Usai menerima telepon dari Bian, Angkasa segera bergegas kembali ke kafe Bian yang tak jauh dari kontrakan.
Mengemudi saat suasana kalut memang tidak dibenarkan, oleh karena itu Bian berinisiatif untuk ikut, menyetir mobilnya menuju Tawangsari.
Teman Bian yang mengikuti acara makrab jurusan Juli baru saja bercerita kalau ada salah satu mahasiswi yang dilarikan ke klinik karena alergi. Entah kenapa Bian langsung menghubungi Angkasa yang juga bingung dengan keadaan Juli.
"Rileks, Sa. Juli bakal baik-baik aja." Ujar Bian menasehati Angkasa yang sedari tadi menghela napas kasar. Ia nampak gelisah.
Sekitar pukul duabelas malam lebih, mereka baru sampai di tempat penginapan dan kembali menjalankan mobil menuju klinik.
"Juli mana?!" Tanya Angkasa setelah melewati lorong klinik. Di sana sudah ada beberapa teman yang ia kenal.
Bian mengekori Angkasa dari belakang sambil memandang Widi yang juga ada di sana.
Duh ngapain dia ikut sih. Bikin tambah panas aja.
"Masih di dalam, Sa. Lo—" ucapan Hendra selaku ketua panitia disela Bian, "Orangtuanya Angkasa kebetulan temennya orangtua pasien. Jadi tadi kita disuruh ke sini." Jelasnya.
Semua orang mengangguk paham. Bian merangkul bahu Angkasa dan menyuruhnya duduk di kursi tunggu.
Karena panik dan terburu-buru, Angkasa lupa mengabari mami dan ibu. Ia segera mengambil handphone dan memberi kabar keduanya via sms. Ia tidak berani menelepon karena takut mengganggu dan malah membuat mereka cemas.
Harusnya nggak gue izinin dia berangkat. Bego lo, Sa.
***
Juli baru saja sadar sekitar jam tiga pagi. Angkasa dengan setia menunggunya di dalam kamar. Sedang Bian dan beberapa orang yang lain menunggu di luar.
Juli membuka matanya lalu kembali menutupnya sebentar untuk memperjelas pandangan.
Ia mengedarkan pandangannya pelan. Tentu ruangannya berbeda dari yang kemarin ia terakhir tempati. Ia menoleh ke samping. Terkejut akan keberadaan seorang laki-laki yang sangat ia kenal.
"Sa," panggilnya lirih.
Angkasa yang tidur dengan posisi duduk di samping ranjang menggeliat. Ia membuka mata dan mengusap wajahnya kasar. Matanya menatap Juli yang terbaring di ranjang dengan mata terbuka.
"Jul?!" Angkasa refleks berdiri, "lo udah sadar? Apa yang sakit? Gue panggil dokter ya?"
Juli menatap Angkasa malas. Ia sama sekali kesal kepada orang-orang yang selalu khawatir berlebihan kepadanya.
"Aku nggak apa-apa." Jawab Juli. Ia bangkit dari tidur. Angkasa membantunya untuk bersandar di kepala ranjang.
"Nggak apa-apa gimana?! Alergi lo kumat masih aja bilang nggak apa-apa." Gerutu Angkasa. Ia terlihat seperti emak yang memarahi anaknya sekarang.
"Abis ini langsung pulang ke rumah." Ucap Angkasa yang sudah duduk kembali.
Ia sibuk memberi kabar kepada mami dan ibu dan menyuruh Bian untuk mengambil semua perlengkapan Juli di tempat penginapan.
"Kok pulang?" Tanya Juli sambil menatap Angkasa kecewa.
"Acaranya masih banyak." Lanjutnya.
Jadi maksudnya Angkasa akan membiarkan Juli di sini dan ia kembali untuk siap mati di tangan mami, begitu? Tidak semudah itu.
Angkasa berdecak, "Tadi malem kan udah acaranya. Sekarang istirahat, pulang."
Juli kembali mendesah, "pliss. Masih ada acara intinya tauu." Ia terus memohon.
Angkasa berdiri, mengulurkan tangannya untuk mengacak rambut Juli, "Iya, tauuu. Gue kan yang duluan makrab. Udah ah, nurut gitu loh."
Kemudian ia beranjak keluar kamar untuk membangunkan Bian yang sepertinya belum bangun.
Angkasa nyebelin!!
***
Mereka sampai di rumah orang tua Juli sekitar pukul tujuh pagi. Setelah itu Bian pamit untuk pulang.
Usai memasuki rumah, Juli langsung berjalan ke kamar dengan cepat meninggalkan Septian yang masih di ambang pintu.
"Biasa, lagi ngambek." Bisik Angkasa pelan. Kemudian mereka berdua masuk.
"Loh Angkasa udah sampai toh? Juli mana?" Tanya ibu dari arah dapur.
Dengan sopan Angkasa menyalimi mertuanya, "langsung ke kamar, bu. Lagi ngambek. Nggak mau pulang." Jelasnya.
Ibu tergelak pelan, "Oalah, yaudah kita sarapan dulu yuk. Belum makan, kan?" Mereka bertiga kemudian menuju meja makan untuk sarapan bersama.
Ayah, Ibu, Septian dan Angkasa menikmati sarapan pagi ini. Hanya terdengar sendok dan piring beradu memenuhi ruangan.
"Tolong maklumi ya, Nak. Juli emang suka ngambek." Ujar ayah setelah menyelesaikan sarapannya.
Angkasa hanya mengangguk sambil tersenyum.
"Kok betah sih mas Angkasa sama si panjul?" Tanya Septian pada Angkasa.
Ibu mencubit lengan Septian pelan, "nggak sopan, ih."
"Lha aku kan tanya, Bu. Masa nggak boleh?" Septian berujar sambil mengelus lengannya, "mana sakit lagi." Gerutunya.
Angkasa hanya terkekeh, "tiap hari diperhatiin, kenapa nggak betah?"
Jawabannya membuat ayah dan ibu lega. Setidaknya mereka tak salah memilih Angkasa untuk menjadi menantu.
"Tapi kan kadang dia suka rese. Mana ngambekan lagi." Septian terus saja menghujat Juli. Mengeluarkan semua keburukan Juli di depan Angkasa.
"Kamu itu yang lebih rese. Sukanya buli orang mulu." Ujar ibu sambil menjewer telinga Septian.
"Ibu, ihhh." Ketiga orang itu tertawa senang Septian mengaduh kesakitan—lagi.
Sifat Juli yang kadang cuek namun perhatianlah yang membuat Angkasa gemas. Tidak ada alasan untuk tidak betah, kan?
***
Berlanjut.
Mei, 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Momen
RomanceJuli sama sekali tidak berpikir hidupnya berubah saat ia baru memasuki perguruan tinggi. Orangtuanya meminta untuk menikah dengan anak sahabat mereka. Karena Juli sangat menyayangi ayahnya, maka ia tidak bisa menolak. Angkasa sangat kaget saat salah...