tigapuluhlima

1.9K 154 5
                                    

Angkasa pulang cukup malam. Ia berjalan ke kamar lalu membuka pintu. Laki-laki itu kaget melihat Juli yang belum tidur. Gadis itu duduk dengan menekuk kedua lututnya yang menjadi tumpuan wajah. Tangannya menutupi wajah. Ia terlihat sesegukan.

Juli menangis?

Angkasa segera menutup pintu kamar, melangkah ke meja untuk meletakkan tasnya, lalu menghampiri Juli.

"Jul?" Angkasa mendekat, ia duduk di depan Juli.

"Kenapa?" Ia menyentuh pelan lengan Juli.

Juli mendongak. Ia menatap Angkasa sebentar lalu mengusap wajah untuk menghapus sisa air matanya.

"Kamu udah pulang, mas?" Angkasa mengangguk, ia mendekat lalu menarik pundak Juli, mendekapnya.

"Kenapa nangis?"

Juli hanya diam saat berada di pelukan Angkasa. Angkasa membiarkan gadis itu diam, memberinya waktu sebelum ia mulai berbicara.

"Kamu kerja di tempat mas Bian ya, mas?" Napas gadis itu masih belum teratur.

"Siapa bilang? Aku ngerjain skripsi tadi." Oke, Angkasa masih belum mau jujur.

"Mas?" Juli menjauhkan diri. Ia kemudian menatap Angkasa dengan tatapan tidak suka.

"Tadi Sasa bilang sendiri ke aku, aku juga lihat foto kamu pakai baju pelayan di sana. Bener kamu kerja?"

Angkasa menghela napas lemah. Sudah tidak bisa ia tutupi lagi. Juli sudah tahu semuanya.

Juli masih menunggu jawaban Angkasa. Ia menatap Angkasa dalam, meminta penjelasan. Lalu setelahnya Angkasa mengangguk meski ragu.

"Iya. Aku part time di tempat Bian." Jawabnya pelan. Juli mendesah.

"Pemasukan kita menurun karena bengkel lagi sepi. Bulan depan kita harus bayar uang kuliah lagi, jadi aku harus cari tambahan kerja lain." Lanjut Angkasa.

Angkasa menghela napas, "Tapi kamu nggak usah khawatir, aku kerja di kafe Bian mingguan kok. Kalau pemasukan kita udah stabil, aku janji untuk berhenti kerja."

Jawaban itu membuat Juli kembali terisak. Ia menutup wajahnya kembali, tapi Angkasa menahannya.

"Kenapa kamu nggak bilang dari awal sih, mas?" Juli mendesah lemah.

"Maaf... Aku nggak mau kamu ikut kepikiran." Angkasa menyelipkan anak rambut Juli ke telinga yang menutupi wajah gadis itu.

"Kalau gitu aku bayar uang kuliah pakai uang aku aja, atau minta sama ayah pasti mau bantu kok." Ujar Juli.

Angkasa menatap Juli, ia mengusap lengannya pelan. "Nggak usah ya? Sekarang kamu itu tanggung jawab aku. Jadi biar aku aja."

Juli mengusap wajahnya. "Aku nggak berguna banget ya, mas? Aku cuma bisa buat susah kamu aja, kan?" Air matanya masih turun. Hidungnya memerah.

Angkasa mengangkat tangan untuk menghapus air mata Juli yang kembali turun ke pipi. "Hey,"

"Aku kerja aja ya bantuin kamu?"

Angkasa menggeleng cepat, "Nggak boleh." Tangannya masih menangkup wajah Juli.

"Dengar aku," Ia menatap Juli dalam. "Aku nggak mau kamu ikutan capek. Aku aja yang kerja."

"Tapi aku merasa bersalah banget sama kamu."

Angkasa mengambil napas dalam. "Kamu di rumah aja." Ia mengambil kedua tangan Juli.

Angkasa menatap Juli. "Kamu cukup di sini sama aku. Dukung dan kasih aku semangat terus. Itu udah cukup buat aku."

Angkasa membawa satu tangan Juli ke dadanya setelah ia mencium punggung tangannya. "Selama aku masih sama kamu, aku akan baik-baik aja."

MomenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang