delapan

3.3K 201 0
                                    

Juli masih tidak percaya. Sekarang ia bisa menikmati semilir angin malam. Biasanya ia akan pergi malam jika ada keperluan. Itupun harus membujuk ayah dan ibunya dulu untuk diizinkan. Ditambah lagi harus pulang sebelum jam sembilan lebih.

Kali ini, pukul setengah sepuluh malam, Juli duduk di antara orang-orang yang asyik menyantap makanan dan mengobrol.

Juli dan Angkasa mampir ke sebuah angkringan dekat kampus sebelum pulang ke kontrakan. Setelah beberapa jam yang lalu menikmati indahnya pemandangan kota sederhana itu.

"Nih, ngelamun mulu." Ujar Angkasa sambil menyodorkan sepiring sate ke arah Juli.

Mereka duduk lesehan berhadapan.

"Kenapa, sih? Kayaknya seneng banget?" Tanya Angkasa di sela makannya.

Juli berdeham pelan, mulutnya masih sibuk mengunyah daging sate yang masih hangat.

"Nggak apa-apa. Seneng aja bisa keluar malam sekarang." Jawabnya.

"Asal jangan sering-sering minta aja. Ntar masuk angin lagi." Ejek Angkasa membuat Juli menatapnya geram.

Tiba-tiba tangan kanan Angkasa terulur. Jarinya menyapu bibir atas Juli. Sedang Juli kaget, mematung di tempatnya.

"Belepotan banget, sih. Kayak anak kecil,"

***

"Udah?" Tanya Angkasa saat Juli sudah duduk di jok belakang. Mereka menghabiskan waktu kurang lebih tiga puluh menit untuk memakan sate. Tentu hal itu diselingi oleh candaan Angkasa yang menurut Juli sangat tidak lucu.

"Udah." Jawab Juli pelan sambil meletakkan tas di depannya.

"Turun," ucap Angkasa sebelum menyalakan motor.

Juli memukul lengan Angkasa pelan dengan tas kecilnya, "Apaan, sih? Orang baru naik juga."

Angkasa terkekeh kemudian menyalakan motor, "Lha katanya udah."

Udara malam membuat Juli merapatkan jaketnya ke tubuh. Sudah sekitar lima belas menit mereka membelah jalan raya.

Suasana malam memang tak pernah mati. Apalagi di kawasan kampus seperti ini, banyak mahasiswa yang keluar sekedar untuk mencari makan atau diskusi dan mengerjakan tugas.

"Jam berapa sekarang?" Tanya Angkasa pelan.

Juli memajukan wajahnya, "Hah?!"

"Duh budeknya kumat," gumam Angkasa yang membuat Juli kembali mendekatkan wajahnya.

"Ngomong apa, sih?" Ujarnya.

Angkasa hanya menggelengkan kepalanya. Nggak kelar-kelar kalau gini.

Motor Angkasa berhenti karena lampu merah. Ia menatap Juli yang di belakang dari kaca spion. Wajahnya sudah kusut dan matanya tak bisa menahan kantuk.

Tangan angkasa terulur ke belakang. Mengambil tangan kanan Juli dan membawanya melingkari perut, begitu juga dengan tangan kiri.

Juli yang sudah mengantuk tak memberontak. Hanya sedikit kaget lalu kembali biasa saja.

"Pegangan. Kalau ntar lo jatuh, gue juga yang repot."

***

"Kenapa lo? Senyam-senyum sendiri udah kayak orang gila." Ujar Sasa setelah duduk di sampingnya.

Siang ini Juli mengajak Sasa untuk makan sekaligus mengerjakan tugas yang baru saja diberi dosen tadi pagi dan deadline-nya nanti malam dikirim via email.

Tidak jauh-jauh dari kebanyakan mahasiswa lain, Juli juga ingin kembali ke masa sekolah. Masa di mana ia tidak perlu terlalu pusing dengan masalah tugas—apalagi masalah hidup.

"Nggak kenapa-kenapa," sahut Juli pelan.

"Eh, ngasih tau aja nih kalau lo lupa, minggu depan kita makrab loh." Ujar Sasa dengan mata yang berbinar.

Oiya, Juli baru ingat tentang makrab itu. Bahkan ia belum memberitahu Angkasa.

Bakal diizinin nggak ya?

Harapan Juli mengecil. Kemarin saja waktu mau menonton teater tidak diizinkan. Apalagi makrab yang menginap dua hari satu malam.

Juli tampak berpikir. Bagaimana cara agar ia bisa ikut makrab dan Angkasa mengizinkan.

"Heh," Sasa menyenggol lengan Juli pelan.

"Lo aneh deh, Jul. Tadi senyum-senyum sendiri, sekarang ngelamun. Nggak baik, tau."

"Iya, tau. Lagi mikir aja bisa ikut makrab apa nggak."

Sasa berdecak pelan, "Halah, ntar kalau nggak dibolehin, gue yang bilang deh sama orang tua lo."

Juli hanya menanggapi ucapan Sasa dengan senyum tipis.

Sekarang izinnya nggak cuma dari ayah sama ibu masalahnya.

***
Berlanjut.
Apr, 2020

MomenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang