Usai menurunkan semua barang, Bian pamit untuk pulang dengan alasan ada keperluan. Pasangan itu membawa barang-barangnya ke dalam. Juli berjalan mendahului Angkasa.
Rumah kontrakan itu tidak besar. Cukup untuk tinggal dua orang. Bagian depan terdiri dari ruang tamu, hanya satu kamar, dan bagian belakang ada dapur. Sebenarnya masih ada satu ruang lagi, tetapi belum selesai dikerjakan sepenuhnya. Atau memang tidak dilanjutkan karena sudah terlanjur dikontrakkan.
"Taruh aja di situ. Nanti aku yang beresin." Juli menunjuk pojok kamar dekat lemari.
Angkasa menyeret dua koper besar itu ke pojok. Juli keluar kamar. Kamar mereka juga tidak terlalu besar. Bahkan belum dilengkapi peralatan kamar. Hanya ada ranjang dan lemari besar, hanya satu. Jadi mereka harus berbagi, kan?
"Rumahnya masih kosong, banyak peralatan yang harus dibeli kayaknya." Angkasa berjalan ke arah dapur. Menghampiri Juli yang duduk di kursi. Di dapur juga masih minim peralatan, hanya ada kompor dan meja makan kecil.
Juli mengangguk setuju. Matanya menatap botol minumnya yang tinggal setengah. Angkasa kini duduk di depannya. Mereka saling berhadapan.
"Ada yang perlu diluruskan, mungkin?" Angkasa membuka suara.
"Kayaknya kita terlalu canggung. Ya nggak, sih?" Lanjutnya.
Juli lagi-lagi mengangguk. Tapi matanya belum melihat Angkasa yang di depannya.
"Mungkin lo sama sekali nggak menginginkan keadaan ini. Bener?"
"Kalaupun iya, kita udah nggak bisa ngapa-ngapain lagi, kan?" Juli balik melempar pertanyaan.
Ia berdeham, memberanikan diri untuk menatap Angkasa.
"Kalau boleh tau, kenapa kamu menerima permintaan ayah?"
"Gue kira alasan kita sama-sama untuk membahagiakan mereka, iya?" Juli mengangguk. Ah, iya memang benar, semua hanya untuk membahagiakan orang tua.
Lalu, untuk apa Juli masih mempertanyakan? Sudah jelas Angkasa tidak memiliki rasa tertarik padanya.
***
Juli tidak bisa tidur. Sudah pukul sebelas malam, kantuk belum melandanya. Ia membalikkan badan ke kiri. Ranjangnya masih kosong. Dimana Angkasa?
Juli menyingkap selimut, turun dari ranjang dan keluar kamar mencari Angkasa. Ia berjalan ke arah dapur. Kosong. Ia lalu berjalan ke arah depan.
Pintu depan terbuka sedikit, lalu ada kepulan asap dari luar. Juli melangkahkan kakinya ke luar.
"Nggak tidur?" Tanyanya.
Dilihatnya Angkasa duduk di kursi kayu dengan mengisap rokoknya. Dia terlonjak kaget.
Juli duduk di sampingnya, "Kok belum tidur?" Tanyanya lagi. Lalu hening melingkupi keduanya.
"Kita mungkin bisa jadi teman." Ujar Juli mengeluarkan unek-unek yang menjadi beban pikirannya.
Angkasa menoleh dengan alis berkerut.
"Mungkin kita belum bisa menerima keadaan ini. Jadi, kenapa kita nggak jadi teman aja? Daripada kita canggung begini, kan? Aneh tau nggak sih dari tadi diam-diaman."
Angkasa mengerjap, ia kira Juli yang belum bisa menerima keadaan ini, maka dari itu dia tidak terlalu banyak omong. Tapi ternyata Juli juga merasakan hal yang sama.
Juli menoleh, menatap Angkasa sambil tersenyum, mengulurkan tangannya, "Aku Julia."
Angkasa berdeham, "oke. Gue Angkasa." Tangannya menyambut tangan Juli.
"Jadi, kenapa belum tidur?" Pertanyaan yang sama masih terlontar.
Angkasa membuang puntung rokoknya. Kedua tangannya dimasukkan ke saku hoodie yang ia kenakan. "Nggak kenapa-kenapa." Ia berdiri.
"Yuk tidur." Angkasa mempersilakan Juli masuk terlebih dahulu. Ia kemudian mengunci pintu depan.
Sampai di kamar Juli duduk di tepi ranjang sebelah kiri. Angkasa berjalan ke tepi kanan. Ia melepas hoodienya, menyampirkan di kepala ranjang. Kaosnya juga ia lepas membuat kening Juli berkerut.
"Kok... Dilepas semua?" Juli bertanya heran.
Angkasa menyengir, memperlihatkan wajah biasa saja sedang Juli gemetaran, "Nggak biasa pakai baju kalau tidur. Nggak apa-apa, kan?"
Juli menelan ludah, "Oh. Yaudah."
Iya akunya nggak apa-apa, hati aku yang kenapa-kenapa.
***
Angkasa terbangun saat sinar matahari mulai menembus kaca jendela tanpa tirai penutup itu. Ia mengubah posisinya menjadi telentang. Ia mengucek matanya pelan. Melihat jam yang menggantung di atas pintu. Pukul tujuh pagi. Ia melihat ke sisi kiri. Kosong. Kemana gadis itu?
Angkasa masih setengah sadar berjalan ke dapur. Berniat mengambil air putih. Saat sampai di dapur, ia melihat Juli sedang sibuk menata makanan di meja makan. Angkasa bergerak ke sana.
"Eh udah bangun," sapa Juli. Ia sudah rapi dengan blouse berwarna pink dengan celana panjang. "Sarapan, yuk?" Lanjutnya.
"Lo masak?" Tanya Angkasa melihat makanan di meja yang begitu menggiurkan.
"Nggak, sih. Beli. Soalnya dapur masih kosong." Jawab Juli sambil menyerahkan piring untuknya.
"Gimana kalau hari ini kita beli perlengkapan rumah?"
Juli berdeham, "Boleh. Lagian hari ini aku nggak ada jadwal kuliah. Kalau kamu gimana?"
Angkasa mengambil gelas yang berisi air minum, lalu meneguknya sampai setengah, "Gue ada rapat siang. Tapi izin aja, deh."
"Ke toko yang di dekat kampus aja. Barangnya banyak kok, murah lagi." Juli memberi saran.
"Nggak. Kita ke mall dekat rumah aja. Nanti ambil mobil papi dulu."
Juli mengendikkan bahu, ia mengambil piring dan gelas kotor lalu berjalan ke wastafel, "yaudah."
"Dasar tukang ngambek. Dikit-dikit yaudah, dikit-dikit terserah. Nggak ada harapan hidup banget lo." Angkasa berbisik pada dirinya sendiri.
"Ih, kok nyebelin?!" Juli menatap Angkasa sebal.
Angkasa terkekeh. Dengar ternyata, "Nyebelin tapi ganteng, kan?" Angkasa memperlihatkan senyum khasnya.
Juli memutar bola matanya kesal.
Iya juga, sih.
***
Dilanjut.
Apr, 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Momen
RomanceJuli sama sekali tidak berpikir hidupnya berubah saat ia baru memasuki perguruan tinggi. Orangtuanya meminta untuk menikah dengan anak sahabat mereka. Karena Juli sangat menyayangi ayahnya, maka ia tidak bisa menolak. Angkasa sangat kaget saat salah...