Sekitar jam sebelas malam, Juli terbangun. Ia membalikkan badannya ke kanan. Ranjang di sebelahnya masih kosong. Ia bangkit dari tidur dan berjalan ke arah pintu.
"Udah makan belum?" Ucap Juli setelah membuka pintu kamar pelan.
Matanya menangkap sosok Angkasa yang duduk lesehan di ruang tamu. Tampaknya banyak sekali deadline yang harus ia kejar.
"Sa, aku ngomong sama kamu." Ucap Juli lagi. Kali ini ia mendekat.
"Hah?! Eh, Jul. Ngapain?"
Juli memutar matanya kesal. Jadi dari tadi ia ngomong nggak dianggap gitu?
Kebiasaan Angkasa yang baru Juli ketahui, Angkasa akan sangat fokus pada kerjaannya.
"Udah makan belum?" Ulang Juli.
"Makan, ya?" Angkasa memijat tengkuknya yang pegal.
"Nggak tau, lupa."
Juli berdecak pelan, "Mau aku masakin mie?"
Angkasa menatap Juli sebentar yang masih berdiri di sampingnya.
"Ehm... Boleh deh, kalau nggak ngerepotin." Jawabnya. Matanya kembali pada layar laptop.
Juli berbalik lalu menuju dapur. Langkahnya berjalan ke arah tempat perkakas dan mengambil panci untuk memasak.
Ia berjalan ke wastafel, sesaat ia melirik Angkasa yang berdiri di ambang pintu dapur.
"Ngapain di situ?" Tanyanya.
Angkasa menggaruk tengkuk, kali ini tidak gatal, "Itu, jangan lupa telurnya setengah matang." Ujarnya kemudian ia balik ke ruang tamu.
Juli hanya berdeham pelan.
Hanya butuh waktu sekitar lima belas menit untuk Juli memasak mie. Ia kembali ke ruang tamu dengan membawa nampan berisi semangkuk mie dan juga segelas air.
Angkasa pikir Juli akan kembali tidur setelah meletakkan mie di meja. Namun, sosok itu kembali ke ruang tamu dengan buku di tangannya.
"Tidur, Jul. Jam berapa ini?" Ujar Angkasa saat Juli sudah duduk di sofa. Tangan membuka perlahan buku. Tubuhnya bersandar di kepala sofa.
"Susah tidur kalau udah bangun." Jelasnya.
Kemudian hening. Hanya sesekali terdengar lembar buku dibalik dan suara ketikan. Hampir lima menit, mie yang Juli siapkan belum juga disentuh oleh Angkasa. Hal ini membuat Juli kesal.
"Mienya keburu lembek, Sa. Nanti kuahnya hilang."
Namun Angkasa masih saja fokus pada layar laptopnya. Juli menutup bukunya pelan setelah menekuk sedikit pinggir halaman yang belum selesai ia baca. Kakinya turun lalu ikut duduk lesehan di samping Angkasa.
Tangannya menyendok sedikit mie, lalu menyuapkannya ke mulut Angkasa, "Makan dulu, nih."
Angkasa menurut, membuka mulutnya lebar-lebar untuk menerima suapan dari Juli.
"Sa," panggil Juli pelan.
Angkasa menyahut dengan gumaman.
"Minggu besok aku ada acara makrab. Berangkatnya Sabtu sih." Ucap Juli sekedar memberitahu. Karena dirinya juga belum yakin akan diizinkan atau tidak.
Tampak Angkasa masih saja fokus pada kerjaannya. Tapi ia tetap menerima suapan dari Juli.
Setelah makanan di mulutnya habis, ia mengeluarkan suara, "Yaudah berangkat aja."
Demi?!
Juli sangat terkejut. Segampang itu Angkasa menyetujuinya?! Sungguh sulit dipercaya.
"Bener?!" Mata Juli membulat sempurna. Wajahnya memunculkan semburat merah senang.
"Hm." Angkasa menoleh, menatap Juli sebentar, "Asal tetep hati-hati. Paling ke daerah Tawangsari, kan? Bawa jaket, disana dingin." Terangnya.
Juli mengangguk senang lalu kembali menyuapi Angkasa dan menemaninya hingga mereka tidur sangat larut malam. Atau bahkan sudah pagi.
***
"Eh, lo pada tau nggak? Kemarin gue lihat mas Angkasa di kafenya mas Bian loh. Anjir, lah. Bakal betah gue nongkrong di sana." Ujar salah satu mahasiswi yang bergerombol di salah satu meja kantin. Juli sangat muak ketika hampir semua mahasiswi baru membicarakan Angkasa.
Siang ini Juli berjanji akan menemani Sasa makan siang di kantin. Sebetulnya Juli ingin langsung segera pulang, namun karena sahabatnya yang meminta, apa boleh buat?
"Sori lama, Jul." Ujar Sasa setelah kembali dari kamar mandi.
"Nggak masalah." Jawab Juli.
Tak lama handphonenya bergetar dan muncul nama Angkasa di sana.
"Halo?" Sahutnya pelan.
"Oh, hai sayang." Angkasa menyahut. Di sana juga terdengar suara ramai perempuan. Tampaknya Angkasa menyalakan speaker handphone.
Juli menjauhkan handphone dari telinga. Memastikan si penelepon adalah Angkasa atau bukan.
Ingin sekali Juli mengumpati Angkasa yang memanggilnya sayang. Niat itu ia urungkan karena seperti Angkasa butuh bantuan. Okay, ia ikut bersandiwara sekarang.
"Iya, sayang? Kenapa?"
Juli meringis pelan, Sasa menatapnya terkejut.
"Katanya mau pergi, aku tunggu di parkiran mobil, ya."
Juli menggaruk tengkuknya yang tak gatal, tapi tetap melanjutkan sandiwara. "Oh, iya ya."
"Sekarang ya, sayang. Love you." Sambungan terputus.
Sebenarnya Juli tidak pernah membuat janji dengan Angkasa. Namun, sepertinya ia butuh bantuan sekarang.
Juli memasukan handphonenya ke dalam tas. Sasa menatapnya tanpa bicara.
"Kayaknya aku ada urusan mendadak. Aku tinggal nggak apa-apa ya, Sa?" Pamitnya.
Sasa hanya mengangguk paham, setelah Juli keluar dari kantin ia baru sadar. Matanya menatap Juli penasaran.
Emangnya Juli punya doi?
***
Berlanjut.
Apr, 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Momen
RomanceJuli sama sekali tidak berpikir hidupnya berubah saat ia baru memasuki perguruan tinggi. Orangtuanya meminta untuk menikah dengan anak sahabat mereka. Karena Juli sangat menyayangi ayahnya, maka ia tidak bisa menolak. Angkasa sangat kaget saat salah...