empatpuluhtiga

2.1K 150 3
                                    

Sekitar pukul enam pagi Juli keluar kamarnya. Lebih pagi dari biasanya ia turun memang. Ia menuruni anak tangga dan berjalan menuju dapur.

Di sana sudah ada ibu yang baru menyeduh teh. Beliau sedikit menoleh saat terdengar langkah kaki Juli.

"Tumben jam segini udah turun, Jul?"

Juli berjalan mendekati ibu sambil mengendikkan bahu dan mengangguk. Ibu meletakkan sendok yang sudah ia gunakan untuk mengaduk teh. Lalu ia menggeser nampan itu ke arah Juli. "Tolong anterin ke depan dong."

"kok bikin tiga, Bu? Ada tamu?" Juli mengerutkan kening heran. Hanya ayah dan Septian yang biasanya dibuatkan teh pagi hari.

"Udah jangan banyak tanya. Anterin aja itu," ujar ibu yang sudah sibuk menyalakan kompor.

Juli membawa nampan itu dan berjalan ke depan rumah. Ia semakin penasaran dengan orang yang ikut dibuatkan teh. Saat sudah dekat, Juli dapat mendengar tawa mereka yang sedang asyik mengobrol.

"Wow!! Putri tidur udah bangun! Luar biasa saudara-saudara!" Septian mendecak tak percaya sambil bertepuk tangan berkali-kali saat melihat Juli yang keluar membawa nampan minuman.

Juli melihatnya hanya memutar bola mata kesal, tak sengaja ia menatap laki-laki yang duduk berseberangan dengan ayah. Hanya terhalang oleh meja kecil. Ia mengerlingkan matanya saat bertatapan dengan Juli. Bisa-bisanya!

Tapi, hey tunggu dulu! Kenapa juga ia ada disini? Pagi-pagi sudah duduk santai di depan rumah Juli dengan masih menggunakan sarung dan kemeja koko, yang sepertinya meminjam dari Septian. Semalam ia menginap?

Pikiran Juli berakhir saat ayah berdeham. Juli tersentak lalu meletakkan nampannya di atas meja.

"Hari ini kamu free kan, kak?" Ayah bertanya sambil meletakkan korannya di atas meja.

Juli berpikir sebentar lalu mengangguk, "Kenapa emang?"

Ayah menyeruput tehnya, lalu meletakkan kembali di meja. "Ayah minta tolong, kamu sama Angkasa datang ke undangan pernikahan anaknya om Ranu teman ayah ya?"

Juli nyaris melotot, ia ingin mengeluarkan jurus ngeles tapi tertahan.

"Ayah nggak bisa datang, nanti mau check up."

Juli menoleh kepada Septian yang sekarang pura-pura menyapu. "Kenapa nggak Asep aja?" Ia kembali menatap ayahnya.

Septian buru-buru mengangkat kedua tangannya di depan dada. "Nggak bisa." Ia menggeleng. "Aku nyupir mobil ayah, Pak Budi libur."

Juli mendecak dan menatap ayahnya, memohon agar permintaannya tidak jadi. Tapi sepertinya keputusan ayahnya memang tidak bisa diganggu gugat. Perempuan itu menghentakkan kakinya kesal, ia berbalik dan memukul pundak adiknya dengan nampan saat melewatinya.

"Pukul teros! Pukul aja, ikhlas gue mah." Keluh Septian.

Juli berjalan ke dapur dengan cepat. Ia meletakkan nampannya di atas meja makan.

"Emang harus datang banget ya, Bu?" Tanyanya.

"Nggak enak kalau nggak datang, Jul."

"Yaudah ibu aja yang datang, aku temenin ayah check up."

"Trus masa ibu datang sama Angkasa, ngaco kamu." Ibu terkekeh pelan.

Kenapa semua jadi di kubu mas Angkasa sih?!

Juli memutuskan untuk kembali ke kamar dengan perasaan kesal.

Setelah selesai sarapan, Juli bergegas bersiap ke kondangan. Ibu memaksanya untuk mengikuti permintaan ayah. Walau dengan setengah hati, Juli tetap melakukannya.

MomenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang