empatpuluh

2.2K 149 1
                                    

Angkasa menghela napas lega. Ia baru saja menyampaikan apa yang terjadi antara dirinya dengan Juli. Untung, kedua mertuanya bisa memberikan Angkasa kesempatan. Mereka tidak serta merta menyalahkan Angkasa, tapi juga tidak membenarkan.

"Yaudah, kamu tunggu Juli tenang dulu." Saran ibu.

"Kalau dia udah nggak emosi, baru kamu jelasin semuanya biar jelas." Lanjutnya. Angkasa mengangguk. Semoga bisa secepatnya.

Tak lama Septian masuk dengan membawa tas gitar. Ia tampak baru saja pulang dari sekolah. Lama mengobrol, ketiga orang dewasa itu sampai lupa waktu. Sekarang jam sudah menunjukkan pukul dua belas siang.

"Wih, mas!" Sapa Septian. Ia berjalan menghampiri mereka, menyalimi ayah dan ibu bergantian.

Ia lalu mengulurkan tangan yang terkepal ke arah Angkasa, "Ada acara apa nih datang ke sini?" Angkasa membalasnya pelan.

"Kamu nggak perlu tau." Ibu menimpali.

Septian mengangkat tangannya ke udara. "Aku udah lebih dari tujuh belas tahun loh." Ia tak terima jika dikatakan masih kecil.

Ibu hanya menggelengkan kepala pelan, "Udah! Kamu sana ke kamar, ganti baju. Abis itu ajak kakakmu turun makan siang." Septian menurut, ia menaiki tangga lantai dua.

Mereka masih menunggu kakak beradik itu turun. Tapi suara gaduh membuat mereka menoleh ke atas.

"Sep?" Panggil ibu.

Septian berjalan ke ujung tralis besi pembatas. Ia mengelusi lengannya.

"Panjul tuh, Bu." Adunya. Ia masih mengumpat kesal.

"Diajak makan malah aku disambit pakai buku." Lanjutnya. "Katanya nggak mau makan kalau masih ada mas Angkasa."

Ayah dan ibu hanya saling pandang. Kalau sudah begini, Juli pasti tidak mau diganggu.

"Yaudah kamu turun." Ujar ayah.

Angkasa menatap kedua orang tua itu, "Kalau gitu aku pulang aja, yah, bu. Makan di jalan aja nanti."

Ayah menggeleng, ia menarik pundak Angkasa dengan tangannya, "Nggak. Kamu kan juga keluarga di sini, makan dulu." Ia menuntun Angkasa berjalan ke dapur.

Baru Angkasa mau menolak, ayah tetap menggiringnya. "Juli biar ayah yang ngurus. Kalau nanti lapar, dia juga bakal turun sendiri."

Angkasa mengusap tengkuknya yang tidak gatal. Ia merasa sungkan.

"Ada apa sih mas?" Septian berbisik ke samping saat mereka sudah bersiap untuk makan siang.

"Masalah kecil." Jawab Angkasa pelan.

"Kayaknya nggak mungkin. Lenganku udah jadi korban ini." Septian menggerutu kesal. Angkasa hanya terkekeh.

"Hati-hati, Panjul kalau ngambek lama banget." Septian masih saja berbisik ke Angkasa.

Melihat itu, ibu berdeham. "Iya, ibu. Ini aku makan kok." Balas laki-laki itu.

Mereka menikmati makanan dengan khidmat. Setelah selesai, Angkasa pamit karena harus ke bengkel. Ia keluar dengan wajah lesu.

Juli... Belum mau menemuinya.

***

Juli pernah merasakan sakit hati. Saat dulu sewaktu masih sekolah. Ia pernah jatuh cinta kepada seseorang. Orang yang banyak menarik perhatian perempuan lain, tentunya juga baik. Ia juga berharap, laki-laki itu membalas perasaannya. Tapi mana mungkin? Untuk mengakui saja Juli tidak berani.

Sakit hati itu mulai menyerang Juli saat ia mendengar temannya bercerita, kalau orang yang Juli suka itu sudah berpacaran dengan perempuan lain. Perempuan berprofesi model yang pastinya cantik dan berasal dari kelas sebelah. Juli kesal luar biasa. Ia merasa menjadi korban, padahal salahnya sendiri yang terlalu berharap pada laki-laki itu.

Hingga berjalannya waktu, Juli enggan untuk dekat dengan laki-laki. Atau mungkin memang tidak ada yang tertarik padanya? Karena Juli termasuk perempuan yang tertutup.

Berbeda dengan sekarang. Rasa sakit hatinya begitu menyesakkan. Bayangan Angkasa mencium perempuan itu membuatnya tak henti menghela napas gusar.

 Bayangan Angkasa mencium perempuan itu membuatnya tak henti menghela napas gusar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Juli duduk di depan jendela kamarnya yang tertutup. Ia menyandarkan punggungnya di kursi. Bukannya rileks, ia malah bertambah tidak tenang. Berbagai pikiran buruk terus menghantuinya.

Juli mempertanyakan perasaannya sendiri. Apakah ia sudah benar-benar mencintai Angkasa? Sampai-sampai ia harus terluka sedalam ini.

Rasanya bercampur aduk. Marah, kesal, juga kecewa. Juli kecewa dengan Angkasa, tapi ia lebih kecewa terhadap dirinya sendiri. Ia begitu percaya pada Angkasanya.

Juli memijat pelipisnya sambil berdiri. Ia melangkahkan kaki berjalan ke tempat tidur. Tangannya mengambil tas yang tadi ia lemparkan begitu saja.

Saat tas itu diambil, ternyata posisinya terbalik. Alhasil, semua benda yang berada di dalam mencuat keluar. Tatapan Juli beralih pada benda kecil yang menggelinding mendekati tubuhnya. Juli menangkap benda itu.

Cincin Angkasa yang dulu laki-laki itu cari sampai setengah mati, masih terbawa oleh Juli. Ia lupa mengatakan pada Angkasa bahwa cincin itu sudah ketemu di bawah ranjang baju kotor.

Ia mengamati cincin itu. Cincin perak dengan tulisan Angkasa-juli melingkar di bagian dalam. Air mata Juli kemudian keluar tanpa diminta. Apa cincin ini masih bisa dipakai lagi setelah kejadian ini?

***

"Mami nggak mau tau ya, Sa!" Suara melengking itu menyeruak masuk ke dalam telinga Angkasa yang baru sadar. "Pokoknya kalau Juli kenapa-kenapa, semuanya salah kamu!"

Angkasa mengusap wajahnya, ia melihat jam yang menggantung di  dinding. Sekarang sudah pukul lima sore, ia tertidur cukup lama setelah pulang dari rumah Juli.

"Sa! Kamu dengerin mami nggak sih?!" Suara itu kembali terdengar, bahkan naik beberapa oktaf.

Angkasa memijat pelipisnya, "Iya, mi. Iya. Angkasa minta maaf. Ini emang salah Angkasa."

"Bagus itu! Emang kamu yang salah kok. Lagian kenapa pakai acara ketemu segala? Ada niatan baikan?!"

Angkasa menggeleng, "Nggak, mi. Aku cuma minta penjelasan dia, supaya semuanya jelas. Dia juga udah tau kalau Angkasa udah nikah."

"Jelas harus tau! Udah ya, pokoknya kamu harus bikin Juli mau lagi sama kamu. Titik." Tekan mami lagi sebelum menutup sambungan telepon.

Angkasa kembali menelungkupkan wajahnya di atas meja. Ia enggan untuk kembali ke kontrakan, bengkel adalah satu-satunya tempat untuk menenangkan diri. Ia sengaja mengunci pintu ruang kerjanya agar tidak ada yang mengganggunya.

Kepala Angkasa rasanya ingin pecah. Ia sama sekali tidak mengerti dengan perasaannya sendiri. Baru tidak bertemu Juli belum genap sehari saja rasanya ia ingin mati saja.

Setelah membersihkan diri, Angkasa merebahkan tubuhnya di sofa bed. Ia ingin kembali tidur agar beban yang ia tanggung sedikit terlupakan, walau saat bangun nanti ia harus kembali berjuang. Ia melewati malam tanpa Juli di sisinya. Ternyata itu lumayan sulit.

Angkasa menggeliat di atas sofa. Ia menarik handphone yang berada di atas meja untuk melihat jam. Ia menggeser layar kunci dan langsung disuguhi pesan yang membuat moodnya buruk pagi-pagi. Angkasa mengumpat kesal. Dasar, Bian!

Permisi, masbro. Walau lagi galau, skripsinya jangan dilupain! Bimbingan skuy!

***
Berlanjut.
Okt, 2020

Makasih banyak yang udah nungguin. Jangan lupa vote ya guiss💙

MomenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang