breakdown

5.2K 457 11
                                    

TAMA

"Sayang... aku harus gimana lagi supaya kamu percaya... itu foto lama... lebih dari sepuluh tahun yang lalu... ya aku juga nggak tau kenapa foto itu ada sama Tiara...," keluh gue saat kami berdua sudah duduk di sofa apartemen Sheila setelah sama-sama membersihkan diri sehabis main futsal tadi.

"Aku udah pernah bilang kan, aku percaya kamu, tapi aku nggak percaya Tiara...," ujar Sheila sambil terisak, "aku nggak kuat, Tam..."

Sungguh kalimat terakhir Sheila adalah kalimat yang paling gue takutkan keluar dari mulutnya.

"Kamu mau aku gimana, Yang..., kasih tau aku... apapun asal jangan nyerah sama hubungan kita...," gue memohon sambil menggenggam tangannya.

"Aku nggak tau, Tam...," jawabnya lirih. Gue menariknya ke dalam pelukan, berharap Sheila bisa merasakan detak jantung gue yang lebih kencang dari biasanya.

"Kita udahan aja ya...," seketika badan gue menegang. Gue melepaskan pelukan gue dan memposisikan badan berhadapan dengan Sheila.

"Liat aku dan ulangin apa yang kamu bilang barusan...,"

Sheila justru semakin menundukkan wajahnya. Bahunya naik turun dan air matanya mengalir semakin deras dan mengenai tangan gue.

"Sheila...," gue menghela nafas panjang dan detik berikutnya gue kembali merengkuh Sheila kembali ke dalam pelukan tanpa berkata apa-apa lagi.

Tiara memang gila. Dia follow semua akun sosial media Sheila. Gue udah bilang sebaiknya nggak usah di-accept request-nya, tapi yang Sheila lakukan justru sebaliknya. Alhasil, beberapa hari lalu Sheila melihat postingan di instagram Tiara, yang entah dari mana asalnya, tapi Tiara punya foto gue dan dia berdua dengan seragam SMA. Posisi tangan gue berada di atas kepalanya dan kami berdua tersenyum lebar. Nggak cukup itu, di caption tertulis:

tiaralarasati:
Promise me you'll stay by my side... teman hidupku... #boyfriend

SHEILA

HASHTAG BOYFRIEND! Aku sesungguhnya paling males kalau harus berdebat di sosmed. Tapi perempuan satu ini... bener-bener menguji kesabaranku. Tama sudah jelas-jelas menyatakan posisiku waktu itu. Aku setengah mati berusaha untuk selalu percaya Tama. Tapi batu yang ditetesi air terus menerus lama-lama pun akan bolong.

"Aku nggak mau bikin kamu jadi anak yang melawan orang tua, Tam... tapi gimanapun juga ini hidup kamu... kamu yang jalanin... kalau kamu yakin pilihan Ayah kamu adalah yang terbaik, mau aku berjuang sekuat apapun... aku akan tetap kalah, Tam... I'll let you go...," tuturku masih dengan sisa-sisa isakanku.

Tama mengacak rambutnya kesal, "Sheila I love you, okay? Aku nggak kebayang ngabisin sisa hidup aku sama orang lain selain sama kamu...,"

"Ya terus yang tadi itu apa?! Kasih tau aku gimana caranya aku harus bertahan, sementara ada orang lain di sana yang punya sejuta memori dengan kamu dan keluarga kamu. Aku harus berjuang kayak gimana lagi, Tam? Aku ngerasa kayak aku berjuang sendiri... aku mati-matian mempertahankan posisi aku di depan keluarga kamu, sementara kamu nggak berbuat apa-apa... aku capek, Tama...," keluhku frustasi.

"I'm still here for God's sake... with you... aku nggak ninggalin kamu, Sheil, aku juga nggak ngegubris Tiara sama sekali even dia nelponin aku terus-terusan. Aku juga berjuang di sini, Sayang...," ucap Tama sambil memegang kedua bahuku dengan nada suara yang mulai meninggi, sama putus asanya.

"Then do something, Tama!" tandasku lalu beranjak ke kamar dan meninggalkannya sendiri di ruang tengah.

Aku tau, bertahan dan menunggu adalah bagian dari berjuang versi Tama. Tapi ketika yang dihadapi adalah Tiara, yang akan menghalalkan segala cara untuk membuatku cemburu dan putus dari Tama, itu semua tidak cukup. Tiara tidak akan menyerah lalu mundur teratur dengan suka rela, percaya deh.

"Mbak..., lo di mana? Gue ke tempat lo ya...," sayup-sayup kudengar suara Tama di depan pintu kamarku, "aku pamit dulu, Sheil... We need time... you know I love you so much, don't you?"

TAMA

Setengah jam kemudian gue merebahkan diri di sofa ruang tamu Mbak Riris dan menghela nafas panjang, "Gue harus gimana, Mbak...,"

"Sheila bener, Dek... Tiara bukan tipe orang yang akan mundur perlahan meskipun udah dicuekin kayak gimana juga..., you have to make a move...," ujar Mbak Riris sambil menepuk puncak kepala gue.

Gue menatap kakak satu-satunya itu dengan kening berkerut, "By that you mean...?"

"Bilang sama dia kalau apapun yang dia lakukan, lo akan tetap nikah sama Sheila. Bilang sama orang tuanya, sama bapak ibu kalau perlu," tiba-tiba suara Mas Aji terdengar dari arah belakang. Gue menoleh dan mendapati kakak ipar gue berjalan menghampiri kami sambil tersenyum.

"Sorry ganggu malam-malam ya, Mas...," ucap gue lirih. Mas Aji duduk di sebelah gue lalu menepuk punggung gue.

"No worries, that's what family are for...,"

"Durhaka nggak ya gue... Sheila mau mundur aja, karena ga mau bikin gue milih antara dia atau Bapak...,"

"This is your life, Dek... yang akan jalanin nantinya lo, bukan Bapak. Lagian lo kenapa sih takut amat? Atau jangan-jangan lo masih ada rasa sama Tiara?" ganti Mbak Riris mencecar gue kali ini.

"Nggak, Mbak, ampun deh... kapan sih gue pernah bener-bener suka sama Tiara?!" ujar gue mulai gusar sementara Mbak Riris hanya mengangkat bahu, "gue cuma nggak mau nyakitin perasaan orang lain aja...,"

"Lha terus lo pikir dengan lo kayak gini nggak nyakitin perasaan Sheila? Kadang otak lo bisa geser juga ya," omel Mas Aji tanpa ampun.

"Ini nih kebiasaan lo dari dulu... kalau punya pacar nggak pernah mau mutusin, tapi lo nya ghosting atau berubah jadi ice king sampai si ceweknya nyerah sendiri. Man up dong, Dek, take your responsibility. Lo nggak bisa nyenengin semua orang. Kadang memang ada yang harus dikorbankan. Kadang memang ada hubungan yang tidak bisa diselesaikan dengan baik-baik. Memang ada hubungan yang tidak bisa kembali seperti normal seolah nggak ada apa-apa. Pertanyaan gue sekarang, lo lebih milih Tiara atau Sheila yang sakit hati? Lo lebih milih kehilangan siapa?"

Futsal Love [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang