confession

5.4K 554 7
                                    

SHEILA

"Kamu tuh nggak akan ngerti, Mas. Kamu itu andalan keluarga Wiraatmaja. Everyone looked up to you. You've set such a high standard for us. Lalu Chika, semua orang mau selalu ngelindungin dia karena dia yang paling kecil. Spotlights are always on you both. You'll never know how being left-out feels like," kataku dengan nada naik turun yang tidak bisa kukontrol. Akhirnya kulepaskan juga semua yang selama ini menjadi bebanku.

"Kapan kita pernah ninggalin kamu sih, Dek? Aku itu selalu berusaha ngelindungin adik-adik, ya termasuk kamu. Bukannya kamu yang selalu menolak kalau diajak ini itu? Bukannya kamu yang nggak pernah mau cerita kalau kamu ada apa-apa? We're not mind readers. Kamu nggak bisa berharap orang tau apa yang kamu perluin kalau kamu nggak ngomong..." balas Mas Rio tidak kalah kerasnya. Hatiku rasanya sakit sekali mendengar ini. Bahkan di saat seperti ini pun aku masih saja salah.

"Aku kayak gitu, karena aku udah nggak tau lagi dengan cara apa aku harus bersaing sama Chika untuk ngedapetin perhatian kalian. Semua selalu tentang Chika begini, Chika begitu... kamu sadar nggak, dalam setiap apapun yang aku lakukan, kalau Ayah, Bunda, atau kamu tau Chika juga suka melakukan itu, kalian akan minta aku untuk mendahulukan Chika... sadar nggak?!" bentakku dengan suara tercekat. Mati-matian aku menahan air mataku supaya tidak mengalir. Mas Rio masih berdiri di sana melihatku, ketika aku mendengar suara bel pintu berbunyi. Sebelum pertahananku runtuh karena tatapan Mas Rio, aku memilih untuk membuka pintu apartemen. Aku tertegun melihat sosok yang berdiri di sana dengan sorot mata khawatir.

"Sheil... suaramu barusan kedengeran dari sini, lagi ngomong sama siapa?" tanya Tama dengan lembut. Aku terpaku di depan pintu, kurasakan mataku mulai basah.

"Hey, are you okay? Ke dalam dulu yuk...," ucap Tama lagi sambil membimbingku masuk dan menutup pintu. Seolah lupa kalau Mas Rio masih ada di dalam, aku menghambur ke pelukan Tama dan menumpahkan emosiku di sana. Kurasakan lengan Tama merengkuhku erat, sambil sesekali mengusap punggungku.

TAMA

Jujur gue kaget banget waktu tiba di depan unit apartemen Sheila tadi. Nggak biasanya gue bisa mendengar sayup-sayup suara Sheila dari luar pintu, kecuali dia sedang teriak. Awalnya gue ragu apakah sebaiknya gue batalkan saja kedatangan gue kali ini. Mungkin dia lagi butuh waktu sendiri. Tapi karena terlalu khawatir dia kenapa-kenapa, gue memutuskan untuk tetap menekan bel dan menunggu apakah dia akan membukakan pintu atau tidak.

Ternyata keputusan gue tepat. Lihat aja sekarang, Sheila masih menangis tersedu-sedu di pelukan gue. Kamu kenapa lagi, Sheil... batin gue dalam hati. Sampai gue menyadari ada orang lain di sana. Rio, or should I call him Mas Rio, berdiri tidak jauh dari hadapan gue dengan wajah yang... entahlah... frustasi mungkin...
Gue masih mencoba membaca situasi ketika akhirnya tangisan Sheila mereda. Ia mulai melepaskan diri dari pelukan gue, dan berjalan ke sofa di ruang tengah dan merebahkan dirinya di sana. Gue berjalan ke dapur dan mengambilkan segelas air untuk Sheila.

"Minum dulu biar tenang...," ujar gue sambil duduk di samping Sheila, sementara Rio duduk di atas bean bag yang ada di sisi kanan sofa.

Gue melihat Sheila dan Rio bergantian sebelum akhirnya bicara dengan hati-hati, "I know maybe I'm not the right person to talk about this but... may I know what's going on between you two?"

"Kamu tanya aja sama orangnya... Tam, maaf ya aku capek banget, aku mau istirahat dulu di kamar nggak papa ya? Kamu tolong temenin dia dulu boleh nggak? Kalau kamu udah capek tolong suruh pulang aja...," celoteh Sheila sebelum mengecup pipi gue pelan, "aku duluan ya..."

Gue menatap Sheila yang berlalu masuk ke kamarnya lalu terdiam. What the hell is happening? Rio masih duduk di tempatnya dan menatap nanar Sheila yang berjalan masuk ke kamarnya . Gue memutuskan untuk menunggu. Kalau lima sampai sepuluh menit ke depan masih hening begini, mungkin lebih baik gue pulang aja.

"Tam...," tiba-tiba Rio membuka suara. Gue refleks menegakkan posisi duduk.

"Ya...?"

"Lo udah lama deket sama adek gue?" tanya Rio yang akhirnya mengalihkan pandangannya ke gue.

"Well... kurang lebih 6 bulan belakangan ini... kenalannya sih udah agak lama...," jawab gue jujur. Rio mengangguk pelan.

"Dari waktu lo datang tadi, gue ngerasa ada hal-hal yang mungkin selama ini gue nggak tau tentang Sheila, tapi lo tau...,"

"Hmm...," gue merespon singkat, memberi kesempatan Rio yang tampak masih ingin berbicara lebih jauh.

"Gue ke sini, karena Ayah, Bunda, Chika, semua kangen sama Sheila. Terakhir dia ke rumah ya waktu weekend setelah kalian datang ke rumah, udah tiga bulan yang lalu kan itu... Sheila juga makin susah ditelpon... I'm not judging but... semenjak deket sama lo, dia jadi jarang banget pulang... gue yakin lo juga sadar itu...," tutur Rio sambil berpindah duduk ke sebelah gue di sofa. Gue tertegun mendengar dua kalimat terakhir Rio. Gue pikir, selama gue ke luar kota, Sheila akan menginap di rumah orang tuanya kalau weekend. Sejauh yang gue tau, kadang Sheila juga sering video call nyokapnya.

"Oke... gini ya, Yo... gue akan ngomong dari sisi Sheila, bukan untuk menggurui lo atau apa, although she said I'm two years older than you but that's not my point. Gue tanya dulu, kapan terakhir kali lo ngobrol berdua Sheila? That heart to heart talk that you both used to  have until... high school, maybe?"

Rio termenung dengan pertanyaan gue, "Go on...,"

"Udah lama banget, I guess. Tapi kapan terakhir kali, lo melakukan hal yang sama ke Chika?"

"Minggu lalu mungkin, waktu gue makan malem bareng sama dia abis jemput dia pulang kuliah," jawab Rio lagi.

"See? Lo bahkan masih inget detailnya...,"

"Ya Sheila juga kok yang menarik diri. Kalau dia bilang sama gue, dia masuk rumah sakit, gue pasti akan usahain pulang. Kalau diajak ketemu susah,"

"Bro, semua itu karena dia capek bersaing sama adiknya untuk dapat perhatian kalian. Dia akhirnya memilih untuk mundur dan mencari kebahagiaannya. I wonder if you know, dulu Sheila pernah dekat sama temen kuliahnya, tapi end up orang ini jalan sama Chika. Kenapa? Karena Sheila ngalah... as always..." gue menghela nafas pelan, "and that's the turning point, habis itu dia pulang kalau Bunda yang minta. Ini juga kenapa, Sheila masih belum mau ngajak gue lagi ke rumah... dia takut kejadian itu terulang untuk kedua kalinya...," lanjut gue lagi.

Rio tertegun lama mendengar penjelasan gue, "Kok gue bisa nggak pernah tau ya... terus Sheila cerita apalagi?"

"Nggak banyak yang dia ceritain. Tapi semakin gue kenal dia, gue tau dia kuat di luar, tapi rapuh banget di dalam. Dan gue pengen lo tau, gue serius sayang sama adek lo, Yo. Jadi gue nggak mungkin bawa dia ngejauh dari keluarganya sendiri," ucap gue serius.

"Terus gue harus gimana, Tam? Selama ini gue selalu berusaha adil dan ngelindungin adik-adik gue. Tapi ternyata malah gini...,"

"Yo... Sheila memang keras dan tertutup, tapi bukan berarti nggak bisa diajak terbuka. Sabar ya... pelan-pelan... mending sekarang lo pulang dulu... nanti ke sini lagi, di saat kalian berdua udah bisa ngobrol dengan kepala dingin...," saran gue sambil tersenyum.

Rio terdiam sejenak sebelum melangkah ke kamar Sheila dan mengetuk pintunya, "Dek..., Mas pulang dulu ya...," Rio menunggu di depan pintu kamar Sheila beberapa saat, namun tidak ada jawaban. "Tam, gue pamit dulu kalau gitu. Titip adek gue ya...," ucap Rio sambil berjalan ke arah pintu masuk.

Gue bangkit dari sofa dan mensejajari langkah Rio, "Iya, pasti gue jagain... hati-hati, bro..."

SHEILA

Aku mendengar suara ketukan pelan di pintu kamarku, "Sheil... Mas Rio udah pulang... kalau kamu mau istirahat aja, aku pulang juga ya...," terdengar ucapan Tama dari balik pintu.

Aku bergerak dari tempat tidur dan membuka pintu kamarku. Kutemukan Tama berdiri di sana dengan senyum dan tatapannya yang meneduhkan. Ia lalu mengelus puncak kepalaku sambil menarikku ke pelukannya, tempat ternyaman bagiku.

"Aku denger apa yang kamu bilang ke Mas Rio... harusnya kamu biarin aja, Tam...," kataku masih di dalam pelukannya.

"Hey, like I've said... aku nggak mau setelah dekat sama aku, kamu menjauh dari keluarga kamu. Kasih kesempatan aku untuk coba bantu kamu kali ini ya? You can tell me if I'm going too far...,"

Futsal Love [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang