someone from the past

6.1K 539 8
                                    

SHEILA

Berawal dari nonton konser Sheila on 7 waktu itu, aku dan Tama semakin sering bertemu di akhir minggu walaupun aku masih belum mau menyatakan kalau kami ini pacaran. Minggu ini, aku minta tolong Tama untuk menemaniku di acara reuni angkatan. Selain karena undangannya boleh membawa plus one, aku tidak mempunyai sahabat yang benar-benar dekat waktu kuliah selain Rhea dan anak-anak futsal. Sebagian dari mereka akan datang bersama pasangan masing-masing. Daripada aku jadi nyamuk, lebih baik aku ajak Tama kan?

"Sheila... aku nggak nyangka bisa ketemu kamu lagi... apa kabar?"

Suara ini... sekian lama menghilang dari duniaku. Kenapa tiba-tiba aku harus mendengar suaranya lagi? Aku yang sedang mengambil minuman menarik napas dalam-dalam sebelum memberanikan diri untuk balik badan. Benar, ternyata dia.

"Baik...," jawabku berusaha sedatar mungkin, sambil berjalan ke arahnya.

"Hei... tunggu...," ucapnya lagi sambil menahan lenganku ketika aku berjalan melewatinya. Aku terpaksa menghentikan langkahku dan menoleh ke arah lenganku yang dipegangnya, sampai akhirnya dia melepaskannya.

"Ada yang mau aku obrolin sama kam-..."

"Sudah tidak ada yang perlu dibahas lagi di antara kita, Rei. Semua sudah lewat. Aku duluan," tandasku sambil berlalu dari hadapannya.

Aku bergegas menghampiri Tama yang berdiri tidak jauh dari meja tempat mengambil minuman tadi.

"Sheil? Is everything okay?" tanyanya pelan sambil mengelus bahuku.

"Hmm... not really... kita pulang aja yuk? Atau kamu masih pengen makan atau apa gitu?"

Tama menggeleng sambil tersenyum, "Ini kan reuni angkatan kamu, Nduk... aku tugasnya nemenin aja... kalau kamu udah mau pulang ya ayo kita pulang...,"

TAMA

Dengan hati-hati gue merangkul bahu Sheila. Oh, ternyata dia tidak bereaksi seolah risih atau menolak. Kami keluar dari ballroom sambil masih menyapa beberapa tamu undangan dan ijin pamit pulang lebih dulu.
Gue penasaran siapa sih lelaki tadi? Kok habis ketemu dia, permaisuri gue langsung berubah gini mood nya.

Gue tatap Sheila sejenak ketika kami sudah duduk di dalam mobil gue, memastikan kalau dia sudah nyaman sebelum kita berangkat. Wajahnya masih dengan ekspresi yang sulit gue artikan, yang jelas gue menangkap ada kesal di sana.

Gue menyalakan music player untuk memecah keheningan di antara kami. My Sheila on 7 playlist, of course. Belakangan ini gue tau kalau kita punya kebiasaan yang sama, di saat ada sesuatu yang mengganjal, atau butuh fokus lebih, kita akan memasang lagu-lagu Sheila on 7 in shuffle.

"Namanya Reinaldi, waktu kuliah dulu, kita pernah deket banget. Orang-orang ngiranya kita pacaran. Sampai akhirnya dia main ke rumah dan ketemu Chika, adik aku. Habis itu ternyata mereka malah sering jalan berdua di belakang aku...,"

Gue menatap Sheila sejenak saat mobil ini berhenti di lampu merah, memastikan aja gue takut dia nangis atau kenapa-kenapa.

"Aku ngalah... udah otomatis dari sananya, kalau ada pilihan antara aku atau Chika, pasti aku yang mengalah. Dalam urusan apapun, termasuk ini," ceritanya sambil tersenyum getir.

Gue mengelus rambut hitam sebahunya itu, "If you're feeling not comfortable, you don't have to continue, Sheil... I won't ask any further...,"

Semakin gue kenal Sheila, semakin gue tau betapa kompleksnya cewek yang duduk di sebelah gue saat ini. Setiap hari seperti selalu ada lapisan baru dalam kehidupannya yang ia buka. Di balik sifatnya yang ceria dan care ke semua orang, jauh di dalam sana gue bisa merasakan ada rasa sakit yang mati-matian ia sembunyikan.

Have you been strong for too long, Sweetheart?

SHEILA

Ucapan Tama membuatku tertegun. Salah satu kelemahanku adalah gampang sekali cerita tentang keluarga atau tentang diriku sendiri ketika terbawa suasana, atau memang obrolannya sangat cair. Aku memandangi Tama yang sedang fokus menyetir di sebelahku.

"Maaf ya, Tam, kalau kamu terganggu sama cerita aku...," ucapku akhirnya. Tama tahu-tahu menepikan mobilnya di jalanan yang agak sepi sore itu, "Eh? Kok berhenti?" tanyaku bingung.

Tama menatap mataku lama, sebelum kembali bersuara, "Sheil, jujur ya, aku seneng dengerin cerita-cerita kamu, tentang apapun itu. Mau soal kerjaan, musik, keluarga kamu, anything. Yang aku nggak mau, kamu terpaksa untuk cerita tentang hal-hal yang sebenernya belum siap untuk kamu bagi... bukan berarti kamu harus melakukan itu hanya karena aku bilang aku suka sama kebersamaan kita... ya?" tutur Tama dengan tatapan khawatir.

Yaampun... tiba-tiba mataku terasa panas dan berair. Jangan nangis sekarang dong, Sheil, malu ah sama Tama. "Makasih banyak ya, Tam...," ucapku sambil menggigit bibir bawah tanpa berani menatap matanya.

"Hey... it seems like you need a hug... come here...," ujar Tama sambil merentangkan kedua tangannya. Aku mau tak mau tertawa melihat wajah lucunya sebelum memberanikan diri jatuh ke dalam pelukannya. Hangat... seperti yang dulu Mas Rio lakukan ketika aku cedera ankle setelah pertandingan futsal antar SMA. Hhh... kenapa ya, setiap aku dekat dengan laki-laki, semuanya selalu aku banding-bandingkan dengan Mas Rio. Mungkin karena jarak umur kami yang tidak terlalu jauh. Atau karena aku dan dia punya waktu lima tahun berdua saja, sebelum lahirnya Chika. Sebelum lampu sorot di keluarga Wiraatmaja berpusat kepadanya dan meninggalkanku di balik layar. Tersadar dari lamunanku, aku segera melepaskan diri dari pelukan Tama yang semakin lama semakin memabukkan.

"Sorry, sorry, Tam...," ucapku rikuh, kembali ke posisi dudukku semula. Kurasakan tatapan Tama menuju ke arahku, "It's okay..., feel better?"

"Thank you...," ucapku sambil mengangguk pelan.

TAMA

Setelah memastikan Sheila udah ngerasa lebih baik, gue melajukan mobil menuju apartemen kami. You know what, rasanya nyaman banget waktu meluk Sheila tadi. Kayak mau seberat apapun hidup, selama ada dia di sini, semua akan baik-baik aja. I just hope she feels the same.

And if you care to know, nope, we're not a thing, yet. Masih di fase kita jalanin dulu aja. But I think I know the reason why. Untung kakak gue perempuan ya. Kalau kakak gue cowok, mungkin masalah kayak gini juga akan mampir ke kehidupan gue.

"Sheil... apa... Reinaldi orang yang bikin kamu kayak sekarang? I mean... hati-hati dalam memulai sebuah hubungan...," tanyaku setelah kami berdua duduk di meja makan apartemen gue ditemani dua cangkir teh hangat.

"Iya, Tam... he's the one. Udah lama banget sih sebenernya, waktu aku kuliah tingkat tiga... untung waktu itu lagi banyak-banyaknya kegiatan, jadi agak lumayan teralihkan fokusnya... bahas yang lain aja ya?" pinta Sheila sambil meringis. Gue mengangguk pelan.

"Oh iya by the way, aku lupa terus mau nanya ini, kamu main piano juga? Apa sih yang kamu nggak bisa?!"

Wanita cantik di hadapan gue tertawa geli. Ia menyesap tehnya sebelum balik bertanya, "Kamu tau dari mana?"

"Your IG story a few weeks ago, Miss Prameswari... remember?"

Sheila tertawa lagi dan menutup matanya dengan satu tangan, "Kamu lihat?! Aduh malu. Pas aku lagi di rumah Ayah ya? Tam, could you erase your memory on that?"

"Lho kenapa sih? Bagus gitu lho mainnya... mau dong aku dimainin kapan-kapan, atau kamu main piano aku main gitar gapapa deh...," ucapku jujur.

Sheila menggeleng-gelengkan kepalanya sambil memejamkan mata, salah tingkah. Manis sekali.

Futsal Love [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang