Pepatah 'kita yang merencanakan, Tuhan yang menentukan' memang benar adanya. Ketika kita sudah menyusun rencana, apabila Tuhan berkehendak lain maka kita bisa apa?
Itulah yang membuat Juli cemberut sambil mondar-mandir di ruang tengah. Sesekali ia berjalan menuju jendela, lalu menyibak gorden dengan kesal.
Suara khas hujan masih terdengar cukup keras di rumah kecil itu. Sejak menunggu Angkasa siap-siap, tiba-tiba cuaca menjadi mendung dan akhirnya turun sebagai hujan.
Angkasa juga sudah rapi. Ia memakai celana jeans dan kemeja flanel dengan kaos hitam sebagai dalaman. Saat ini ia hanya duduk di sofa. Sesekali memerhatikan Juli yang tidak bisa diam.
"Duduk kenapa sih, Jul? Pusing gue lihatnya." Ujarnya pelan.
Juli berhenti sejenak. Ia menatap Angkasa garang. Kedua tangannya sudah menyilang di depan dada.
"Gara-gara kamu, nih! Kelamaan jadinya keburu hujan!" Balasnya sewot.
Anjir, salah gue lagi?!
Angkasa menghela napas pasrah. Tampaknya kali ini bukan waktu yang tepat untuk ia berbicara. Ia kemudian membiarkan Juli berbuat semaunya.
Tak lama ada pesan masuk dari Bian.
Buat anggaran KKN besok enaknya berapa njing?
Serah lu, cuk.
Duh, kayaknya gue lagi nggak tepat waktu bgt nih. Napa sih?
Ah, Bian memang sohib Angkasa banget. Tahu saja kalau Angkasa sekarang lagi serba salah.
Bingung gue, anjir. Salah mulu di mata Juli.
Why?
Kemaren gue janji ajak nonton hari ini, eh ternyata malah ujan kampret! Gue lagi yang disalahin gegara kelamaan.
Wkwk. Sabar boss. Yaudah agenda nonton di rumah aja napa sih? Series kan byk tuh. Ketimbang diamuk sampe lebaran anjing :v
hahahanjing lucu bgt lo!
Tapi boleh juga sih ide lo.Masama, lov.
Najis!
***
Cukup lama Angkasa membuat Juli luluh untuk melakukan acara nonton di rumah saja. Sekarang mereka sudah berada di atas ranjang. Keduanya fokus melihat serial drama yang sedang tayang. Meski Juli sempat bete, sekarang ia terlihat menikmati alur cerita drama itu.
Tak terasa sudah hampir dua jam ia duduk di atas ranjang, menyenderkan punggungnya di kepala ranjang ternyata membuatnya pegal. Mereka baru menonton setelah waktu isya dan sekarang sudah pukul sembilan lebih.
Angkasa bangkit dari duduknya. Ia berdiri sambil merenggangkan otot. Matanya menatap Juli yang tidak balas menatapnya karena sedang fokus menonton.
Angkasa berniat ke dapur untuk mengambil air minum. Usai mengisi dua cangkir dengan coklat panas. Ia kembali ke kamar. Saat membuka pintu, Juli sedang menutup matanya menggunakan selimut.
Kening Angkasa mengkerut. Ia berjalan menuju ranjang setelah menutup pintu. Matanya menatap layar televisi sebentar. Ia tertawa tapi tidak bersuara.
"Ngapain ditutup segala tuh mata?" Tanyanya. Ia sekarang sudah bergabung dengan Juli duduk di atas ranjang.
Tangan Angkasa mengulurkan secangkir coklat panas itu. Juli menyibak selimutnya. Ia menatap Angkasa tidak enak. Adegan yang baru saja ia nonton sudah berganti dengan adegan yang lain.
Mereka berdua menyesap coklat itu bersama. Panasnya coklat mampu menetralisir hawa dingin di kamar mereka.
"Emang lo nggak pernah ciuman?" Tanya Angkasa pelan. Ia menaruh cangkirnya di kolong tempat tidur.
Juli jadi bergidik.
Kenapa dibahas sih?
Juli tidak menjawab. Ia menggosok tengkuknya pelan. Angkasa kemudian tertawa.
"Jadi beneran belum?" Goda Angkasa. Masih saja ia meledek.
Ia menarik cangkir yang Juli hanya pegang dari tadi. Ia hanya baru menyesap coklatnya sedikit. Kemudian Angkasa juga meletakkan cangkir itu di tempat yang sama dengan cangkirnya.
Angkasa mendekatkan wajahnya ke Juli. Ia semakin memajukan wajahnya. Dekat sekali dengan wajah Juli sekarang. Juli bingung harus berbuat apa. Mundur? Diam saja? Ah, ia tidak tahu. Akhirnya ia memilih untuk menutup matanya.
"Ada bekas coklat di bibir lo tuh. Bersihin, gih." Ujar Angkasa pelan sambil menahan tawanya.
***
Juli sudah mulai terbiasa dengan aktivitasnya. Setiap hari Senin sampai Jumat ia akan tinggal di kontrakan untuk fokus kuliah. Sedang pada hari weekend, mereka biasa menghabiskan waktu di rumah mami/ ibu secara bergiliran.
"Ayah sama ibu kemana?" Tanya Juli pada Septian yang duduk di depan televisi. Hari ini mereka akan singgah di rumah ibu.
"Jagong." Balas Septian pelan. Ia menonton televisi tapi sibuk memainkan handphone.
Angkasa masuk setelah memarkirkan motornya dengan benar. Ia bergabung dengan Septian dan Juli di ruang tengah.
"Sepi amat, Sep. Main PS boleh nih." Ujar Angkasa pelan.
Septian menoleh sebentar, "Boleh deh, mas. Gue ambil bentar yak."
Septian meninggalkan Juli dan Angkasa. Keduanya hanya diam. Juli masih malu dengan kejadian kemarin, padahal mungkin Angkasa sudah lupa.
"Ikut main, Jul?" Tawar Angkasa saat Septian sudah kembali.
"Nggak. Main PS nggak bisa bikin kaya!" Sahut Juli lalu bangkit. Ia memutuskan untuk istirahat di kamar.
"Lah gimana, sih?!" Septian membalasnya dengan sewot.
"Mau kaya ya kerja, anjir. Main PS mah buat hiburan aja." Lanjutnya kesal.
Angkasa hanya tertawa melihat interaksi kakak beradik itu. Mereka seperti dirinya dan Bulan. Kadang akur, kadang sama-sama ngeselin.
"Semester akhir gini sibuk, mas?" Tanya Septian di sela permainan.
Angkasa mengangguk, "Yoi. Sibuk ngurus KKN trus persiapan magang sama skripsi." Balasnya singkat.
"Wih, kapan KKN nya nih?"
"Liburan semester ini berangkat."
"Kemana emang?"
"Daerah di NTT sih. Pengen mengabdi di sana."
"Wah mantap tuh. Jangan lupa oleh-olehnya."
"Siap. Ada yang mau gue omongin sih sama lo." Angkasa menghentikan permainannya sebentar.
"Apaan?" Tanya Septian pelan.
"Jagain Juli selama gue nggak ada. Kalau dia butuh sesuatu, tolong turutin semuanya."
Septian berdecak pelan, "Siap itu mah. Udah jadi salah satu tugas gue dari ibu negara itu." Angkasa terkekeh pelan.
Setidaknya ia bisa tenang saat ia jauh dari Juli.
***
Berlanjut.
Mei, 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Momen
RomanceJuli sama sekali tidak berpikir hidupnya berubah saat ia baru memasuki perguruan tinggi. Orangtuanya meminta untuk menikah dengan anak sahabat mereka. Karena Juli sangat menyayangi ayahnya, maka ia tidak bisa menolak. Angkasa sangat kaget saat salah...