tigapuluhsatu

2.1K 172 7
                                    

Angkasa menahan Juli yang baru saja turun dari ranjang. Gadis itu berniat untuk mengambil piring dan gelas di dapur. Malam ini Angkasa pulang dengan membawa roti bakar dan susu segar yang aromanya sangat menggoda.

"Nggak usah pakai piring, makan di balkon aja biar nggak kotor."

Angkasa berjalan lebih dulu membuka pintu penghubung, lalu mempersilakan Juli keluar.

"Kamu udah mandi, mas?" Juli berhenti saat ia berada di samping Angkasa. Matanya memicing.

"Udah, ya ampun." Angkasa mengangkat tangannya. "Nih, cium."

Juli segera menghindar dan duduk di salah satu kursi.

"Kamu belinya banyak banget." Juli membuka bungkus roti bakar.

Angkasa baru saja duduk di samping Juli. Mereka terhalang oleh meja kecil.

"Ya kalau beli satu biji doang nggak boleh."

Juli mendengus lalu mengambil satu roti dan mulai memakannya.

Mereka menikmati roti bakar dengan ditemani semilir angin malam. Semenjak menikah, Juli jadi sering tidur di atas jam sepuluh. Ia selalu menemani Angkasa saat laki-laki itu lembur, padahal Angkasa sudah memintanya untuk tidur lebih dulu.

"Kamu punya cinta pertama?" Angkasa bertanya setelah melahap roti rasa keju.

Juli yang menyeruput susu pun menoleh, ia mengerutkan kening bingung. "Kalau mas?" Ia bertanya kemudian.

"Ditanya malah balik nanya." Tapi Angkasa mengangguk setelahnya.

"Kapan?"

"Dulu waktu masih SMA." Ia kemudian meminta Juli menjawab.

Juli tampak berpikir, lalu berdeham. "Udah lama banget. Kayaknya waktu SMP. Itu juga mungkin cuma cinta monyet."

Angkasa mengangguk-anggukkan kepala. Ia meraih plastik susunya. "Kalau, mas... Sekarang masih cinta sama dia? Cinta pertamanya mas itu?" Juli bertanya.

Tidak salah, kan? Ia juga masih ingin tau perasaan Angkasa sebenarnya padanya.

Juli sedikit lega saat Angkasa menggeleng.

"Terus sekarang cintanya sama siapa?" Pertanyaan konyol itu keluar dari bibir Juli tanpa ia pikirkan terlebih dahulu.

Angkasa menghabiskan rotinya yang tinggal setengah. Lalu meneguk susunya sampai habis. Juli menghela napas. Sepertinya betul kata Sasa. Ia tidak perlu penasaran dengan perasaan laki-laki ini.

"Kamu mau tau nggak alasan kenapa waktu ayah minta aku menikahi kamu, aku bersedia?"

Juli menoleh lalu menggeleng. "Karena nurut papi sama mami mungkin." Ia mengendikkan bahu.

"Nggak. Nggak gitu."

Juli menaikkan alisnya meminta jawaban.

"Pertama kali waktu ospek kampus. Ingat nggak siapa yang marah-marah karena slayernya nggak sengaja kesenggol?"

Juli meringis. Duh, masih ingat aja.

"Habis marah-marah terus malu. Nggak tau kalau yang dimarahin ternyata ketua panitia." Angkasa tergelak.

"Saat itu aku merasa ada sesuatu kalau dekat kamu. Kamu yang lucu, galak, dan gemesin kalau marah. Semuanya aku suka."

"Setelah dipikir juga, kayaknya aku nggak salah pilih kamu." Ia mengangkat tangannya untuk menjangkau kepala Juli, mengelus rambutnya pelan.

Di dalam kamar mandi, Juli masih belum bisa menyimpulkan perkataan Angkasa tadi. Ia masih belum paham.

Jadi, perasaan mas Angkasa itu gimana?

MomenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang