duapuluhdua

2.3K 157 3
                                    

Di tengah panas matahari yang terik, Juli menuruni anak tangga rumah setelahnya ia berjalan ke ruang tengah. Ada ibu dan Septian di sana. Mereka sedang menonton televisi setelah makan siang.

"Mau kemana, Jul?" Tanya ibu heran melihat wajah putrinya itu sedikit berbeda dari kemarin-kemarin.

"Ke Gramedia sebentar, Bu. Lihat-lihat buku," balas Juli singkat sambil menyalimi ibu.

Septian yang sedang bermain game berhenti sebentar. Ia menatap kakaknya.

"Gue temenin, mbak?" Tawar Septian. Bukan apa-apa, ia hanya ingin memastikan kakaknya itu aman—seperti yang pernah Angkasa minta.

Juli tampak berpikir, lalu kemudian mengangguk. "Boleh deh. Daripada sendirian."

"Ambil jaket dulu," pamit Septian lalu sedikit berlari kecil ke kamarnya.

Setelah kembali, mereka berdua pamit pada ibu dan meninggalkan rumah.

Sepanjang perjalanan menuju Gramedia, Septian dibuat heran oleh tingkah aneh Juli. Dari mulai Juli melamun, lalu tersenyum sendiri. Begitu seterusnya sampai ia menegurnya.

"Mbak? Kenapa sih lo? Gue jadi parno deh." Ujar Septian, lebih tepatnya bertanya keadaan kakaknya.

Juli tersadar dan menoleh ke Septian. Ia menatap adiknya bingung.

"Kenapa apanya?" Ia malah balik bertanya.

Septian mengendikkan bahu. Ia memilih fokus menyetir dan membiarkan Juli dengan kegiatan.

Tak lama mereka berdua sampai ke Gramedia. Mereka berpisah sesuai dengan kategori buku yang diminati. Juli ke arah buku pengetahuan umum. Septian entah kemana.

"Lho, Juli?" Suara itu membuat Juli menoleh saat sedang memilih buku.

Ia menatap orang di depannya, "Oh, hai. Wid." Widi tersenyum ia juga tampak sedang memilih buku.

"Sama siapa ke sini?" Tanya Widi pelan.

"Sama adek," balas Juli singkat, "Kamu sendiri sama siapa?" Ia balik bertanya.

Widi tidak menjawab. Ia menoleh saat namanya dipanggil seorang perempuan. Perempuan itu berjalan ke arah mereka.

"Oh, pacar." Juli paham sendiri. Tak lama Widi pamit dan Septian datang dengan dua buku bacaan.

"Siapa tuh, mbak?" Tanyanya. Ia menyerahkan buku tersebut kepada Juli untuk sekalian dibayarkan di kasir.

"Temen kuliah," jawab Juli singkat. Ia berjalan ke antrian kasir. Septian masih mengikuti.

"Kirain siapa," bisiknya. Juli menoleh tak paham.

"Ya kali aja gebetan gitu."

Juli memutar bola matanya kesal, "Ya, nggaklah."

Septian terkekeh, "Iya, iya. Yang udah punya mas Angkasa banget."

***

Malam ini Juli dan keluarga makan malam bersama. Mungkin kebiasaan ini berkurang bagi Juli karena ia sudah jarang tinggal di sini sejak menjadi istri Angkasa.

Banyak lauk-pauk yang dihidangkan di atas meja. Ibu mulai mengambilkan nasi untuk ayah. Begitu seterusnya sampai bagian Septian.

"Makan yang banyak, Jul. Ibu sengaja masak banyak makanan kesukaanmu." Jelas ibu sambil menunjuk lauk-pauk yang tampak sangat lezat.

Bukannya Juli yang mengambil, tangan Septian terulur mengambil ikan sambal ijo yang begitu menggiurkan.

"Asep, itu buat kakak kamu, ih." Ibu menatap Septian kesal.

Septian mendengus, "Ibu mah gitu."

"Iya Asep balikin. Tapi nanti. Tulangnya doang." Lanjutnya sebelum melahap ikannya.

"Nggak apa-apa, Bu. Masih ada yang lain." Sahut Juli mengambil lauk yang lain.

"Angkasa gimana kabarnya, Jul?" Ujar ayah setelah selesai dengan makannya.

"Baik, yah. Mungkin seminggu lagi pulang." Jawab Juli di sela makannya.

Suasana kembali hening. Setelah selesai makan, ibu dan Juli membereskan meja makan. Ayah dan Septian duduk santai di ruang tengah.

Sekarang ibu dan Juli juga ikut duduk di ruang tengah sembari menikmati tayangan televisi. Ibu menepuk pelan pundak Juli karena ingat sesuatu.

"Si ganteng kok jarang ngasih kabar ya, Jul. Ibu nggak pernah dengar dia telepon." Tanya ibu pada Juli.

Juli sempat mengerutkan kening bingung. Si ganteng? Lama Juli berpikir akhirnya ia sadar.

"Angkasa maksudnya?" Ibu mengangguk antusias.

"Beberapa hari yang lalu telepon, kok." Balas Juli singkat, ia tidak mungkin mengatakan Angkasa teleponnya setiap tengah malam, kan?

Ibu hanya manggut-manggut lalu kembali menonton televisi. Tak lama ayah berdeham.

"Manggilnya masih nama?" Giliran ayah yang bertanya.

Kali ini Juli benar-benar tidak tau maksud ayahnya itu.

"Maksudnya, yah?"

"Kalian masih manggil nama masing-masing?" Oh, Juli paham. Ia mengangguk.

"Yang sopan dong, Jul. Angkasa kan udah jadi suami kamu. Manggilnya yang bagusan dikit gitu." Ibu menambahi.

"Beb gitu ya contohnya, Bu?" Kali ini suara Asep yang sibuk main game ikut mengisi.

Ibu yang duduk di sofa mendorong pelan kepala belakang Septian yang duduk di bawahnya, "Itu kan kamu sama cem-cemanmu!"

Juli mengusap tengkuknya kasar. Kenapa dari tadi bahas Angkasa mulu sih?

"Terus manggil apa dong?" Jujur Juli bingung mau manggil apa. Panggilan semacam sayang, beb, honey, dan yang lain sungguh membuatnya geli sendiri.

"Ya apa kek. Mas, gitu." Ibu memberi saran yang sepertinya pas. Tapi selama ini Abang tukang martabak dekat kampus juga ia panggil mas. Apa istimewanya?

Juli menghela napas pelan, "Ya udah deh. Besok Juli coba biasain manggil."

"Cek sound dulu coba." Sahut Septian. Ia bermain game masih bisa-bisanya mengerjai kakaknya.

"Apa?" Juli bertanya tidak paham.

"Itu, manggil masnya."

"Mas Angkasa?" Juli nurut saja dikerjai Septian.

"Anjir, harusnya tadi gue rekam." Septian tertawa sendiri. Ia merasa lucu saat Juli mengucapkannya.

Ibu kembali mendorong kepala belakang Septian, "Ngomong kasar lagi psmu ibu loakin, ya?!"

Septian mengaduh lalu meminta maaf kepada ibu. Ia merengek agar PS nya masih aman di tempatnya. Sedang ayah dan Juli hanya tertawa melihat keduanya.

***
Berlanjut.
Jun, 2020

Terimakasih 3K reads❤ semoga suka. Jangan lupa bagi votenya yah.

MomenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang