SHEILA
Aku sedang menyeduh secangkir teh hangat dengan madu dan irisan lemon ketika bel pintu apartemenku berbunyi. Aku melihat jam dinding di ruang tengah, masih pukul 7 pagi. Siapa ya sepagi ini? Aku berjalan menuju pintu apartemen lalu melihat siapa yang datang dari peep hole. Astaga. Ini aku nggak salah lihat? Aku membuka pintu apartemen dan benar dia yang berdiri di sana dengan kemeja warna biru muda dan celana jeans serta oxford shoes warna hitam.
"Pagi, Sheila..."
"Tama... kamu... yakin nggak salah kamar?" tanyaku dengan satu tangan masih memegang cangkir teh ku.
Tama tertawa mendengar jawabanku, "Ya nggak dong, Sheil... udah sarapan belum?" tanyanya sambil mengangkat kantung kertas yang kutahu itu dari cafe di lobby apartemen.
"Belum sih... eh, masuk, masuk, Tam...," kataku tersadar kami masih berdiri di pintu unitku. Kubuka pintu apartemen lebih lebar dan mempersilakan Tama masuk.
"Tadi gue beliin tuna sandwich di bawah, tapi nggak gue beliin minum, soalnya nggak tau lo suka kopi atau nggak...," kata Tama sambil mengeluarkan dua bungkus sandwich di meja makan, plus ada satu cup minuman untuknya.
"Repot-repot deh, Tam, makasih ya. Padahal gue baru mau bikin roti. Dalam rangka apa nih by the way pagi-pagi ke sini?" tanyaku masih heran.
"Nggak dalam rangka apa-apa sih, kebetulan gue mau berangkat kerja dan gue inget lo bilang biasanya lo berangkat setengah delapan, ya gue coba aja mampir...," cerita Tama sambil tersenyum. Manis sekali sih anak ini. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala. Kalau Tama begini terus bisa-bisa aku nggak kuat iman.
"Thanks banget ya, Tam... I don't know what to say...," ujarku salah tingkah.
Setelah selesai sarapan, kami berjalan bersama ke parkiran, lalu berpisah dengan mobil masing-masing. Awalnya Tama menawariku untuk berangkat bareng dia, karena toh kantor kami searah. Tapi aku menolaknya dengan alasan hari ini mungkin akan lembur di kantor. Alasan sebenarnya, aku tidak mau terlalu tergesa-gesa memberikan angin segar, padahal aku tau hatiku belum siap.
TAMA
Keputusan gue untuk mampir pagi ini tepat rupanya. Sheila cantik banget tadi, dengan kemeja putih bertuliskan MineCo di dada kanannya, celana pensil warna biru donker dan ankle boots warna hitam. Seperti yang gue udah pernah bilang juga ke dia, I found her a little bit boyish type, tapi tetap terlihat wanita. Ngomong apa sih gue? Yah gitulah pokoknya. Ketemu dia bikin mood gue bagus seharian. Padahal kerjaan lagi banyak-banyaknya. Kayak sekarang ini nih, gue lagi battle melawan virus yang menyerang sebagian komputer klien di lokasi tambang.
"Gimana, Tam menurut lo, kita perlu visit ke site ini nggak? Kayaknya virusnya nggak terlalu masif sih. Masih bisa di handle dari sini kan?" cerocos Genta bertanya dan menjawab pertanyaannya sendiri.
"Hmm...?" responku dengan alis terangkat dan senyum mengembang.
"Woy! Tadi siang makan apa sih lo? Udah tau lagi berantem sama virus masih bisa senyam senyum...," gerutu Genta sambil menghempaskan tubuhnya di kursi sebelahku.
"Bukan makan siangnya, Ta... tapi sarapannya....," jawabku masih sambil tersenyum.
"Hah? Wah... oooh gue tau nih... wah parah lo, Tam, mentang-mentang di apartemen yang sama... terus udah main nginep-nginep-..."
"Heh, geser emang ya otak lo!" seru gue sambil menoyor kepala bocah gila satu ini, "nggak gitu juga maksudnyaaa... cuma sarapan bareng aja sama orang cantik...," tutur gue jujur.
"Waah... susah deh nih lo kalo udah kena pesona cewek cantik... nggak usah nyengir-nyengir gitu najis banget muka lo! Untung sohib...," ucap Genta sambil bergidik geli. Kampret emang nih anak.
"Kalo masih trouble sampe hari Jumat, Senin depan kita berangkat deh, Ta, ke Melak. Sementara coba di remote dari sini dulu aja, bisa kayaknya...," ujar gue menjawab pertanyaan awal Genta tadi. Pekerjaan gue kadang mengharuskan gue traveling ke tempat-tempat terpencil yang susah sinyal. Seperti klien kami yang di Melak ini, beberapa bulan yang lalu gue, Genta, dan tim ke sana untuk melakukan instalasi perangkat supaya kantor di sana bisa memiliki jaringan internet dan telepon satelit. Kadang kami juga harus manjat tower yang cukup tinggi, bayangin aja kayak tower provider telekomunikasi selular gitu. Kalau ke site-site begitu ya resikonya gue akan sulit dihubungi beberapa hari. Makanya, gue sebenarnya malas kalau harus ke site sekarang-sekarang ini. Nanti kalau Sheila kangen gimana? Eh?
SHEILA
Apa mungkin aku kualat ya sama Tama? Hari ini aku beneran lembur karena harus menyelesaikan organization chart seluruh departemen. Di kantor-kantor lain mungkin ada tim OD - Organization Development - yang khusus mengurusi bagian ini. Namun, di MineCo, recruiter juga terlibat karena aku harus memonitor berapa posisi kosong yang ada di organisasi dan harus diisi. Jika ada yang sudah terisi maka aku harus melakukan update kembali dan melaporkannya ke tim OD. Termasuk juga jika ada promosi atau mutasi karyawan yang mengakibatkan perubahan level, atau perpindahan karyawan lintas cabang atau departemen. Ini bagian yang cukup krusial karena akan berpengaruh ke sistem approval untuk business trip dan/atau cuti. Eh, kalian pusing ya bacanya? Okay, enough about work for now.
Kulihat jam di tangan kananku, ternyata sudah menunjukkan pukul 18.15. Kuputuskan untuk menutup laptop dan merapikan barang-barangku sambil menunggu adzan Maghrib, sekalian saja sholat di musholla sebelum pulang. Kulanjutkan besok saja pekerjaan ini, toh deadline-nya masih hari Jumat, 2 hari lagi. Perutku juga sudah mulai keroncongan. Terakhir diisi nasi padang tadi siang.
Beruntung jalanan hari ini tidak terlalu macet. Setelah memarkirkan mobilku di tempat biasa, aku berjalan ke lobby apartemen. Sampai di depan lift yang akan membawaku ke unit apartemen, aku seperti menemukan sosok yang familiar di sana.
"Tama?" sapaku hati-hati. Takut salah orang. Yang bersangkutan menoleh dan menaikkan alisnya tampak tidak menyangka kehadiranku di sana.
"Eh? Sheila... baru pulang?" tanyanya sambil tersenyum ramah.
"Iya nih, abis lembur sebentar... lo abis delivery online?" tanyaku sok tahu sambil melihat bungkusan yang dibawanya di tangan kanan. Rasanya nggak mungkin dia habis beli makan di luar dengan celana pendek dan kaus oblong yang sudah pudar warnanya.
"Iya... lagi malas masak soalnya... cari yang cepet aja... lo udah makan? Makan bareng gue mau nggak? Kebetulan gue pesennya agak banyak tadi. Nggak alergi seafood kan?" tanya Tama sambil menunjukkan bungkusan makanannya.
"Eh... nggak usah, Tam... buat lo aja... gue gampang kok paling nanti order online juga... masa udah dibawain sarapan, terus sekarang diajak makan malem juga?" jawabku sambil menekan tombol lift naik yang rupanya sejak tadi belum dipencet oleh Tama. Pantas aja pintunya ga terbuka-buka.
"Ya nggak papa, lah... ini juga gue nggak akan habis kok sendirian. Daripada mubazir kan mending gue bagi-bagi. Itung-itung sekalian nemenin gue makan nggak papa kan? Mau ya?" tanya Tama lagi dengan pertanyaan yang sangat leading. Duh, anak ini kenapa wajahnya sok memelas gini sih, aku kan jadi nggak enak hati.
"Ya udah... gue temenin... tapi gue mandi dulu boleh ya? Lo kalo udah laper makan duluan aja...," jawabku menyerah sambil masuk ke dalam lift dan menekan tombol angka 2.
"Oke, kamar gue nomor 505 ya, Sheil..., gue tunggu lho beneran...," ucapnya ketika lift sudah sampai di lantaiku.
"Iyaa, Bapak Tama nanti gue nyusul yaa...,"
Thank you untuk siapapun yang udah mau baca cerita ini ❤
This is my first writing so... mohon maaf kalau masih banyak kurangnya di sana sini.
I'm just checkin' akan lebih banyak yang baca kalau di post di weekend atau weekdays?Your vote & comments will be appreciated! See you later!
KAMU SEDANG MEMBACA
Futsal Love [Completed]
RomansaSheila Naladhipa Prameswari (25) Si anak tengah yang tangguh dan independen. Jantung hati yang menerangi keluarga Wiraatmaja. A recruiter and a futsal freak. Narendra Arkatama Daniswara (29) Si bungsu kesayangan yang juga pelindung bagi saudaranya...