dua

4.5K 264 5
                                    

Rebecca Moletta: JADI?!

Thanya Saphira: beri kami penjelasan julll! Panjul,ih.

Anggra Sasmita: ada apa ini?!!

Julia Latashia: YA.

Rebecca Moletta: DEMI?! OMAYGAT!

Anggra Sasmita: DEMI?! OMAYGAT!(2)

Thanya Saphira: DEMI?! OMAYGAT!(3)

Julia Latashia: napa sih kalyan :((

Juli membanting handphonenya di kasur. Ia merebahkan diri mengahadap langit-langit kamar.

Ini beneran? Aku udah nikah?! Nikah?! Gila.

Kemarin acara ijab kabul berlangsung dengan sederhana. Hanya didatangi kerabat dekat. Bahkan sahabat Juli tidak tau menahu karena semua serba mendadak.

Seminggu yang lalu, ayah menjelaskan semuanya. Tentang kekhawatirannya terhadap Juli. Beliau sangat khawatir jika sudah tidak bisa menjaga Juli lagi. Penyakitnya mungkin akan perlahan sembuh, tapi tidak menutup kemungkinan hal yang tidak diinginkan terjadi kapan saja, bukan? Itu kata ayah.

Juli tidak terima, tapi ia juga tidak bisa berbuat apa-apa. Sungguh, bagaimana menolak permintaan orangtua demi kebaikannya sendiri?

Ayah juga bilang, Angkasa—yah, laki-laki itu orang yang baik, tanggung jawab, mandiri, dan pastinya sayang keluarga. Angkasa pasti bisa menjaga Juli. Itu kata ayah, lagi.

Ibu juga terus membujuk Juli. Asep juga ikut-ikutan. Adik kecilnya itu bisa apa, sih?

Setelah menghadapi perdebatan antara hati dan logikanya, Juli akhirnya menyetujui pernikahan ini.

Tidak ada salahnya menuruti kemauan orang tua, kan? Apalagi ini untuk kebaikannya. Iya, nggak apa-apa.

***

Laki-laki itu turun dari mobil. Ia berjalan menuju pintu rumah yang terbuka. Sambil mengucap salam, ia berjalan ke dapur. Menghampiri seorang wanita yang sedang sibuk memasak.

"Tante," sapanya.

Bian, sahabat Angkasa dari SMP yang masih berhubungan dekat dengan keluarga ini. Bian sudah dianggap anak sendiri oleh mami Angkasa.

"Eh, kamu to, Yan. Kaget tante." Mami menyambut tangan Bian untuk salim.

"Tumben pagi-pagi ke sini?"

Bian meringis cengengesan, "Disuruh ngebabu sama Angkasa tante."

Mami tergelak, memukul pelan lengan Bian. "Bisa aja kamu. Yaudah sana ke atas, Angkasa masih tidur kayaknya. Tunggu sarapan sekalian, ya."

Bian dengan senang mengangguk, lalu berjalan menuju kamar Angkasa setelah berpamitan.

"Woi, si anjing belum bangun ternyata." Ucap Bian setelah masuk ke kamar Angkasa.

Dilihatnya Angkasa masih tidur tengkurap di atas ranjang. Tidak memakai kaos dengan selimut yang tergeletak di bawah ranjang.

"Sa!" Bian menggoyangkan lengan kiri Angkasa pelan. Angkasa berdeham tapi belum bangun juga.

"Udah jam berapa nih? Katanya mau jemput istri?" Bian masih menggoyangkan lengannya.

"Anjay, istri!" Bian tergelak sendiri mendengar omongannya barusan.

Angkasa terlentang, menatap Bian dengan wajah yang garang. Pasti Bian akan kena semprot.

"Ngapain sih lo?! Ganggu aja."

Bian menoyor pelan kening Angkasa, "Heh, babi! Kan lo yang nyuruh gue buat bantu pindahan. Amnesia, lo?"

"Sa, Yan, sarapan dulu. Udah selesai nih." Suara mami menggelegar sampai ke kamar Angkasa di lantai atas.

"Dengerkan, lo? Sana cepat mandi, sarapan, cus jemput istri tercinta, deh."

Bian mengaduh saat kepalanya terbentur pintu menghindari lemparan bantal dari Angkasa.

"Mampus."

***

Semua barang telah diangkut ke mobil—tentunya Bian yang kerja keras hari ini. Angkasa dan Juli masih di dalam rumah untuk berpamitan. Bian hanya menunggu di dalam mobil. Melayangkan pesan-pesan gombal kepada para gebetannya.

Usai pasangan itu keluar rumah dan masuk mobil, Bian melajukan mobilnya ke tempat kontrakan baru Angkasa. Lokasinya lumayan dekat dengan kampus, tapi jauh dari tempat kos teman-teman mereka.

Di perjalanan hening. Hanya terdengar suara dari radio. Angkasa duduk di samping Bian, Juli di belakang.

"Eh ini lurus kan, Sa?" Tanya Bian berniat membuka pembicaraan.

Asli, kenapa suasananya mencekam gini, sih?

Angkasa berdeham. Sibuk dengan gamenya. Juli juga tak banyak bicara, apalagi dia baru kenal Angkasa dan Bian baru-baru ini.

"Lo, lapar nggak?" Angkasa menoleh ke belakang, menatap Juli yang hampir tertidur.

"Nggak."

"Gue lapar, sih." Bian menimpali.

Angkasa melotot ke Bian. Bisa nggak sih lo nggak usah memperkeruh suasana?!

"Makan dulu, ya?" Angkasa menoleh lagi, Juli menatapnya datar. "Terserah."

"Mau makan apa?" Untuk ketiga kalinya Angkasa menoleh.

"Bakso enak nih. Siang-siang gini, tambah es teh. Beh, enak banget itu." Iya ini Bian.

"Bisa diam nggak, lo?!" Angkasa sudah mirip ibu tiri sekarang.

"Terserah, deh. Yang makan kalian ini. Ribet banget." Juli menimpali.

"Mpus lo." Bian banget ini.

***

Dilanjut.
Mar, 2020









MomenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang