnya yang gue tau, ayahnya jarang sekali main ke apartemennya.
Gue mengambil ponsel yang baru saja berbunyi di sebelah laptop gue. Ada notifikasi pesan baru di sana... eh... panjang umur... dari Sheila ternyata...
Sheila Naladhipa P.:
Lagi sibuk nggak?Tanpa pikir panjang gue langsung menekan icon telepon di kontak Sheila.
"Kenapa, Sayang?" tanya gue begitu nada sambung berhenti tanda pemiliknya sudah menjawab telepon.
"Eh... eng... nggak papa kok, Tam, tanya aja...," jawabnya terdengar ragu.
"Kenapa...?" tanya gue lagi dengan lembut "Kamu ini masih kaku aja deh kayak sama siapa aja...," goda gue.
"Eng... kamu masih di kantor ya?"
"Iya... ini sebentar mau pulang... kangen ya?" tanya gue sambil tertawa pelan. Gue bisa bayangin pasti Sheila udah merah banget nih mukanya. Seperti biasa kalau dia lagi salting. Sheila di ujung sana tidak menjawab pertanyaan gue, tapi tidak juga memutus sambungan telepon, "aku beres-beres sebentar terus ke sana ya, Sayang..."
Kali ini terdengar nada putus-putus yang menandakan telepon sudah ditutup. Gue tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Pacar gue ini ya....
SHEILA
Shit. Kenapa aku jadi speechless gini ya? Padahal cuma mau minta Tama main ke sini aja lho. Biasanya juga kan ga perlu diundang dia udah ke sini sendiri. Terus kenapa tadi aku segitu ragu-ragunya?
Sebelum aku terlalu tenggelam dalam kebiasaan overthinking-ku, aku beranjak ke dapur dan mengeluarakan dua cetakan kecil berisi puding coklat dari dalam lemari es. Jujur ya, aku tidak terlalu jago urusan masak-memasak, tapi puding coklat adalah satu spesialisasiku. Ini resep turunan dari Bunda, dan kalau boleh sombong, di keluarga Wiraatmaja baru aku yang sukses re-cook resep ini dengan hasil yang persis buatan Bunda, termasuk juga saus vla-nya.
Eh, Tama sudah makan belum ya, pikirku ketika melihat jam sudah menunjukkan pukul 20.00. Atau kubuatkan spaghetti aja yang gampang?Saat aku masih sibuk dengan pikiranku, kudengar bel pintu berbunyi. Aku bergegas ke depan dan membuka pintu. Kutemukan Tama menatapku dengan senyuman lebarnya.
"Jadi... ada yang kangen sama aku nih?" tanya Tama ketika kami sudah duduk di sofa ruang tengah apartemenku.
Aku semakin menundukkan wajahku tersipu di dalam rengkuhan Tama, tidak berani menatapnya. Tama tertawa dan mengacak-acak rambutku.
"Kamu udah makan belum, Tam?" tanyaku setelah tawanya mereda.
"Udah, tadi dipesenin nasi goreng depan kantor sama Genta habis maghrib. Eh, jangan bilang kamu belum makan?" tanyanya dengan kening berkerut.
"Udah, kok, udah... aku udah makan tadi sebelum kamu dateng. Cek aja di dapur kalau nggak percaya, piringnya masih basah di rak. Still have room for dessert?" aku ganti bertanya sambil menatapnya. Senyum Tama semakin lebar mendengar kata dessert, "bentar ya aku ambilin...,"
Aku melepaskan diri dari pelukannya dan mengambil dua piring puding yang sudah kusiapkan tadi.
"Cobain, Tam...," ucapku sambil meletakkan puding untuk Tama di coffee table, sementara piring satunya kubawa duduk bersamaku.
Tama mulai menyuapkan sepotong puding dan vla ke mulutnya, sekejap kemudian dia langsung menatapku dengan mata berbinar-binar, "Ini enak banget deh... kamu... bikin sendiri?" tanya Tama yang kujawab dengan anggukan.
"I didn't know that you make dessert... wah, Ibu seneng banget ini sih kalau aku kasih tau, dia pasti seneng punya temen masak puding sama kue-kue gini," ucapnya lagi sambil kembali menyuap puding.
"I would say that I'm better at dessert and sweet breakfast rather than other meals," ucapku jujur, "aku nggak jago, Tam, kalau masak lauk pauk atau sayur gitu, bisa sih, buat konsumsi pribadi, tapi ya menunya itu-itu aja, dan aku belum berani masakin orang. Daripada nanti keracunan terus masuk rumah sakit abis makan masakan aku," terangku lagi sambil meringis.
"Ya nggak, lah, pudingnya aja enak banget gini. Eh tapi... any special occassions? Jangan-jangan kamu lagi ulang tahun ya?" tanya Tama dengan wajah panik yang membuatku tergelak.
"Enggak, Tama... ulang tahun aku masih jauh, bulan Mei, kok... this is me saying thanks to you...," ucapku tulus sambil menatap matanya lekat-lekat.
Tama menghentikan aktivitas makannya setelah mendengar jawabanku barusan. Ia mengerutkan keningnya, "To me? What for?"
Aku menghela nafas panjang sambil tetap menatapnya, "Terima kasih banyak ya, Tam, untuk kemarin... aku awalnya kesel kenapa kamu bocor banget ke Mas Rio, padahal aku cuma cedera ringan. Tapi sampai Ayah dateng ke sini...," aku terdiam sejenak mengingat kembali semua yang kurasakan kemarin, "aku nggak tau gimana caranya kamu tau, kalau sebenarnya itu yang aku butuhkan. Semua keluarga aku ada di sini, di apartemen ini, dan kita bener-bener ngobrol ketawa-ketawa seharian... sayangnya kamu nggak ada... tapi Mas Rio appreciate banget sama keputusan kamu untuk memilih kembali ke tempat kamu and give us some space as family... kamu nggak tau gimana penuhnya hati aku setelah mereka datang kemaren, Tam... so... thank you, Sayang...," ucapku sambil buru-buru memeluk Tama dan menyembunyikan wajahku di dadanya.
Kurasakan Tama mengecup puncak kepalaku lama."You're welcome, Sayang... tapi ini kenapa kok langsung ngumpet gini?" godanya sambil berusaha melepaskan pelukanku tapi yang kulakukan justru sebaliknya. Tama tertawa melihat kelakuanku yang seperti anak kecil ini, "percaya sama aku ya... keluarga kamu sesayang itu sama kamu, cuma mungkin mereka nggak tau apa yang kamu butuhin... let them know... kayak kemaren gitu, kan kamunya seneng juga jadinya..."
"Seneng banget, Tama... makasih ya...,"
"Kamu dari tadi makasih terus deh kayak mesin absen di kantor aku," ucapnya yang membuatku tertawa dan melepaskan diri dari pelukannya, "daripada diucapin terima kasih, aku lebih suka waktu kamu manggil aku 'sayang' tadi lho...," ujar Tama sambil mengedipkan sebelah matanya usil.
Aku menatapnya lekat-lekat lalu menghela nafas panjang, "I love you, Narendra Arkatama Daniswara...,"
Tama mengangkat alisnya terkejut dengan ucapanku, lalu tersenyum lebar, "I love you too, Sheila Naladhipa Prameswari," lalu menarikku kembali ke dalam pelukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Futsal Love [Completed]
RomanceSheila Naladhipa Prameswari (25) Si anak tengah yang tangguh dan independen. Jantung hati yang menerangi keluarga Wiraatmaja. A recruiter and a futsal freak. Narendra Arkatama Daniswara (29) Si bungsu kesayangan yang juga pelindung bagi saudaranya...