duapuluh

2.5K 157 3
                                    

Semua orang di rumah ini sibuk dengan aktivitas masing-masing setelah sarapan bersama. Bulan tentu saja sedang bermain bersama Langit. Mami papi menonton televisi di ruang tengah. Sedang Juli dan Angkasa kembali ke kamar.

"Berangkat jam berapa?" Juli bertanya saat ia melihat Angkasa masih bersantai di atas ranjang.

"Nunggu Bian datang," balasnya. Ia masih fokus pada handphone.

Juli menahan kesalnya, "Iya, nunggu Bian datang tuh, jam berapa?"

Angkasa menghela napas pelan, "Nanti siang, sayang." Ia membalasnya dengan suara gemas. Jujur ia sangat gemas dengan Juli yang sangat banyak tanya sekarang.

"Sa," Juli memanggil.

"Aku mau ngomong, jangan dipotong. Apalagi dilawakin." Angkasa mengangguk paham, ia membiarkan Juli berbicara.

"Kamu..." Juli mencoba merangkai kata-kata yang pas.

"Nanti kalau udah sampai sana jangan lupa makan teratur, shalatnya jangan sampai bolong, jangan begadang juga. Jangan ngerokok teruss."

Angkasa menatap mata Juli dalam. Juli yang duduk di meja rias pun salah tingkah. Ia menunduk.

Angkasa bangkit dari ranjang, ia berjalan ke arah Juli. Membuka lengannya lebar.

"Uuu sini peluk dulu," ujarnya seraya menyuruh Juli untuk berdiri dan melingkarkan tangannya ke pinggang Juli.

"Lo—maksudnya kamu juga hati-hati di sini." Angkasa mengganti kalimatnya dengan aku-kamu.

Dalam dekapan hangat Angkasa Juli mengangguk pelan. Ia tidak bisa menahan rasa sedihnya karena harus berpisah dengan Angkasa walaupun hanya sementara.

***

Sudah sekitar seminggu Juli berada di rumah mami, pagi ini Juli memutuskan untuk gantian tinggal di rumah ibu. Ia berjalan meninggalkan kamar setelah membawa tas berisi beberapa bajunya. Langkahnya tertahan di ruang tengah. Melihat mami tidak ada di sana, ia bergegas ke dapur.

"Mi," sapa Juli setelah ia melihat mami sedang memasak. Ia melangkah mendekat.

"Eh, sayang. Jadi ke rumah ibu?" Tanya mami pelan. Ia berjalan ke wastafel untuk mencuci tangan dan mengeringkannya ke apron.

Juli mengangguk, ia dan mami sekarang berjalan menuju pintu utama. Tangan mami masih setia merangkul Juli sayang.

"Asep belum datang?"

"Sebentar lagi mungkin, mi."

Mami mengangguk lalu tak lama Septian datang. Ia turun dari mobil dan menyalimi mami.

"Datang juga kamu, sep."

"Iya dong, mi. Kalau nggak datang," ia melanjutkan dengan menggerakkan tangan kanan di depan leher.

Mami terkekeh pelan, keduanya lalu pamit untuk kembali ke rumah.

Di perjalanan Juli hanya diam. Sesekali ia menyahut jika Septian bertanya. Pikirannya melayang jauh entah kemana. Sudah seminggu ini Angkasa tidak menghubungi. Juli jadi bertanya-tanya. Ada sedikit perasaan khawatir yang hinggap di hatinya.

Mami dan yang lain selalu mencoba menenangkan Juli. Mereka selalu bilang mungkin memang tidak ada sinyal sehingga Angkasanya tidak menghubungi. Juli mencoba mempercayai hal tersebut. Semoga memang benar adanya.

"Mau ngelamun sampai besok di situ, mbak?" Tegur Septian saat mereka sudah sampai di parkiran rumah.

Juli sedikit kaget. Kegiatannya melamun ternyata cukup lama. Ia melepaskan sabuk pengaman dan segera turun. Disusul Septian yang mengambil tas Juli di belakang lebih dulu.

"Anak ibu yang cantik udah datang," sambut ibu setelah ia melihat Juli masuk ke dalam rumah.

"Makan, Jul?" Tawar ibu sambil melepas pelukannya. Mereka masih berdiri di ruang tengah.

Juli menggelengkan kepala, "Nanti aja, Bu. Juli mau istirahat." Balas Juli pelan.

Ibu mengangguk dan membiarkan Juli menaiki tangga dan masuk ke dalam kamarnya. Septian berjalan tergesa melewati ibu.

"Sep, mau kemana?" Tanya ibu.

Septian menenteng tas Juli, "Mau ngasih ini, Bu."

Ibu mengibaskan tangannya. Ia menyuruh Septian menaruh tas itu di meja. Sepertinya mood Juli sedang tidak baik. Jadi ia memutuskan untuk tidak boleh ada yang mengganggu Juli.

***

Juli tertidur cukup lama. Ia melirik jam yang berada di atas nakas. Sudah pukul lima sore. Juli mengusap matanya pelan. Ia bangkit dari tidur dan melangkahkan kaki ke meja rias.

Tangannya meraih handphone yang sudah terisi penuh baterainya lalu menghidupkannya. Ia sedikit kaget dengan panggilan mami. Ia duduk di kursi lalu mengangkat panggilan itu.

"Halo, mi?" Juli bersuara serak seperti orang yang bangun tidur.

"Kemana aja anak mami? Tadi udah mami telepon nggak aktif nomornya," keluh mami di seberang.

"Maaf, mi. Juli ketiduran. Handphonenya lagi dicas."

Mami berdeham, "Tadi Angkasa telepon lewat telepon rumah." Jelas mami. Juli mengerjap pelan.

"Dia kira kamu masih di rumah mami. HPnya nggak ada sinyal makanya nggak bisa nelpon." Lanjut mami mengatakan semua yang dikatakan oleh Angkasa pada Juli.

Juli mengelus tengkuknya pelan, "Oh, ya?" Juli malah bertanya. Ada sedikit rasa lega akhirnya Angkasa memberi kabar.

"Dia... Baik-baik aja kan, mi?" Lanjut Juli pelan.

"Ya, ya. Dia baik-baik aja kok. Katanya dia kangen kamu, tapi kamunya malah nggak ada." Mami menyahut. Bibir Juli tertarik,  membentuk senyuman kecil.

Tak lama mami menutup teleponnya. Juli kembali ke ranjang. Ia merebahkan tubuhnya pelan. Menatap langit-langit kamar sambil tersenyum.

Angkasa merindukannya?

***
Berlanjut.
Jun, 2020

MomenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang