TAMA
Badai kerjaan mbak pacar sepertinya sudah berangsur mereda.Buktinya sore ini, mobil gue sudah kembali terparkir rapi di basement kantor Sheila, menunggu permaisuri turun dari kantornya di lantai 3.
Sheila Naladhipa P:
Tunggu sebentar ya, Tam, tanggung aku telpon kandidat satu lagi.Mau sepuluh lagi yo rapopo, nduk, tak enteni (mau sepuluh lagi juga nggak papa, aku tungguin). Sheila ini habis sakit kerjaannya bukan berkurang malah jadi makin sibuk. Gue salut sama kemampuan badannya yang kayak habis di-charge, bisa langsung full speed gitu kerjanya. Dari ceritanya setiap sore hari gue bisa mendengar bagaimana excited-nya dia sama pekerjaan yang dia lakukan sehari-hari. Sama kayak kalau gue lagi fokus banget ngulik titik koordinat klien yang mau dipasang GPS atau telepon satelit. Eh, itu Sheila udah datang, masih dengan ponsel menempel di telinganya.
"Iya, Mas, kandidat yang tadi sudah saya jadwalkan untuk medical check-up besok. Kemungkinan hari Rabu minggu depan hasilnya sudah keluar. Minggu depan saya update lagi, ya Mas... siaap... sama-sama, Mas," ucap Sheila, yang sudah duduk di sebelah gue, menyelesaikan pembicaraannya di telepon.
"Lama ya nunggunya? Maaf yaaa...," Sheila menatap gue dengan tatapan memelas.
Gue tersenyum simpul dan mengacak-acak rambutnya, "Nggak kok, kamu ini masih nggak enakan aja deh, kayak sama siapa aja...," ujar gue tenang.
"Kamu udah laper banget ya? Yuk, kita mau makan di mana?" tanya Sheila lagi.
"Yuk, aku sih tadi kepikiran mau makan...," belum sempat gue menyelesaikan kalimat gue, ponsel Sheila kembali berdering.
Ia melihat layar ponselnya dan mengerutkan kening, "Dari Bunda, Tam...," ujarnya ragu.
"Angkat aja, Sheil... siapa tau penting...,"
SHEILA
"Assalamualaikum, Nak, lagi di mana? Makan malam di rumah dong, sekarang ya?" pinta Bunda di seberang telepon.
"Waalaikumsalam, Bunda... yah, kok mendadak banget? Aku lagi nggak bawa mobil inii... ini aja nebeng...," jawabku sambil melirik Tama yang sedang fokus menyetir.
"Ya udah temennya diajak aja... ya, dek, ya? Bunda tunggu di rumah... assalamualaikum..." titah Bunda.
"Halo, Bun, haloo...," bahkan belum sempat aku merespon, sambungan telepon sudah diputus terlebih dahulu. Gimana ini, batinku sambil menggigit bibir bawahku. Hari ini Tama memang menawarkan diri untuk menjemputku sepulang dari kantor. Kebetulan aku juga masih belum membawa mobil lagi ke kantor, takut mengantuk di jalan karena masih ada obat dokter yang kukonsumsi.
"Ada yang urgent, Sheil?" tanya Tama sambil melihatku sekilas.
"Eng... Bunda tiba-tiba telepon dan minta aku makan malam di rumah, padahal aku udah bilang aku lagi nggak bawa mobil..., nggak tau ada apa... Atau... aku turun di depan aja deh, Tam, nanti aku naik taksi online... tapi aku jadi nggak bisa nemenin kamu makan malam nih...,"
"Aku anterin aja ya kalo gitu ke rumah orang tua kamu..., urusan makan mah gam-..."
"Eh, nggak usah, Tam, nggak papa kok... kasihan kamunya kan capek..., udah laper juga kan? Aku sendiri aja nggak papa kok, bener...," ucapku sebelum Tama selesai bicara.
"Kasih tau aku jalan ke rumah orang tua kamu ya... kita ke arah stadion kan? Sheil, daripada aku khawatir terus kepikiran, aku anter aja ya..., nanti aku langsung pulang aja abis nganter kamu...," tegas Tama dengan tatapan tidak mau dibantah.
"Eng... Tam...," ucapku hati-hati.
"Ya?"
"Sebenernya... tadi waktu aku bilang aku nebeng, Bunda bilang... temennya diajak aja sekalian makan di rumah...," aku diam sejenak memberi jeda, "tapi... kalau kamu nggak nyaman, kamu mau langsung pulang, nggak papa kok...," lanjutku buru-buru. Kamu mikir apa Sheila? Ajakan Tama untuk pacaran aja kamu gantungin, kamu suruh nunggu sampai kamu siap, terus sekarang ngajak makan malem bareng keluarga? Mendadak pula. Maksudnya gimana? Suara-suara di otakku ribut bertengkar sendiri.
"Kamunya nyaman nggak?" tanya Tama sambil menatapku ketika mobilnya berhenti di lampu merah.
"Mm... maksud kamu?"
"Kamunya nyaman nggak kalau ada aku di tengah acara makan malam keluarga kamu?" Tama mengulang pertanyaannya dengan lebih jelas sambil memperlihatkan senyumnya yang selalu membuat jantungku berdetak kencang.
TAMA
Di sinilah kami, empat puluh lima menit kemudian, di depan sebuah rumah minimalis bercat putih dan berpagar hitam. Sheila meminta gue menunggu sebentar di mobil, sementara dia membuka pagar. Gue lalu memarkir mobil di tempat yang kosong.
"Here we are, Tam... welcome to my house...," ujar Sheila ketika gue keluar dari mobil dan menekan tombol lock di remote, "shall we?" tanyanya kemudian. Gue mengangguk dan mengikuti langkahnya dari belakang.
Boleh jujur nggak? Sebenarnya jantung gue saat ini udah kayak mau keluar dari tempatnya. Well, meskipun ini bukan pertama kalinya gue berkunjung ke rumah orang tua wanita yang gue sayang, tapi mengingat hubungan gue dan Sheila yang masih seumur jagung, gue lumayan grogi. Sheila kadang cerita sih soal keluarganya, tapi ya cuma sepintas-sepintas aja. Belum lagi tadi Bundanya taunya, Sheila ke sini sama temannya. Eh lha emang lo bukan temannya, Tam? Udah yakin mau ngenalin diri sebagai pacarnya Sheila?
"Tam... mikir apa?" tanya Sheila ketika kami sudah sampai di depan pintu utama. Muka gue setegang itu apa ya sampai Sheila tau gue lagi mikir?
"Eh... nothing," jawab gue cepat.
"Santai aja, keluarga aku nggak gigit kok," canda Sheila sambil terkekeh.
"Assalamualaikum...," sapa Sheila sambil membuka pintu.
"Waalaikumsalam...," jawab suara seorang wanita yang gue yakin adalah bundanya Sheila.
SHEILA
"Bun, kok ada mobil Mas Rio di luar? Ini orangnya ada ya?" tanyaku sambil berjalan bersama Tama memasuki ruang tamu. Ibu hanya menoleh ke arahku dan tersenyum.
"Kangen kan kamu sama aku?" ujar suara yang sudah sangat kuhafal tiba-tiba muncul dari balik tembok. Sudah hampir satu bulan ini dia nggak pulang.
"Mas Rio!" seruku sambil berlari ke arahnya dan memeluk erat kakak lelakiku satu-satunya itu, "Akhirnya off juga? Kapan nyampe dari offshore?"
"Hahaha baru sampe tadi siang...," kata Mas Rio sambil mengacak-acak rambut pendekku, "Eh, kamu sama siapa? Nggak mau dikenalin?"
"Eh iya... sini, Tam...," ujarku sambil melambaikan tangan ke arah Tama yang masih berdiri di tempatnya sejak tadi, "Kenalin, Mas, Bunda, ini Tama..."
"Tama, Mas..." ujar Tama sambil mengulurkan tangan dan bersalaman dengan Mas Rio.
"Pacarnya Sheila?" tanya Mas Rio tanpa tedeng aling-aling yang kusambut dengan sikutan pelan di perutnya. "Aduh! Sakit, hey! Gituu mentang-mentang udah punya pacar sekarang... pantes udah ga pernah cerita-cerita lagi... udah ada yang jagain rupanya..."
"Maaas, apaan sih... kan kamu sibuk," protesku dengan wajah yang kuyakin sudah seperti kepiting rebus. Yang lagi diomongin cuma bisa garuk-garuk kepala aja.
"Sudah, sudah, adeknya jangan digangguin terus, dong, Yo... ayo semuanya kita makan dulu," kata Ayah menengahi. Kami lalu mengikuti beliau ke meja makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Futsal Love [Completed]
RomanceSheila Naladhipa Prameswari (25) Si anak tengah yang tangguh dan independen. Jantung hati yang menerangi keluarga Wiraatmaja. A recruiter and a futsal freak. Narendra Arkatama Daniswara (29) Si bungsu kesayangan yang juga pelindung bagi saudaranya...