tujuh

3.4K 216 2
                                    

Malam ini adalah malam Sabtu. Jadwal biasa anak fakultas seni menampilkan teater di sanggar dekat kampus.

Kebetulan, salah satu teman lama Juli mengundang dirinya untuk hadir di acara itu. Juli tentu sangat senang. Dirinya memang suka menyaksikan acara yang membuatnya takjub sampai tidak bisa berkata-kata.

Tapi yang menjadi masalah, memangnya ia diizinkan? Acara akan dilaksanakan pada pukul delapan malam, tentunya ia akan pulang lebih dari jam dua belas.

"Sa, aku mau nonton teater di sanggar Bengawan." Juli berdiri di ambang pintu sambil tangannya memegang kenop.

Angkasa yang sedari tadi tiduran di ranjang menyibak selimut. Matanya melirik jam dinding yang menggantung di atas pintu.

"Nggak boleh." Ujarnya pelan.

"Kalau bukan kamu yang nganterin?" Tanya Juli polos.

Juli tetap dengan wajah melasnya memohon agar bisa pergi malam ini. Tapi Angkasa tetap Angkasa.

"Nggak boleh, ya nggak boleh. Mau bikin predikat 'menantu idaman' gue turun dengan membiarkan lo keluar malam?"

Juli masih menunggu. Bahkan tangannya memainkan kenop,
"Ayolah. Sekali ini aja. Izinin aku pergi, soalnya in—"

"Nggak. Mending tidur, deh. Besok ada kuliah pagi, kan?"

Juli melepas tangannya dari kenop, ia menginjak-injakkan satu kakinya ke lantai dengan wajah yang kusut.

"Nyebelin banget, sih!" Ujarnya lalu tangannya menarik kenop pintu dan membanting pintu tak bersalah itu.

Ngambek, deh. Dasar panjul.

***

Pagi ini Juli melewatkan sarapan. Sudah dari pukul tujuh ia meninggalkan kontrakan. Tak peduli dengan Angkasa yang masih tidur.

"Eh, sori ya Jul. Gue harus kerja kelompok dulu, nggak bisa nemenin makan deh." Ujar Sasa, teman satu kelas Juli.

Juli mengangguk, lalu melambaikan tangan ke arah Sasa. Mereka berpisah di parkiran. Setelahnya ia menuju ke kantin.

Juli sudah duduk menunggu pesanan di meja paling pojok. Suasana kantin masih sepi. Hanya ada satu meja penuh di dekat kasir. Berisi ciwi-ciwi yang asyik mengobrol dan bergosip.

"Eh, lihat tuh. Mas Angkasa, woi!" Seru seorang perempuan dengan gaya yang berlebihan. Disusul dengan beberapa yang lain berbisik antusias.

Sekarang Angkasa melintas di samping Juli. Berjalan menuju kasir untuk memesan makanan, sepertinya.

"Eh, Mas Angkasa. Sarapan, mas?"

Dasar genit.

Angkasa hanya membalas dengan senyum lalu berlalu dari hadapan mereka. Ia berjalan menuju meja Juli. Mengambil tempat duduk di depan Juli.

"Diam aja, mbak." Ujar Angkasa pelan. Matanya menatap Juli yang masih menunduk memainkan handphone.

Juli masih tidak mau berbicara.

"Mas Angkasa duluan ya!" Perwakilan dari ciwi-ciwi genit berlalu sambil melambaikan tangan manja.

Juli memutar bola matanya kesal.

"Tega banget ninggalin suami di rumah. Nggak ada makanan lagi. Jahat banget, Jull," Adu Angkasa melas.

"Jul," Angkasa menoel lengan Juli pelan.

Juli menyingkirkan tangan sambil melotot, "Apaan, sih?"

"Jangan ganggu deh." Ujarnya.

Tampaknya ia masih marah karena tidak diizinkan menonton teater tadi malam.

"Iya, sori deh, sori. Kemarin tuh pusing banget Jul. Nggak mungkin kan gue biarin lo pergi sendiri. Bisa habis gue kalau lo kenapa-kenapa." Penjelasan Angkasa membuat Juli mendongak. Angkasa sakit?

Refleks Juli mengulurkan tangannya menyentuh kening Angkasa pelan. Tidak panas.

"Pusing Jul, bukan panas." Angkasa mengoreksi.

"Maaf, mbak. Ini pesanannya." Ujar ibu kantin dengan membawa nampan berisi mangkuk dan gelas. Lalu meletakkannya di atas meja.

"Loh punya saya mana, Bu?"

"Hah? Emang masnya pesan?" Ibu kantin menatap Angkasa bingung.

Ia malah terkekeh pelan, "Becanda sih, Bu. Serius amat, cantiknya hilang loh."

Ibu kantin tertawa sambil menepuk lengan Angkasa dengan nampan pelan, "Bisa aja masnya. Saya permisi dulu."

"Nanti malam keluar, yuk? Sebagai permintaan maaf gue untuk kemarin, mau ya?"

Angkasa menatap Juli yang sedang menunggu makanannya dingin di sendok. Juli pura-pura berpikir.

"Gue nggak terima penolakan, sih."

Juli berdecak kesal.

Dasar pemaksa.

***
Berlanjut.
Apr, 2020

MomenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang