tigapuluhdelapan

1.9K 146 3
                                    

Saat Angkasa berada di kafe Bian, Karina menelepon memberitahu bahwa ia bisa bertemu dengan Bian. Karina, perempuan masa lalu Angkasa yang telah menghilang sejak SMA kembali ke kota ini.

Angkasa sengaja meminta Bian agar mencari informasi tentang Karina dan mengajaknya bertemu. Ia tidak bermaksud apa-apa, hanya ingin menyelesaikan apa yang harusnya sudah selesai sejak dulu, saat Karina tiba-tiba menghilang tanpa kabar. Angkasa hanya ingin tahu alasan mengapa gadis itu pergi darinya.

Jujur saja Angkasa tidak tahu jika akan bertemu Karina hari ini. Angkasa hanya pamit kepada Juli untuk pergi ke kafe Bian sekedar membahas masalah skripsi dan mengambil gajinya. Tapi, Angkasa juga tidak bisa menolak kesempatan yang sudah ada di depan mata. Setelah penantian yang cukup panjang, masalah ini harus segera selesai. Masalah Juli yang belum tahu, akan Angkasa pikirkan nanti.

Mereka banyak mengobrol, meski Karina sedikit canggung mungkin karena masih merasa bersalah. Ya, siapa juga yang mau ditinggalkan tanpa alasan yang jelas dan tiba-tiba.

"Mau gue anterin aja?" Tanya Angkasa saat mereka memutuskan untuk mengakhiri pembicaraan.

Karina menggeleng, ia bangkit dari kursi dan mengambil tasnya. "Nggak usah."

Angkasa mengikuti Karina di belakang menuju pinggir jalan. "Gue udah pesan ojek online kok."

Angkasa mengangguk, tak lama ada pengendara motor berjaket hijau berhenti di depan mereka. "Mbak Karina?"

"Iya, pak." Jawab Karina. Ia menoleh ke Angkasa sebentar, "Jangan lupa. Aku mau ketemu sama dia secepatnya." Ia mengerling. Lalu naik ke atas motor.

Angkasa hanya mengulas senyum ketika Karina mulai berlalu.

Setelahnya Angkasa berjalan ke arah motor. Sebelum ia melaju, tangannya mengambil handphone di saku jaket untuk mengecek. Selama ia di burjo tadi ia sengaja mematikannya.

Ada puluhan panggilan tak terjawab dari Bian juga pesan yang baru masuk. Belum Angkasa melihatnya, nama Bian kembali muncul di layar handphone.

"Kemana aja sih lo?! Gue telepon dari tadi nggak nyambung-nyambung!"

"Ada apa emang?"

"Juli tadi nelpon gue. Tanya lo lagi di kafe atau nggak."

"Hah?" Angkasa kebingungan. Sebelum berangkat, ia sudah bilang Juli padahal.

"Hah-hoh, hah-hoh." Seru Bian kesal.

"Sebenarnya Juli udah tau tentang Karina belum sih? Kenapa dia tiba-tiba nelpon gue?" Lanjut Bian.

Angkasa malah balik bertanya. "Lo jawab apa?"

"Ya gue bilang lo nggak ada. Baru mau gue jelasin, udah dimatiin teleponnya." Angkasa mendecak. Ia memasang helm lalu melajukan motornya.

Apa Juli tadi melihatnya saat Angkasa dan Karina mengobrol di burjo?

Juli sama sekali tidak pernah menanyakan kabar kalau ia sudah tahu dimana Angkasa. Tapi mengapa ia tiba-tiba menelpon Bian dan menanyakan keberadaan Angkasa? Sial, kepala Angkasa dipenuhi pikiran buruk.

Angkasa berlari kecil setelah melepas helm. Ia memegang kenop pintu dan mencoba membukanya. Tapi nihil. Pintunya masih terkunci.

Juli belum pulang?

Ia kembali mengeluarkan handphonenya, menelepon Juli berkali-kali tetapi tidak pernah diangkat. Semua kiriman pesan juga tidak ada yang dibalas.

Angkasa menggeram gusar. Ia mengambil kunci duplikatnya dan masuk ke dalam. Kakinya berjalan cepat menuju ke kamar. Kamar masih tertata seperti saat ia tinggal pergi. Tapi, lemarinya sedikit terbuka.

Angkasa buru-buru membuka lemari itu. Ia memastikan isinya tidak ada yang hilang. Tapi kenyataan membuatnya menghela napas pasrah.

Beberapa pakaian Juli tidak ada. Hanya tersisa beberapa helai. Angkasa menoleh ke meja rias. Di sana juga tinggal beberapa barangnya.

Kemana Juli pergi?

***

Kalau ada manusia yang harus Bian ejek saat ini, tentu memang Angkasa orangnya. Bian tidak habis pikir. Bisa-bisanya Angkasa belum memberitahu Juli tentang Karina. Walaupun mungkin masalahnya sudah selesai, tapi lihat! Timbul masalah lainnya, yang jelas lebih besar dari masalah sebelumnya.

Bian melihat Angkasa dari atas sampai bawah. Penampilannya sangat kacau. Rambutnya acak-acakan. Wajahnya ditekuk seperti baru mendapat masalah yang fatal.

"Bener kan tuh kata pepatah, mati satu tumbuh seribu." Ujar Bian, ia baru saja membawa sebuah botol minuman dingin dan melemparkannya ke Angkasa.

Angkasa mendengus sambil menangkap botol itu. "Gue lagi nggak mau denger lo ceramah. Bantuin mikir, kek."

Bian mendecak, "Yang jadi suami kan lo, ngapain gue ikut susah."

Angkasa diam. Ia meneguk minumannya dengan tidak sabar. Pikirannya melayang entah kemana.

"Balik ke rumah orang tuanya kali." Celetuk Bian.

Angkasa menggeleng tidak setuju. "Nggak. Kalau Juli pulang ke sana pasti sekarang mami udah khotbah lewat telepon."

Bian kembali berpikir. "Ya lo tanya aja orang yang terakhir sama dia."

Cemerlang! Bian memang bisa diandalkan sebagai sahabat. Mengapa Angkasa tidak kepikiran Sasa. Juli terakhir pergi sama dia kan?

"Minta nomernya Sasa dong." Ujar Angkasa sambil mengeluarkan handphonenya.

"Sasa yang mana?" Bian mengernyit bingung.

"Hidup lo dipenuhi berapa Sasa sih?! Sasa yang biasa sama Juli, anak manajemen."

Angkasa lalu segera menghubungi perempuan itu untuk menanyakan keberadaan Juli.

Sedangkan Juli yang meminta menginap di rumah Sasa untuk malam ini, masih menangis. Ia duduk di atas ranjang sembari memeluk lututnya.

Sudah beberapa jam perempuan itu menangis. Pipinya sampai basah terkena air mata. Sejak mereka sampai di kamar Sasa, Juli menceritakan semua yang ia lihat.

Saat ini Juli benar-benar merasa hancur. Sejak kapan Angkasa berhubungan dengan perempuan itu. Apa selama ini ia kurang bisa menjadi istri yang baik sampai laki-laki itu harus menjalin hubungan dengan orang lain?

Sasa berada di depan Juli. "Udah, Jul. Nanti mata lo sakit kalau kebanyakan nangis." Tangannya mengusap pundak perempuan yang masih menangis sesegukan itu.

"Tapi dia jahat banget, Sa." Juli menatap Sasa dengan mata yang basah.

"Mereka akrab banget. Bahkan mereka ciuman, Sa!" Keluhnya.

"Itu kan lo lihatnya dari belakang. Bisa jadi mereka nggak ciuman." Sasa mencoba menenangkan Juli yang masih dipenuhi pikiran buruk.

Tak lama handphone Sasa yang berada di depan Juli menyala. Benda itu menampilkan panggilan dari nomor yang tidak dikenal. Tapi Juli hafal betul nomor itu.

"Nggak usah diangkat. Itu pasti Mas Angkasa." Sasa mengikuti perintah Juli. Ia tidak mengangkat telepon itu walau sudah banyak panggilan.

Juli menyeka air matanya. "Lo harus dengar penjelasan Angkasa juga." Lanjut Sasa.

Juli menggeleng. "Nggak sekarang."

Sasa mengangguk setuju, "Yaudah lo istirahat. Gue ambilin minum dulu ke bawah."

Sasa turun ke lantai bawah. Ia mengecek handphone saat sudah berjalan ke arah dapur. Tak lama pesan dari Angkasa masuk. Sasa dengan cepat membacanya. Ia menghela napas pelan. Kasihan Angkasa, ia pasti khawatir dan kacau sekaligus bingung Juli ada dimana sekarang.

Angkat telepon gue, plis.
Lo pasti tau Juli dimana sekarang.

***
Berlanjut.
Sep, 2020

Jangan lupa vote! Makasih banyak :')

MomenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang