away for a while

5K 470 2
                                    

SHEILA

Sheila Naladhipa P:
Aku besok berangkat dinas ke Malang ya 3 hari.

Tidak sampai semenit pesan itu terkirim, nama Tama langsung muncul di layar ponselku.

"Ha-..."

"Sayang, kamu berangkat jam berapa besok? Kok tumben mendadak banget perginya?" belum sempat aku bilang halo, Tama sudah memberondongku dengan pertanyaan.

"Iya, Tam, aku berangkat sama Rhea besok dari kantor. Nggak mendadak sih, udah dari minggu lalu cuma aku lupa bilang aja sama kamu," eng... sengaja lupa sih tepatnya.

"Oh gitu... kamu nanti pulang jam berapa?"

"Belum tau, Tam... masih harus nyiapin perlengkapan buat dibawa besok nih, udah dul-..."

"Nanti aku jemput ya, Sheil...," ucap Tama memotong ucapanku lagi.

"Nggak usah, Tam, takutnya aku malem pulangnya, lagian aku bawa mobil kok...," tolakku halus. Aku masih malas ketemu Tama, jadi memang sengaja menghindar.

"Kamu nggak pengen ketemu aku dulu emangnya? Aku kangen lho udah nggak ketemu dua minggu, terus mau ditinggal kamu tiga hari...," ujar Tama lesu. Mau tidak mau aku tersenyum mendengarnya.

"Yaudah nanti aku kabarin, udah dulu ya...," ucapku sebelum memutus sambungan telepon. Hhh... susah ya mau menghindar dari kamu, Tam.

"Bye, Sayang..."

TAMA

Udah sejak Sabtu dua minggu lalu, gue belum ketemu Sheila. Nggak berani nemuin, lebih tepatnya. Gue nggak tau apakah Sheila emang mendadak sibuk banget, atau emang menghindar dari gue. Feeling gue sih yang kedua. Chat gue cuma dibalas seperlunya, selalu menolak kalau gue jemput atau ajak berangkat bareng. Entah alasannya karena ada acara sama Rhea lah, lembur lah, ada aja pokoknya. Dia juga nggak kelihatan di lapangan futsal di jadwal biasa kantor gue dan kantor dia bermain. Intinya butuh ketemu dia dulu sebelum dia business trip.
Tadi dia bilang dia bawa mobil, berhubung dia mau ke Malang, mobilnya nggak mungkin dia tinggal di kantor. Makanya, gue bela-belain ninggalin mobil di kantor dan naik ojek online ke MineCo, supaya bisa pulang bareng Sheila. Untungnya tadi cuma gerimis aja, jadi gue nggak basah-basah amat. Setelah sholat maghrib di musholla basement, gue menunggu Sheila di cafe lobby kantornya. Jam di tangan gue menunjukkan pukul 19:00, harusnya sebentar lagi Sheila sudah turun. Gue putuskan untuk mengirimkan whatsapp singkat

Narendra Arkatama D.:
Aku tunggu kamu di cafe lobby ya. Selesaiin aja dulu kerjaan kamu, nggak usah buru-buru :)

Sheila Naladhipa P.:
Ok. In ten minutes ya.

Alhamdulillah, masih dibales chat gue. Resiko mau sok-sok ngasih surprise ya gini deh. Semoga dia nggak overthinking terus mikir yang aneh-aneh deh. Sambil menunggu, gue meraih cangkir di hadapan gue dan meminum caffe latte yang masih hangat.

Tidak lama kemudian gue mendengar suara yang familiar di telinga akhir-akhir ini. Gue mendongak dan menemukan Sheila sedang menuruni tangga bersama Rhea.

"Tuuh udah ditungguin sama ayang...," ucap Rhea sambil menyenggol bahu Sheila pelan ketika jarak kami sudah kurang dari satu meter. Sheila hanya tersenyum tipis melihat gue. "Yaudah, gue duluan ya, Sheil... Tam, titip sahabat gue," ucap Rhea lagi sambil mengedipkan sebelah mata.

"Yuk?"

SHEILA

Entah kenapa kali ini aku merasa rikuh ketika Tama menggandeng tanganku menuju ke parkiran. Padahal, biasanya aku yang akan lebih dulu memegang lengannya saat kami jalan bersama.

"Mobil kamu parkir di mana?" tanyanya memecah keheningan di antara kami.

"Hah?"

"Tadi kamu bilang nggak usah dijemput karena kamu bawa mobil, jadi aku tadi ke sini naik ojek online, maksudnya supaya...,"

"Tadi itu hujan, Tama, jadi kamu ke sini hujan-hujanan?!" tanyaku keburu panik. Aku baru perhatikan kalau celana dan jaketnya agak basah walaupun tidak basah kuyup.

"Gerimis aja kok, Sayang. Nggak papa, yang penting kamu tetep bisa bawa mobil kamu pulang kan? Kamu mau nyetir sendiri atau aku setirin?" tanya Tama sambil tersenyum lebar. Kami memang selalu saling bertanya urusan siapa yang nyetir kalau sedang berangkat atau pulang bareng. Antisipasi kalau salah satunya sedang capek atau pusing banget sama kerjaan, daripada nanti di jalan kenapa-kenapa.

"Kamu aja yang nyetir nggak papa?" tanyaku sambil menatapnya khawatir, "kita langsung pulang aja, kamu langsung mandi supaya nggak pusing habis kena hujan...," lanjutku sambil menyerahkan kunci mobil.

"Siap, permaisuri," ucap Tama menerima kunci mobilku sementara tangannya yang lain membelai puncak kepalaku. Tam... kenapa kamu tega sih? Bikin aku sesulit ini lepas dari kamu, sementara kamunya juga... kenapa harus Chika sih? Aku membatin sambil melangkah ke tempat mobilku diparkir.

TAMA

"Kamu pasti belum makan, kan?" tanya gue ketika kami sedang berjalan menuju lift apartemen. Sheila menatap gue sesaat lalu menggeleng pelan. Sepanjang perjalanan dari MineCo ke sini tadi, Sheila belum mengucapkan sepatah katapun. Ia hanya fokus melihat ke luar kaca mobil. "Delivery aja ya? Coto makassar mau nggak, Sheil? Enak kayaknya anget-anget," lanjut gue lagi yang hanya dijawab anggukan pelan. Sabar, Tama..., it's gonna be a looong night

"Yaudah, aku pesenin, tapi aku sekalian mandi dulu ya...," ucap gue sebelum Sheila keluar dari lift. Lagi-lagi dia hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. Gue buru-buru memesan makanan lalu mandi secepat yang gue bisa.

Setelah mas-mas delivery mengabarkan bahwa dia sudah sampai di lobby dengan pesanan kami, gue bergegas turun mengambil pesanan lalu ke kamar 205. Tak lama setelah gue menekan bel pintu, Sheila keluar dengan kaos hitam dan celana panjang batik favoritnya.

"Masuk, Tam... makanannya udah dateng?" ujarnya mempersilakan gue masuk sambil memperhatikan bungkusan yang gue bawa.

"Iya, udah nih... aku pinjem mangkok sama sendok garpu kamu ya, Sheil...," ucap gue sambil mengikuti langkahnya ke dalam.

"Iya pake aja, udah aku siapin di meja makan...,"

"Ada event apa di Malang, Sheil?" tanya gue ketika kami sudah duduk berhadapan dan sibuk dengan makanan masing-masing.

"Biasa, campus recruitment, kebetulan di cabang Malang ada yang cuti dan lagi ikut training, jadi mereka kurang orang," jawab Sheila tanpa melihat ke arah gue.

"Ooo... eng... kamu lagi nggak mood ya, Sheil? Atau aku ada salah sama kamu?" tanya gue pura-pura polos. Ya ada lah salah lo, kampret, pake nanya. Iya, gue tau kok salah gue apa. Tapi beneran deh, gue bukannya mau deketin Chika kok. Ada sesuatu yang nggak bisa gue ceritain, sorry guys. Nggak sekarang. Sabar ya.

"Eng...," ujarnya menatap gue ragu, "nggak kok, lagi capek aja mungkin akunya...," lagi-lagi gue dihadiahi senyum tipis.

Futsal Love [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang