wife material

5.9K 514 2
                                    

SHEILA

Astaga ponakannya Tama ini gemesin banget. Aku kaget dapet peluk juga dari Dido, padahal baru pertama kali ketemu. Setelah Dido kembali ke pangkuan ibunya, Tama menggandeng tanganku dan membawaku berkenalan dengan orang tua dan kakaknya yang sedang duduk di ruang tamu.

"Pak, Bu, ini lho katanya mau kenalan? Sheil, ini Bapak Ibu aku...," ucap Tama. Aku refleks mengulurkan tangan dan mencium kedua tangan mereka.

"Hai, aku kakaknya Tama, Riris... ini suamiku, Aji...," sapa Mbak Riris kemudian, sambil menggendong Dido. Aku berganti menyalami mereka sebelum ikut duduk di sisi Tama.

Setelah obrolan singkat, kami lalu masuk ke sesi tiup lilin dan potong kue. Dido terlihat bahagia sekali dengan kue tart berbentuk Tayo, tokoh kartun favoritnya. Mulutnya bergerak-gerak lucu ketika berusaha meniup lilin angka 4 di atas kue tart itu. Kalau tau Dido suka Tayo, tadi kubelikan buku cerita Tayo saja.

TAMA

Sepanjang makan siang tadi Ayah, Ibu, Mbak Riris bahkan Mas Aji nggak berhenti mengajukan pertanyaan ke Sheila. Bukan pertanyaan aneh-aneh sih, lebih banyak tentang psikologi dan pekerjaannya sebagai HRD. Oh, sama tentang futsal juga. Untungnya Sheila memang senang cerita, jadi dia tampak santai saja mengobrol dengan keluarga gue. Sesekali ia juga menanggapi celotehan Dido yang sibuk sendiri di high chair. Sheila bahkan ikut membantu Ibu mencuci piring walaupun sudah dilarang oleh gue dan diusir-usir oleh Ibu.

Setelah makan siang yang ditutup dengan makan kue ulang tahun Dido, kami berpindah duduk di atas karpet yang ada di ruang tengah. Bergantian lalu kami memberikan hadiah untuk Dido.

"Dido, lihat sini, Om Tama punya apa hayoo...," ucap gue sambil menunjukkan kotak bersampul biru muda.

"Apa, Om?" tanya Dido dengan mulut mungilnya itu.

"Sini kita buka ya...," gue mulai melepaskan selotip-selotip kecil di kotak itu, "waah lihat nih, Dido dapat buku dari Aunty Sheila...," Dido melihat buku barunya dengan mata berbinar-binar. Ia mulai membuka satu per satu halaman buku tersebut dan menunjuk gambar-gambar yang ada di sana.

Sheila yang duduk di sebelah gue mulai mendekat ke sisi Dido, ikut menunjuk gambar sambil memberitahu Dido tentang bentuk-bentuk. Sheila terlihat in the zone banget kalau lagi kayak gini. Dido sesekali tertawa lalu menatap Sheila seolah menunggu untuk dibacakan bagian buku berikutnya.

"Aku ngobrol sama Mbak Riris dulu ya," bisik gue di telinga Sheila sambil mengelus rambutnya pelan. Sheila menoleh sekilas dan tersenyum tipis lalu kembali asyik dengan aktivitasnya bersama Dido.

"She has the wife material, you know...," ucap Mbak Riris sesaat setelah gue duduk di sebelahnya. Kami bertiga -bersama Mas Aji- duduk-duduk santai di gazebo.

"Gue baru kali ini, Mbak, liat Sheila main sama anak kecil. Dido juga kok bisa langsung nempel gitu sama dia... Adem banget liatnya...," ujar gue dengan tatapan menerawang.

"Nggak usah ngelamun aneh-aneh lo, dijaga tuh yang kayak gitu," tegur Mas Aji sambil menoyor kepala gue.

"Ya Allah, iya Mas... Mbak, suami lo belom lo kasih jatah ya? Kok galak sih," ucap gue asal, yang langsung dihadiahi jitakan dari Mbak Riris.

"Mulut lo ya, Dek," Mbak Riris memutar mata melihat gue, "tapi Mas Aji bener, dijaga ya baik-baik. Dia beda dari mantan-mantan lo sebelumnya, Tam, dari yang terakhir apa lagi," pesan Mbak Riris.

SHEILA

Dido ini anak yang pintar. Dia cepat sekali memahami kata-kata dalam bahasa Inggris. Anaknya juga manis sekali, dalam kurang lebih setengah jam kami bermain, ia beberapa kali memberikanku pelukan atau kecupan di pipi. Dan sekarang anak ini sudah jatuh tertidur pulas di pangkuanku. Beberapa menit yang lalu aku masih membacakan cerita dari buku yang dihadiahkan untuknya. Lama kelamaan aku merasakan beban di pangkuanku semakin berat, rupanya Dido sudah menghilang ke alam mimpi. Bisa saja kupindahkan Dido ke sofa atau karpet, tapi aku tidak tega, takut ia malah terbangun. Jadi, aku nikmati saja sambil scrolling feeds instagram di ponsel yang untungnya kusimpan di kantong dress-ku.

Aku refleks menoleh ke belakang dan menaruh telunjukku di bibir ketika aku mendengar langkah kaki mendekat. Tama dan keluarganya sedang berjalan masuk, sepertinya mereka habis mengobrol di halaman belakang. Tama mengangkat alisnya bingung sementara Mbak Riris tergopoh-gopoh menghampiriku.

"Ya ampun, tidur ya Sheil? Udah lama? Berat ya? Maaf yaaaaa... sini-sini," ucap Mbak Riris bertubi-tubi dengan suara pelan dan wajah merasa bersalah.

Aku tersenyum sambil dengan hati-hati memindahkan Dido ke dalam gendongan Mbak Riris, "Nggak apa-apa, Mbak..."

"Ealah... kamu telaten sama anak-anak ya, Nduk..., Dido sampai pulas begitu...," ucap Tante Ayu sambil mengelus rambut cucunya yang sudah berada dalam dekapan Mbak Riris.

Gue kembali tersenyum, "Kebetulan aja, Tante, kadang-kadang ada aja kok yang nggak mau diajak main... Dido nya yang baik sama saya...," terangku tulus. Beneran lho, kadang ada anak bayi yang baru mau kugendong sudah heboh jerit-jerit.

"Sudah cocok, Nduk...," tiba-tiba Om Gilang ikut bersuara. Rasanya wajahku mendadak memerah mendengarnya. Tama pun langsung memijat keningnya sambil melirik tajam ke ayahnya.

TAMA

Gue masih nggak habis pikir apa yang merasuki gue pagi tadi sampai berani-beraninya ngajak Sheila bertemu keluarga gue. Di satu sisi, gue semakin terpesona sama wanita di sebelah gue ini, setelah melihat bagaimana dia berinteraksi dengan anak-anak. Lo tau nggak sih that magical moment yang bikin lo ngerasa mendadak pengen berkeluarga? Ya kayak gitu rasanya tadi. Kecantikannya langsung naik berkali-kali lipat meskipun Sheila bisa jadi tomboy banget kalau udah ketemu lapangan.

Namun, di sisi lain, gue takut banget dia akan mundur teratur gara-gara omongan asal Bapak tadi siang. Gue tau dari awal Sheila berhati-hati banget sama hubungan ini, dan gue sudah mengiyakan untuk bersabar menunggu sampai dia siap. Ini malah digas sama Bapak, duh Gusti.

"Tam... Dido tuh gemes banget ya anaknya...," Sheila membuka pembicaraan ketika kami sudah berada di perjalanan pulang kembali ke apartemen.

Gue tertawa pelan, "Iya... tapi kalau lagi aktif-aktifnya duh capek juga ngikutinnya, Sheil... jujur ya aku kagum lho sama kamu, bisa bikin Dido langsung lengket gitu... dia susah akrab sama orang apalagi kalau baru ketemu...," puji gue tulus.

"Masa sih, Tam? Mungkin aku lagi beruntung aja kalau gitu... kamu dari tadi diem aja... mikirin apa?" tanyanya sambil melemparkan tatapan lembut ke gue.

"Eng... aku... aku minta maaf ya, Sheil, kalau selama di rumah aku tadi ada kata-kata dari keluarga aku yang bikin kamu nggak nyaman... aku tau kamu belum siap untuk ke hubungan yang serius dan aku juga sama sekali nggak bermaksud ke arah sana dengan ngajak kamu hari ini... aku...," gue biarkan ucapan gue menggantung karena sesungguhnya bingung gimana harus ngomongnya sama Sheila.

"Nggak papa, Tam... namanya orang tua, apalagi kamu anak laki-laki terakhir, aku bisa ngerti kenapa Bapak Ibu kamu bersikap begitu... honestly, aku senang ketemu keluarga kamu, aku yang bukan siapa-siapa aja, bisa ngerasa kalau ikatan rasa sayang di antara kalian sedemikian kuatnya...,"

SHEILA

Malah aku yang ragu, Tam, apa aku bisa masuk ke dalam ikatan itu?

Futsal Love [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang