another futsal time

5.3K 498 4
                                    

SHEILA

Yang ku tau aku merasa betis kananku sakit sekali setelah menendang bola dari sudut tadi. Aku duduk dan meluruskan kakiku sambil mengangkat tangan meminta pertandingan dihentikan sementara. Hari ini harinya wanita di MineCo Sports Tournament. Tim futsalku yang terdiri dari departemen HR dan Finance, termasuk Rhea, melawan tim dari departmen Safety dan Service. Iya, kantorku ini cukup menjunjung tinggi kesetaraan gender, jadi wanita tidak hanya ada di posisi-posisi administratif, tetapi juga posisi operasional seperti engineer, mechanic, dan juga safetyman.

Pertandingan masih 5 menit lagi, kedudukan 2-1 untuk tim HR dan Finance.

Rhea berlari menghampiriku dari tengah lapangan, "Sheil, kenapa?

"Betis gue ketarik," Rhea langsung menekan telapak kakiku ke arah lutut, "Akh... sakit...," keluhku yang merasakan sakit menjalar dari betis sampai ke pahaku.

"Masih kuat main ga? Bentar lagi sih...," tanya Lia, anak Finance yang juga anggota timku.

"Masih kayaknya... bantuin gue berdiri yuk...," Rhea dan Lia dengan sigap memegang tanganku dan membantuku berdiri. Kakiku masih terasa sedikit sakit tapi sepertinya aku masih bisa bertahan.

Untungnya sampai peluit berbunyi, skor tetap tidak berubah. Tim HR dan Finance berhasil memenangkan pertandingan eksebisi futsal wanita tahun ini.

"Sheil, lo pulangnya gimana?" tanya Rhea ketika melihatku berjalan tertatih-tatih dari toilet.

"Naik taksi online aja, Rhe, gue kan lagi ga bawa mobil juga...," jawabku sambil tersenyum.

"Tama masih di site? Gue anterin aja ya? Sekalian gue nginep di apartemen lo, deh, kan besok Sabtu ini...,"

"Rhea darling, ga usah gapapa... gue naik taksi online aja ya, aman kok, nanti gue kabarin kalo udah sampe apartemen...,"

***

Satu jam kemudian taksi online yang gue sampai di lobby apartemen. "Bayarnya lewat aplikasi ya, Mas, terima kasih...," ucap gue sebelum menutup pintu taksi.

Susah payah aku menyeret langkahku sampai ke lift dan menekan tombol angka dua. Aku terkejut saat pintu lift terbuka dan ada Tama di sana yang langsung mundur beberapa langkah supaya aku bisa leluasa keluar dari dalam lift.

"Eh, kamu di sini... udah lama, Tam?"

"Eng... 10 menitan sih... aku whatsapp kamu tadi..., lagi main futsal rupanya...," ujarnya sambil garuk-garuk kepala.

"Yah maaf, Tam, nggak pegang HP dari tadi. Aku pikir kamu masih di site. Iya ini abis futsal... yaudah, yuk, ke tempat aku...," ucapku sambil melangkah pelan.

"Sheil, tunggu. Kamu kok langkahnya diseret gitu?" tanya Tama dengan kening berkerut.

"Eng... iya, tadi betis aku ketarik waktu main futsal...," jawab gue sambil meringis.

TAMA

Gue cuma bisa geleng-geleng kepala melihat wajah polos tak berdosa pacar gue ini. Lalu gue berjongkok di hadapannya, "Sini naik, aku gendong aja sampe kamar kamu,"

"Eh, Tam, nggak us-...,"

" 'Ra 'sah bawel, Nduk, cepet...," potong gue sebelum Sheila mengeluarkan sejuta alasan.

"Untung besok libur, kalo besok harus ngantor, kamu gimana ngantornya? Kalo aku tadi nggak pas di depan lift, pasti aku taunya baru besok-besok deh atau pas kamu udah sembuh...," celoteh gue sambil berjalan menuju unit apartemen Sheila.

"Kamu lucu deh kalo lagi kayak gini, iyaa... makasih ya, Mas, udah khawatirin aku...," ucapnya sambil tertawa pelan ketika gue menurunkannya dari gendongan dengan wajah merengut.

"Punya counterpain nggak?"

"Ada kok, Tam..., iya nanti aku oles-oles counterpain," jawab Sheila sambil tetap berdiri di depan pintu yang sudah ia buka.

"Aku nggak boleh masuk?" tanya gue dengan kening berkerut.

"Oh... eh... kukira kamu mau balik ke unit kamu...," jawabnya sambil garuk-garuk kepala.

"Ck. Aku di sini dulu, mastiin kamu udah pake counterpain dan istirahat apa belum. Ayo masuk," ucap gue tegas. Sheila mengedipkan kedua matanya beberapa kali, mungkin takjub dengan omongan gue. Lalu dia melangkah masuk dan gue mengikutinya dari belakang.

"Eng... aku mandi dulu ya, Tam...," ucap Sheila takut-takut.

Gue tersenyum supaya dia lebih tenang, "Iya, santai aja... kalo ada yang perlu dibantuin bilang ya...,"

"Heh!" tegur Sheila galak. Gue tertawa melihat wajahnya yang mulai panik.

Setelah Sheila masuk ke kamarnya, gue mengambil ponsel dan mengetik whatsapp ke Rio.

Narendra Arkatama:
Yo, gue mau ngabarin aja, Sheila betisnya keram abis main futsal tadi. She looks fine, cuma agak susah aja kalau jalan. Harusnya besok udah pulih lagi sih. Tolong kasih tau nyokap lo ya, gue kan udah janji mau ngabarin kalau ada apa-apa.

Ario Wicaksana:
Anak itu kalau main futsal suka nggak ngukur kondisi deh. Thanks infonya ya, Tam, nanti gue sampein ke nyokap.

"Kamu kapan sampenya dari Sangatta?" tanya Sheila yang tau-tau sudah duduk di sebelah gue.

"Tadi siang, kebetulan bisa naik pesawatnya klien, jadi lebih cepet. Kalau jalan darat mungkin baru nanti tengah malam sampenya. Mana counterpain-nya?" tanya gue sambil mengulurkan tangan. Sheila mengeluarkan satu tube counterpain dari kantong celana panjang batiknya.
"Sini kakinya," ucap gue sambil menepuk paha gue supaya Sheila menaruh kakinya di situ. Dengan wajah pasrah ia mengikuti instruksi gue. "Aku gulung sedikit ya...," ucap gue sambil menaikkan celana panjangnya sebatas lutut, supaya bisa mengoleskan counterpain. Sheila meringis ketika gue dengan hati-hati memijat betisnya. Kenceng banget sih emang ini ototnya. "Sakit banget ya?"

Sheila mengangguk, "Terusin aja, Tam... aww... kurang pemanasan kayaknya tadi. Tapi tim aku menang lho, aku aja hampir bikin gol" tuturnya masih bersemangat.

Gue hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan Sheila. Kadang gemas rasanya kalau dia lagi careless sama dirinya sendiri kayak gini.

***

SHEILA

Pagi ini aku bangun dengan badan sakit-sakit kayak habis sesi latihan fisik waktu jadi anggota tim futsal fakultas dulu. Maklum, udah dua minggu nggak main futsal, sekali main langsung pertandingan serius. Ya bukan serius yang gimana, tapi kan membawa nama departemen HR, gengsi dong kalo kalah. Setelah cuci muka dan sikat gigi, aku keluar dari kamar dan melakukan beberapa gerakan stretching untuk mengurangi rasa pegal-pegal ini. Tak berapa lama kemudian kudengar suara bel pintuku berbunyi. Mungkin Tama ya?

Aku bergegas membuka pintu dan benar, Tama berdiri di sana dengan memakai T-shirt berwarna abu-abu dan celana tiga perempat berwarna biru donker. Duh, pagi-pagi adem banget hidupku melihat yang begini. Aku tidak bisa menahan senyumku saat melihatnya, "Morning... masuk, Tam...," ucapku sambil membuka pintu lebih lebar.

"Pagi... gimana betisnya masih sakit?" tanya Tama sambil meletakkan bungkusan yang dibawanya di meja makan.

"Bukan betis aja, Tam, sekarang semua badan aku mau patah rasanya. Sakit semua...," keluhku sambil melengkungkan punggungku ke belakang.

Tama hanya bisa tertawa melihat kelakuanku. "Aku bawain sarapan nih, di deket apartemen tadi ada abang-abang lontong sayur, jadi aku beli dua deh buat kita, kamu suka nggak?"

Aku takjub dengan pilihan menu sarapan Tama. Kupikir dia tipe orang yang sarapan kecil, hanya roti dan kopi saja seperti waktu itu. Ternyata bisa sarapan berat juga. "Sheil... nggak suka ya? Sor-..."

"Eh enggak Tam, aku makan apa aja kok kecuali nasi kalau buat sarapan, terlalu berat rasanya. Cuma kaget aja, kirain kamu bukan tipe orang yang suka sarapan berat," terangku.

"Ooh, kalau weekdays sih mostly karena cari yang cepet aja, Sheil...,"

Obrolan kami terhenti karena aku mendengar kembali bunyi bel pintu apartemenku.

"Biar aku aja, Tam...,"

Futsal Love [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang