it's getting harder

5.1K 503 2
                                    

SHEILA

Karena Tama harus ke rumah orang tuanya hari ini, ya... dan di sana akan ada Tiara, or at least orang tuanya Tiara. Semenjak kemunculan keluarga mereka waktu itu, aku semakin sering mendengar nama Tiara muncul entah dari cerita Tama atau dari obrolan Tama dengan orang tuanya yang tidak sengaja kudengar. Hari ini kuputuskan untuk menyampaikan ke Ayah dan Bunda kalau aku dan Tama akan melangkah ke arah yang lebih serius, sebelum Tama benar-benar datang ke rumah untuk melamar. Mumpung Mas Rio dan Chika juga sedang ada di rumah.

"Yah... Bun... Sheila mau ngomong...," ucapku lambat-lambat saat kami sedang berkumpul di sofa ruang tengah.

Ayah menatapku dengan kening berkerut, "Kok sepertinya serius banget? Ada apa, Nak?"

Bunda yang sedang asyik merajut tatakan gelas pun menghentikan aktivitasnya setelah mendengar pertanyaan Ayah. Mas Rio yang sudah tahu arah pembicaraanku hanya melirikku sekilas dan tersenyum, sementara Chika masih sibuk dengan ponselnya.

"Sheila... sama Tama... mau serius...," ujarku memberi jeda sejenak, "aku juga udah ngobrol sama Mas Rio... boleh nggak kalau misalnya... kami menikah duluan?"

Chika mengangkat kepalanya dari layar ponsel dan ternganga mendengar ucapanku barusan. Ayah menatapku dan Bunda bergantian, lalu Mas Rio.

"Kamu udah tau soal ini, Mas?" tanya Ayah kemudian.

"Udah, Yah...," jawab Mas Rio tenang, "Rio sih nggak masalah... toh Lola masih ada rencana mau S2... Tama juga udah mapan... kalau adek bahagia, kenapa harus ditunda?"

"Apa nggak terlalu terburu-buru? Menikah itu keputusan seumur hidup, Sheila... dan menikah itu bukan perkara mudah... apa kalian sudah benar-benar siap?" tanya Ayah lagi.

"Sheila paham, Yah... Insya Allah kami siap...," jawabku mantap. Ayah terlihat memikirkan sesuatu, lalu menatap Bunda sejenak.

"Mas..., kamu sama Lola kan sudah lama pacaran, apa kalian belum ada rencana menikah?" Mas Rio tampak agak terkejut dengan pertanyaan Ayah. Biasanya Bunda yang sering menggodanya dalam hal ini, bukan Ayah.

"Ya rencana ada, Yah... tapi Rio juga baru aja dipindah dari site kan... kami mungkin masih dua tahun lagi paling cepat..., biar Sheila duluan aja, Ayah lupa ya, Tama itu dua tahun lebih tua dari Rio lho, Yah...,"

"Tapi adikmu ini bahkan baru beberapa bulan kenal sama Tama..., apa sudah cukup mengenal satu sama lain? Terus kok ini Sheila yang tiba-tiba nanya, memang Tama sudah melamar kamu?"

"Ayah... kita kan sudah liat sendiri bagaimana perlakuan Tama ke Sheila, bahkan ke keluarga kita, waktu Chika sakit, waktu Sheila ulang tahun... menurut Bunda, Tama bisa menjaga Sheila dengan baik..., ya Nak?" ujar Bunda menatapku dengan senyumnya yang menenangkan. Aku mengangguk pelan.

"Mbak udah gede lho, Yah, udah bukan anak kecil lagi...," ganti Chika yang memberi dukungan padaku sambil memelukku dari samping.

"Chika nggak usah ikut-ikutan," ucap Ayah sambil memberikan tatapan tajam, "Sheila jawab Ayah yang jujur... apa... kalian... kamu... hamil makanya minta dinikahkan buru-buru?!"

"Astagfirullahaladzim, Ayah!" seru Bunda setengah berteriak.

Aku terhenyak mendengar pertanyaan Ayah. Dadaku terasa sesak dan air mata mulai mengambang. Hatiku sakit mendengar tuduhan Ayah barusan. Kurasakan pelukan Chika mengerat dan Mas Rio menggenggam tanganku erat.

"Aku tau... aku selalu salah di mata Ayah...," ucapku setengah terisak, "tapi tuduhan Ayah barusan keterlaluan... Bunda, aku pamit..., Assalamualaikum," tandasku lalu berdiri mengambil tasku dari atas meja. Aku menepis tangan Chika dan Mas Rio yang berusaha menahanku, lalu bergegas ke mobil.

Aku sudah duduk di belakang kemudi dan hendak menutup pintu ketika sebuah tangan menahan pintu mobilku.

"Mas anter, Dek..., kamu pindah aja ke sebelah...," aku mendongak menatap Mas Rio dengan air mata yang mulai menetes di pipiku dan detik berikutnya yang terjadi adalah aku memeluk pinggangnya dan menangis tersedu-sedu di sana.

"Chika ikut!"

TAMA

Kemarin malam dari kantor, gue pulang ke rumah Bapak. Sesuai tebakan gue, topik di rumah masih seputar Tiara. Dan sialnya lagi, Tiara dan keluarganya diundang makan siang hari ini.

"Tama sama Sheila itu sama-sama hobi main futsal, makanya mereka nyambung sekali, jodoh kayaknya...," ujar Ibu sambil menyendokkan sayur asem ke piring Bapak. Dalam hati gue bersorak karena ternyata Ibu ada di pihak gue.

"Ealah... anak wedhok kok main futsal? Kayak laki-laki saja, memangnya ndak ada olahraga lain... kayak Tiara ini lho olahraganya yoga, pilates...," celoteh Bude Pur kembali membangga-banggakan anak satu-satunya.

"Malah enak lho, Budhe, jadi olahraganya bisa bareng," sahut gue, "dan lebih baik hobi futsal yang bikin badan sehat, daripada hobi shopping atau nyalon yang ngabisin uang...," Mbak Riris yang duduk di sebelah gue refleks menendang kaki gue pelan.

Tiara yang duduk di seberang gue langsung terbatuk-batuk, mungkin keselek kerupuk. Gue menunduk menahan tawa, walaupun dari sudut mata gue bisa melihat tatapan tajam Bapak dari ujung meja. Bukannya Sheila nggak hobi shopping atau ke salon ya, suka kok dia, tapi gue emang mau nyindir Tiara aja yang high maintenance, sorry not sorry. Gue nggak kebayang kalau harus sama Tiara, yang nggak akan ngerti kalau tiba-tiba gue ngomongin Chelsea, dan gue yang juga nggak akan paham kalau dia udah ngomongin merek-merek make up nya yang bejibun itu.

Setelah makan siang dan keluarga Tiara pulang, gue duduk-duduk santai sejenak di gazebo bersama Bapak, Ibu, dan Mbak Riris.

"Pak..., Tama tau... persahabatan Bapak sama Pakde Pur sudah seperti saudara sendiri..., tapi kali ini... Tama minta ijin sama Bapak...," gue memberi jeda sejenak, menatap Bapak lurus-lurus, "Tiara sudah keterlaluan dan Tama harus bertindak... biar Tama yang menyelesaikan urusan antar anak ini, tanpa perlu Bapak atau Pakde Pur ikut campur... Tama minta maaf kalau apa yang Tama lakukan akan berpengaruh sama relasi Bapak...,"

Bapak ganti menatap gue dengan ekspresi yang sulit gue artikan. Ibu menatap gue dan Bapak bergantian dengan sorot mata khawatir. Di sebelah gue, Mbak Riris sesekali mengelus punggung gue, seolah takut gue bisa lepas kendali kapanpun.

"Bapak kenal Pakde Pur bukan setahun dua tahun, Le... dan rencana menjodohkan kalian memang sudah ada sejak lama... apalagi Tiara anak satu-satunya..., Bapak juga nggak tau, kenapa Pakde Pur baru muncul sekarang, waktu kamu sudah serius sama Sheila...," ujar Bapak lalu menghela nafas berat.

"Pak, apapun yang Bapak atau Pakde Pur rencanakan sekarang buat Tama, tolong berhenti ya, Pak... ini nggak adil buat aku, dan ini lebih nggak adil buat Sheila..., kasihan Sheila, Pak...," ucap gue dengan nada memohon.

"Pak... toh Tama sudah pernah mencoba pacaran dengan Tiara waktu SMA dulu, dan mereka nggak cocok... Tiara terlalu kekanak-kanakan buat Tama... bahkan sekarang pun masih...," kali ini Mbak Riris angkat bicara.

"Ndak usah menjelek-jelekkan orang lain, Nduk...," potong Bapak dengan nada yang tidak bisa dibantah.

"Sudah, sudah...," ucap Ibu menengahi perdebatan kami, "Pak... yo wis to... anaknya sudah punya pilihan sendiri... tugas kita sebagai orang tua mendoakan yang terbaik buat mereka..., biar Tama selesaikan ini dengan Tiara ya, Pak? Ibu yakin, Tama pasti bisa mencari cara yang terbaik untuk berbicara sama Tiara... ya toh, Le?" Gue menatap Ibu penuh arti lalu mengangguk.

"Bapak ada masalah atau ada yang nggak sreg sama Sheila nggak? Dari yang Tama lihat, Bapak, Ibu, Mbak menerima Sheila dengan baik sebelum Pakde Pur datang. Kasih kesempatan sama Tama ya, Pak..., biar Tama yang bicara sama Tiara, sama Pakde Pur juga kalau perlu... tolong percaya sama pilihan Tama...,"

Terima kasih banyaaak untuk 5K nyaaa
❤❤❤

Futsal Love [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang