wiraatmadja's

5.6K 512 11
                                    

SHEILA

Tama menepati janjinya. Setelah ia menyelesaikan urusannya dengan Tiara, Tama tidak pernah absen menjemputku sepulang kantor kecuali ia tugas ke luar kota. Sejak itu pula nama Tiara sudah tidak pernah muncul lagi di pembicaraan kami sehari-hari. Sosmed-nya pun lenyap ditelan bumi. Sepertinya aku di block olehnya. Yah, biarlah, mengurangi konten-konten negatif di hidupku.

Saat ini yang harus kami lakukan adalah meyakinkan Ayah, untuk mengizinkan aku melangkahi Mas Rio. Untuk itulah siang ini aku dan Tama berkunjung ke sini.

"Sayang...,"

"Hmm?" tanya Tama sambil melepas seat belt saat mobilnya sudah terparkir di halaman rumah.

"I'm sorry...," ucapku lirih sambil menunduk.

"Hei... kenapa...?" ucapnya lembut sambil menyelipkan rambutku ke belakang telinga.

"Maaf karena kamu jadi harus usaha sekeras ini demi aku..., kayaknya aku nyusahin kamu terus..., mungkin kalau sama Tiara kamu nggak akan serepot ini...,"

Tama menghela nafas pelan sambil menggelengkan kepalanya, "Masalah Tiara udah lewat kok masih disebut-sebut namanya sih? Apa aku perlu nyanyi dulu nih?"

Aku mengerutkan kening mendengar pertanyaan Tama. Ia tertawa pelan lalu berdeham dengan tatapannya tak lepas dari mataku, "You're insecure, don't know what for...,"

Aku refleks tertawa mendengar potongan lagu yang dinyanyikan Tama barusan. Sempat-sempatnya kepikiran, dan selalu saja ia berhasil membuatku tertawa, "One Direction banget, Mas, nyanyinya?"

"Aku udah milih kamu, Sheil, dari awal juga hati aku udah buat kamu," Tama menghentikan ucapannya dan mengusap puncak kepalaku, "Jadi apapun itu tantangannya di depan, pasti akan aku hadapin, selama kamu selalu di samping aku, ya? Turun sekarang yuk? Temenin aku ketemu Ayah kamu...,"

TAMA

Semenjak turun dari mobil, tangan Sheila tidak pernah lepas dari genggaman gue. Kalau ada yang paling optimis dalam hubungan ini, jelas gue orangnya. Kalau gue aja pesimis, gimana meyakinkan permaisuri di sebelah gue ini?

"Assalamualaikum," ucap kami berdua saat membuka pintu rumah Sheila.

"Waalaikumsalam, eh, Sheila, Tama... masuk, Nak...," ujar Tante Ajeng mempersilakan kami masuk. Sheila terlebih dahulu mencium tangan dan memeluk bundanya, diikuti gue, tentu aja nggak pake peluk, belum.

"Dari apartemen, Nak? Udah pada makan?"

"Tadi sebelum ke sini udah sarapan, Bun. Ayah sama Mas Rio ada?" tanya Sheila.

"Ada... sama Lola juga tuh lagi ngobrol sama Bapak sambil sarapan... ayo masuk...," ujar Tante Ajeng mempersilakan kami masuk.

"Aku sama Tama nunggu di sini aja deh, Bun...," ucap Sheila menghentikan langkahnya di ruang tamu. Tante Ajeng menatap anak keduanya itu dengan raut wajah sedih.

"Kamu masih marah ya sama Ayah? Duduk dulu sini...," ujar Tante Ajeng mengajak Sheila dan gue duduk di sofa ruang tamu, "Nak... maafin Ayahmu ya... Bunda yakin Ayah ga bermaksud nuduh kamu begitu... semua orang juga tau kamu yang paling lurus anaknya... kamu tau nggak, sehabis kamu pulang dari sini minggu lalu, Ayahmu beberapa hari nggak bisa tidur mikirin kamu. Tapi kamu tau sendiri Ayahmu kaya gimana... kalau udah salah, Ayah itu selalu bingung gimana mau minta maafnya, Nak...," Tante Ajeng menghela nafas lalu melihat ke arah gue, "Nak Tama... maafin sikap Om ya...," gue mengangguk pelan sambil menggenggam erat tangan Sheila yang duduk di sebelah gue.

"Eeeh... kapan datengnya? Ayaaah, ada calon mantu nih, Yaaah," seru Rio yang baru saja muncul ke ruang tamu. Perempuan di belakangnya refleks menepuk lengannya pelan sambil menahan tawa sementara Sheila langsung melempar satu bantal sofa dan mengenai wajah kakaknya, "Aduh! Bun, nakal tuh adek, kok aku ditimpuk sih...,"

"Mulut lo tuh ya..., Mbak Lola, kenapa sih tunangannya?!" omel Sheila lagi sambil merengut. Gue dengan sabar mengelus-elus punggungnya. Tante Ajeng hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah laku kedua anaknya.

"Ya sudah, Bunda bikinin minuman dulu buat kalian ya..., bentar lagi paling Ayah ke sini...,"

Rio lalu duduk di samping gue diikuti Lola, "Omongan aku bener dong, Dek, Tama kan calon mantunya Ayah, atau kalian mau pacaran dulu aja sambil nungguin aku sama Lola-...,"

"Mas, ih!" seru Sheila sambil beranjak mau memukul Rio namun berhasil gue tahan pergerakannya.

"Udah, Sayang... udah...," ucap gue sambil menahan tawa.

"Eh, kalian belum pernah kenalan ya? Tam, ini tunangan gue, Lola...,"

"Hai, aku Lola...," ucapnya sambil mengulurkan tangan.

"Tama...," ujar gue menyambut uluran tangannya sambil mengangguk.

SHEILA

"Tumben kalian berempat ke sini barengan...," Ayah muncul di ruang tamu diikuti Bunda yang membawa nampan berisi es buah untuk kami berenam, "udah lama datengnya, Nak Tama?" tanya Ayah sambil duduk di kursi ruang tamu yang terletak menyiku dengan sofa, sementara Bunda memilih duduk di seberang Ayah meskipun terhalang meja.

"Oh belum kok, Om, baru aja...," jawab Tama dengan tetap tenang seperti biasa, "Om... saya ke sini... mau minta ijin...,"

Ayah menyandarkan punggungnya ke kursi dan menatap Tama lurus-lurus. Tama kembali menggenggam tanganku erat sebelum melanjutkan ucapannya.

"Saya tau saya dan Sheila mungkin belum terlalu lama kenal... tapi saya serius sama Sheila, Om... saya minta ijin untuk menikah dengan Sheila...,"

Rasanya aku tidak mampu bernapas sampai Tama menyelesaikan kalimatnya barusan. Aku hanya bisa menunduk sambil sesekali mencuri pandang ke arah Ayah.

Ayah menghela nafas panjang, "Kapan rencananya kalian akan menikah?"

"Insya Allah akhir tahun ini, Om, kalau diijinkan...," jawab Tama sambil menatapku sesaat.

"Kenapa buru-buru sekali, Nak Tama? Masnya Sheila saja belum menikah... apa kalian tidak bisa menunggu sampai Mas Rio dan Lola menikah dulu? Menikah itu bukan perkara mudah...,"

Lagi, penolakan tersirat dari Ayah membuatku meremas tangan Tama kuat-kuat. Entah bagaimana ia bisa setenang ini.

"Tanpa mengurangi rasa hormat saya, Om... buat saya, lamanya waktu pacaran bukan jaminan sebuah pernikahan akan langgeng atau nggak. Buat saya, saat pasangan sudah punya tujuan untuk menjalani hidup ini sama-sama, niat baik ini tidak perlu ditunda. Toh saya melamar Sheila bukan tanpa pertimbangan... dengan pekerjaan saat ini, secara ekonomi saya siap untuk menjadi kepala keluarga, dan memberikan hidup yang layak untuk Sheila, paling tidak sama dengan standar hidup kami saat ini...," tutur Tama dengan sabar. Jujur saja aku mati-matian menahan air mata ini supaya tidak tumpah di depan semua orang.

"Yah... kalau ini bisa bikin Ayah lebih tenang, aku udah ngelamar Lola...," ujar Mas Rio sambil mengangkat jari manis Mbak Lola yang sudah dilingkari cincin. Ayah dan Bunda saling bertatapan dengan ekspresi terkejut, "tapi... nikahnya nanti dulu ya... pertengahan tahun ini Lola berangkat ke London buat S2, biarin Lola fokus dulu sama studinya... habis itu baru giliran kami yang nikah..., apa sih yang bikin berat buat Ayah?"

Seisi ruangan terdiam sesaat mendengar pertanyaan Mas Rio. Satu menit, dua menit, Bunda menghela nafas lalu memecah keheningan, "Ayah takut kehilangan Sheila ya?"

Futsal Love [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang