TAMA
"Hi, Tam, seneng banget deh akhirnya kamu mau main ke sini lagi...," ujar Tiara sambil melebarkan tangannya mau meluk, tapi keburu gue mundur teratur.
"Pakde Bude ada, Ra?" tanya gue tanpa basa basi.
"Eh... ada kok di dalam, masuk dulu, Tam... kamu belum makan kan? Mama udah masak spesial buat kamu," ujar Tiara mengajak gue masuk.
"Sorry, Ra, tapi aku nggak lama. Di sini aja ya...," tolak gue sehalus mungkin lalu duduk di ruang tamu.
Keceriaan Tiara seketika meredup. Ia mengerutkan kening lalu masuk ke dalam dan memanggil kedua orang tuanya.
"Tama, kok ke sini nggak bilang-bilang? Sendirian aja?" tanya Pakde Pur yang muncul ke ruang tamu bersama Bude, "Tiara lagi bikinkan minum sebentar ya...,"
"Oh, nggak usah repot-repot, Pakde, Bude... Tama cuma sebentar kok...,"
"Ndak papa, Le... jadi mau ngobrolin apa ini? Pertunangan kamu sama Tiara?" tanya Bude dengan semangat empat lima. Gue menghela napas panjang. Untungnya Tiara sudah kembali dengan membawa nampan berisi tiga empat gelas teh hangat.
"Minum dulu, Tam...,"
"Thanks, Ra...," Tiara lalu bergabung duduk di sebelah kanan gue, "jadi, soal rencana pertunangan Tama dengan Tiara... Tama tau, ini mungkin sudah menjadi perjanjian atas nama persahabatan Pakde dengan Bapak sejak lama...," gue menatap Pakde lurus-lurus, mencoba memberi jeda, "tapi... saat ini... Tama sudah punya pilihan Tama sendiri, Pakde, Bude... Tama minta maaf...,"
"Maksud kamu?" tanya Bude dengan nada meninggi. Pakde Pur yang tampak lebih tenang menahan gerakan tangan Bude, seolah memintanya untuk mengontrol diri.
"Tama sadar, keputusan Tama saat ini bisa mempengaruhi relasi Bapak dengan Pakde Pur. Hanya saja, Tama yang akan menjalani semua ini, bukan Pakde, Bude, ataupun Bapak. Tujuan Tama jelas, Tama dan Sheila berencana menikah tahun ini. Bapak sudah tau itu sebelum Pakde datang kembali. Bapak juga sudah tau Tama akan ke sini, untuk membicarakan hal ini," tutur gue lagi.
Gue beralih menatap Rara yang sudah semakin menunduk, "Ra..., aku minta maaf..., kita udah pernah coba jalanin hubungan ini dulu, dan buat aku semuanya hanya masa lalu. Aku sayang banget sama Sheila dan hubungan kami bukan main-main. Apa yang kamu lakukan di media sosial, dan usaha kamu untuk bikin aku sama Sheila berantem, buat aku udah sangat keterlaluan," gue menghela nafas panjang, "aku mohon berhenti ngelakuin itu semua, dan tolong hapus foto aku yang kamu posting di media sosial. Aku yakin suatu saat nanti, kamu akan ketemu orang yang sayang sama kamu dengan cara yang kamu butuhin, tapi maaf... bukan aku orangnya...,"
Tiara sepertinya tidak dapat menahan air matanya dan mulai terisak, "Apa sih kurangnya aku dibanding dia, Tam? Kenapa kita nggak bisa coba ulang lagi dari awal? Aku udah berubah, Tam...,"
Gue tersenyum tipis, "Semua orang punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing, Ra. Tapi apa yang kamu lakukan ke Sheila justru nunjukin sebaliknya, Ra, kamu masih seperti dulu. Jangan berubah demi aku, Ra, berubah karena kamu memang mau berubah menjadi lebih baik, buat diri kamu sendiri," ucap gue sambil menepuk pelan lengannya.
"Tama... Pakde lihat kamu sudah yakin sekali dengan keputusan kamu," ujar Pakde Pur dengan nada kebapakannya. Gue menatap Pakde Pur lalu mengangguk.
"Kalau sudah begitu, walaupun Pakde berharap bisa besanan sama Bapakmu, rasanya Pakde tidak bisa menahan kamu...,"
"Pak!" seru Bude tidak terima, dan beralih duduk di samping Tiara yang masih menangis. Jujur, momen seperti ini yang selalu gue hindari ketika gue berhubungan dengan perempuan. Jarang ada yang bisa cukup dewasa untuk mengakui di saat kita sudah tidak sejalan, dan memang berpisah adalah yang terbaik. Makanya biasanya, gue memilih untuk menghilang.
"Tiara juga harus belajar, Bu, ada kalanya keinginannya tidak bisa terpenuhi. Tama, silahkan perjuangkan cintamu...,"
***
SHEILA
Weekend ini lagi-lagi aku harus merelakan Tama kembali bertemu Tiara, Tiara, Tiara lagi, bahkan kali ini di rumahnya. Entahlah, semoga saja Tama benar-benar bisa menyelesaikan masalahnya.
Aku memutuskan untuk menghabiskan waktuku di apartemen saja, mencoba kembali mengasah kemampuan baking dengan membuat brownies. Coklat tidak pernah salah, dan selalu bisa membangkitkan mood baikku kembali.
Saat loyang sudah duduk manis di dalam oven, aku mendengar suara ketukan pelan di pintuku. Aku berjalan menuju pintu dan mengintip dari lubang kaca.
"Mas... tumben siang-siang ke sini...," ucapku sambil memeluk Mas Rio yang berdiri di depan pintu dengan kaus lengan panjang hitam, celana jeans, dan sneakers andalannya. Ia membalas pelukanku dan mengacak-acak rambutku seperti yang selalu dilakukannya.
"Hai, Mbak Lola... long time no see...," sapaku berganti ke wanita cantik yang berdiri di belakang Mas Rio sejak tadi, menunggu kami selesai berpelukan.
"Hai, Sheil..., iya nih kalau aku ke rumah pasti kamu nggak ada, sibuk banget ya wanita karir?" aku hanya bisa meringis mendengar pertanyaan Mbak Lola.
"How do you feel right now, lil' sis? Hmm wangi apa nih?" tanya Mas Rio sambil melangkah masuk ke pantry.
"Yaa... gitu deh... lagi bikin brownies nih, Mas, pas banget kamu datengnya...,"
"Iya, dong, Mas kan punya radar makanan enak...," ujarnya sambil meringis.
"Well... when your in doubt, go baking or cooking...," ucapku sambil mengedipkan mata ke arah mereka.
"Anyway, kita ke sini mau ngecek kamu aja. Tadi Tama bilang dia ada urusan...,"
"Iya, urusan ke rumah Tiara...," ucapku memotong omongan Mas Rio lalu mendengus pelan.
"Dengerin dulu, anak kecil...," tegur Mas Rio sambil mengacak rambutku, "Tama itu takut kamu masih emotionally unstable, dia minta Mas ngecek kamu ke sini," Mas Rio menghentikan ucapannya sejenak saat aku menaikkan alis menatapnya, "he cares that much about you... have a little faith that you two can get through this...,"
"I knooow... tapi Mas kan tau sendiri Ayah gimana... kalian nikah deeeh buruan...," ujarku setengah merajuk.
"Soal itu, we also have good news for you," ucap Mas Rio, diikuti Mbak Lola memamerkan jari manisnya kepadaku.
"WHAAAT?! CONGRATS, YOU GUYS!" seruku sambil memeluk mereka berdua erat-erat. Akhirnya setelah lima tahun berpacaran, Mas Rio dan Mbak Lola menuju arah yang lebih serius.
"Jadi gini... Rio emang udah ngelamar aku, tapi tetep... aku pertengahan tahun ini jadi lanjut S2 ke London...," tutur Mbak Lola.
"Lah terus maksudnya?" tanyaku dengan kening berkerut.
"Ini nunjukkin keseriusan aku sama Lola, Dek..., kalau aku sama Lola pasti akan menikah, tapi nanti setelah Lola selesaiin sekolahnya dulu. Ya tunangan dulu kan nggak ada salahnya? Toh udah yakin dan cuma masalah waktu... mudah-mudahan, dengan ini juga Ayah lebih tenang dan ngijinin kamu sama Tama nikah duluan...,"
"Mas... Mbak... I'm so thankful to have you in my life...,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Futsal Love [Completed]
RomanceSheila Naladhipa Prameswari (25) Si anak tengah yang tangguh dan independen. Jantung hati yang menerangi keluarga Wiraatmaja. A recruiter and a futsal freak. Narendra Arkatama Daniswara (29) Si bungsu kesayangan yang juga pelindung bagi saudaranya...