inspeksi mendadak

5.3K 511 5
                                    

SHEILA

Astaga, Mas Rio dan Bunda ngapain ke sini pagi-pagi begini? Terkaget-kaget aku melihat mereka dari peep hole.

"Bunda kok pagi-pagi udah di sini?" ucapku sambil mencium tangan Bunda sesaat setelah kubuka pintu apartemenku.

"Kok lama sih buka pintunya? Kaget ya lo?" belum sempat Bunda menjawab pertanyaanku, Mas Rio udah keburu nyerocos.

"Ya iyalah kaget. Tumben amat pagi-pagi ke sini, masuk-masuk, Bun," ujarku sambil mempersilakan Bunda dan Mas Rio masuk ke apartemen.

"Pagi, Tante...," Tama muncul dari arah meja makan menghampiri Bunda dan mencium tangannya.

"Eh, lo ngapain pagi-pagi di apartemen adek gue? Wah jangan-jangan...,"

"Mas, apaan sih? Udah deh nggak usah mikir aneh-aneh. Tama tuh baru dateng bawain aku sarapan. Lagian kalo dia nginep di sini juga kan ada kamar tamu," celotehku menengahi Mas Rio yang sudah siap-siap mau menghajar Tama.

"Eh nggak ada! Nggak pake acara nginep-nginep, awas lo! Bun, coba ini anaknya bawa-bawa cowok nginep di apartemen...," ucap Mas Rio dengan bawelnya.

"Mas, lo pagi-pagi berisik deh kenapa sih...," protesku lagi. Di belakangku Tama berusaha menenangkan dengan mengelus kedua bahuku.

"Sudah, sudah..., Rio, adikmu sudah dewasa toh sudah bisa jaga diri," ucap Bunda melerai kami, "Bunda ke sini, katanya kamu sakit? Makanya Bunda bawain makanan aja sekalian buat siang sama malam,"

"Sakit? Aku nggak sakit kok... Bunda tau dari...," aku mengikuti arah pandangan Bunda ke orang yang masih berdiri di belakangku. Seperti anak kecil yang ketahuan berbuat salah, ia meringis sambil garuk-garuk kepala, "kamuuu....," ucapku sambil mencubit pinggangnya pelan.

"Ampun, Sheil... kan Tante Ajeng minta aku buat ngabarin kalau kamu kenapa-kenapa... kemarin kan betis kamu lumayan parah ketariknya, jadi aku kasih tau Rio...,"

"Ooh... kamu underground ya sekarang mainnya, oke fine...," gerutuku kesal.

"Sheila... sudah, Nak, kasihan lho Tama jadi serba salah. Ini kalian lagi mau sarapan ya tadi? Ayo selesaikan dulu sarapannya...,"

TAMA

Duh, permaisuri gue marah lagi, guys. Maksud gue baik kan? Ya kan? Iyain aja dong ya. Kan biar keluarganya juga nggak khawatir. Jujur, hati gue menghangat melihat interaksi Sheila dan Rio pagi ini. Kebayang gimana deketnya mereka dulu.

"Wah ada lontong sayur nih...," ucap Rio yang tau-tau udah ada di meja makan.

"Eh iya, tapi gue cuma beli dua, Yo... nggak tau lo mau ke sini...," sesal gue.

"Mas, kamu berdua aku aja, aku pasti nggak abis juga kok...," pacar gue tiba-tiba bersuara.

"Bunda bawa lupis juga kok ini, Nak, kalau ada yang kurang sarapannya...,"

Sheila mengambil satu mangkok kosong lagi dari lemari, untuk berbagi sarapan dengan Rio. Sementara itu Tante Ajeng menyiapkan teh hangat untuk kami berempat. Melihat ini gue semakin yakin kalau gue sudah melakukan hal yang tepat dengan menghubungi Rio semalam. Sheila memang butuh ada di tengah keluarganya saat ini.

"Om sama Chika apa kabar, Tante?" tanya gue ketika Tante Ajeng sudah bergabung bersama kami di meja makan.

"Baik, Nak, cuma mereka nggak bisa ikut aja hari ini. Chika ada kegiatan apa gitu di kampusnya, berangkat tadi pagi-pagi diantar Om. Kamu sendiri apa kabar, Tama?"

"Alhamdulillah baik, Tante...," jawab gue sambil berpikir keras untuk mencari topik lain. Salah nanya nih, kalau bahas Chika yang ada nanti ada yang makin bete.

"Semalam ceritanya gimana sampe betis kamu ketarik gitu?" tanya Rio pada Sheila sambil melirik ke arah gue. Alhamdulillah calon kakak ipar gercep ya ganti topiknya.

"Udah lama nggak main, Mas, sekali main kemaren langsung di acara sports week nya kantor...," jawab Sheila sambil meringis. Rio lalu menoyor kepala adiknya pelan. Sheila langsung merengut marah dan memukul-mukul lengan kakaknya sambil mengomel. Gue dan Tante Ajeng terbahak-bahak melihat kelakuan kakak beradik ini.

SHEILA

"Nak Tama, jangan sungkan main ke rumah ya...," pesan Bunda ketika Tama pamit pulang setelah selesai sarapan. Tadi dia bilang, dia pulang dulu supaya aku bisa quality time sama Bunda dan Mas Rio. Thoughtful banget ya dia? Jadi di sinilah aku, di sofa apartemenku bermanja-manja dengan Mas Rio, sementara Bunda sibuk di dapur merapikan stok makanan yang disiapkannya untukku.

"Mas, how do you deal with long distance? I mean... kadang kan Tama juga harus visit ke site-site yang nggak ada sinyal dan susah dihubungin berhari-hari," tanyaku sambil bersandar di pundaknya. Mas Rio yang sedang asyik dengan game-nya menekan tombol pause dan meletakkan ponselnya di meja setelah mendengar pertanyaanku.

"Kuncinya satu, Dek... Percaya...," aku mendengus pelan mendengarnya, "iya... aku tau itu jawaban klise, tapi serius deh, kalau nggak percaya, berat di kamu sendiri nanti jalaninnya. Coba kamu tanya Lola, awal-awal tuh kita sering banget berantem, karena curigaan atau panikan terus bawaannya. Tapi lama-lama ya capek sendiri. Percaya deh, begitu dapet sinyal, kamu pasti orang pertama yang mau dia hubungin selain keluarga intinya,"

"Hmm...,"

"Aku liat Tama anaknya baik, sopan, bahkan dia memilih untuk nggak ada di sini sekarang, menurutku juga dewasa banget. Aku paham kok, sejak deket sama dia, kamu lebih sering weekend di apartemen atau ngelakuin aktivitas apapun sama dia kan?" aku mengangguk pelan. Harus kuakui Mas Rio adalah orang yang paling mengerti aku setelah Bunda. Kadang tanpa perlu aku bicara detail, mereka sudah paham maksudku. "Yang pasti, Mas salut karena dia pasti luar biasa sabar ngadepin anak keras kepala yang suka sok bisa ngehadapin semuanya sendiri kayak kamu gini...," canda Mas Rio sambil menguyel-uyel kepalaku.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintuku. "Mas aja, Dek, kamu di sini aja...," ucap Mas Rio yang segera bangun dari duduknya. Siapa lagi ya yang mau datang? Ah, mungkin Tama. Aku mengambil ponselku dari kantong celana dan mulai scrolling feeds instagram, sampai aku mendengar sayup-sayup suara, "Mana ini atlet Ayah katanya sakit?"

Aku refleks meletakkan ponselku di end table sebelah sofa dan berdiri. Sayangnya karena terlalu mendadak, betisku sepertinya kembali menegang. "Aduh...," seruku sambil meringis kesakitan dan kembali duduk di sofa, mengurungkan niatku untuk menghambur ke pelukan Ayah.

"Pelan-pelan dong, Naak, kamu ini," ujar Ayah sambil bergegas menghampiriku. Tidak lama kemudian Chika muncul bersama Mas Rio, disusul Bunda dari arah dapur. Ketiganya memasang wajah khawatir mendengar seruanku barusan.

"Eh kamu tuh makanya lagi sakit nggak usah petakilan," ejek Mas Rio yang sedang merangkul Chika.

"Sakit tau, Mas... kan kaget tiba-tiba ada Ayah...,"

"Lho... jadi Ayah nggak boleh nih main ke apartemen kamu?" tanya Ayah dengan kening berkerut.

"Wah, Yah, itu sih Mbak Sheila ngumpetin sesuatu dari Ayah kayaknya...," jawab Chika dengan wajah sok serius.

"Chikaa anak kecil apaan sih sok tau deh...," gerutuku yang diikuti dengan gelak tawa Ayah, Chika, Bunda, dan Mas Rio, "Ayah sama Chika tapi gimana masuknya?"

"Tadi Tama yang bukain aksesnya. Udah sini mana kakinya yang sakit, lurusin dulu coba..." titah Ayah.

Sore ini hatiku terasa hangat sekali. Thanks a lot to Tama, kalau bukan dia yang ngasih tau Mas Rio tentang kondisiku yang sebenernya nggak parah-parah amat ini, nggak mungkin kami berlima lengkap berada di apartemenku saat ini.

Futsal Love [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang