Saat sampai di depan kafe Bian, Juli segera melepas seat belt dan keluar dari mobil. Ia sedikit berlari untuk menghampiri Bian yang sudah bersandar di pintu mobil menunggunya.
"Mas Angkasa dimana?" Tanya Juli. Ia terlihat sangat panik.
"Lo langsung masuk aja." Ujar Bian pelan. Juli langsung menuruti, ia masuk ke dalam kafe yang sudah gelap dan tutup.
Juli berjalan pelan, ia memasuki kafe yang gelap dengan hati-hati. Ia tidak bisa melihat keadaan kafe dengan jelas karena hanya ada sedikit cahaya yang masuk menerobos pintu kafe.
"Mas?" Juli mencoba memanggil Angkasa yang sama sekali belum Juli lihat.
Juli kembali melangkahkan kakinya ke depan. Ia masih mencari Angkasa dengan tangannya yang ikut meraba sekitar.
"Mas Angkasa?" Panggilnya lagi.
Tidak ada sahutan dari dalam kafe itu. Seolah memang itu hanya bangunan gelap yang tidak ada penghuninya. Tapi, mana mungkin Bian berbohong? Untuk apa?
Juli memutar tubuhnya, ia berniat untuk keluar kafe dan menanyakan kepada Bian, jika laki-laki itu masih ada di sana. Tapi baru satu langkah kaki Juli menginjak lantai, satu per satu lampu kafe itu tiba-tiba menyala. Berurutan hingga perlahan Juli dapat melihat keadaan di dalam kafe.
Juli mengurungkan langkahnya keluar, ia menatap sekeliling kafe sambil memutar tubuhnya kembali. Mengamati tiap nyala lampu yang sepertinya memang didesain sangat indah.
Mata Juli kemudian menangkap sosok laki-laki yang tidak ada kabar seharian itu. Laki-laki itu tersenyum, tubuhnya bersandar pada kabinet tempat kasir.
What is he doing?!
Bisa-bisanya ia tersenyum manis setelah membuat Juli seharian ini tidak tenang?
Angkasa berjalan mendekati Juli. Ia merentangkan kedua tangannya lebar untuk memeluk perempuan itu. Tapi bukan pelukan hangat yang ia dapat, Juli mengayunkan tasnya ke lengan Angkasa.
Bugh.
"Jahat banget tau nggak?!"
Bugh.
Sekali lagi, Juli memukul lengan satunya. Tanpa ampun ia melampiaskan kekesalannya pada laki-laki itu.
"Sumpah! Kamu tuh manusia paling nyebelin!!" Juli mengumpati Angkasa sambil terus memukuli tubuh laki-laki.
Meski menahan panas dan sakit di sekitar lengan, Angkasa merengkuh tubuh Juli. Ia mendekap Juli dengan hangat.
"Hey!" Ia mengusap punggung Juli agar tenang. "Sorry."
"Seneng banget ya kamu lihat aku seharian khawatir?!" Juli mengeluarkan semua kekesalannya pada Angkasa.
Ia menangis sejadi-jadinya di dada Angkasa. Ia pikir telah terjadi sesuatu yang buruk pada laki-laki itu, atau yang paling buruk ia akan kehilangan Angkasa karena sikap kekanakannya.
"Maaf, aku lupa ngabarin kamu. Aku bahkan lupa handphone aku dimana." Angkasa melepas pelukannya. Ia menyeka air mata yang membasahi pipi Juli.
"Kamu keterlaluan tau nggak!" Juli menatap Angkasa lemah. Angkasa meringis, tapi ia merasa lega. Setidaknya Juli masih memikirkannya.
"Maaf, sayang." Angkasa meraih kedua tangan Juli lalu menciumi punggung tangannya lembut. Lalu beralih merengkuh kedua sisi wajah Juli.
Ia menatap mata Juli hangat. "Happy 1st anniversary, Jul." Ujarnya pelan.
Juli mengerjap beberapa kali. Tanggal berapa ini?
Astaga, Juli melupakan tanggal penting ini karena sibuk memikirkan Angkasa seharian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Momen
RomanceJuli sama sekali tidak berpikir hidupnya berubah saat ia baru memasuki perguruan tinggi. Orangtuanya meminta untuk menikah dengan anak sahabat mereka. Karena Juli sangat menyayangi ayahnya, maka ia tidak bisa menolak. Angkasa sangat kaget saat salah...