"Oh, iya. Aku lupa tanya." Ujar Juli setelah mereka berdua bergabung di atas ranjang.
Sekarang sudah pukul sepuluh malam, mereka baru akan tidur setelah menghabiskan sisa cupcake dan eskrim yang Angkasa beli.
"Tanya apa?" Angkasa melepas kaos dan menyampirkannya di kepala ranjang. Ia lalu berbaring.
"Tumben mas pulang cepet tadi?"
"Aku udah nggak kerja di kafe Bian. Bengkel udah mulai rame, anak-anak juga udah bisa handel. Jadi aku pulang aja, capek." Jelas Angkasa.
Mata Juli berbinar, "Beneran?!" Ia merapikan selimut lalu ikut berbaring.
Angkasa mengangguk, "Uang kuliah juga udah aku bayar."
Juli menoleh ke Angkasa. Ia mengubah posisi tidur menjadi menyamping. Tangannya terulur menyentuh pipi Angkasa, menepuknya berkali-kali, "Makasih." Ia tersenyum manis.
Angkasa menggenggam tangan Juli yang berada di pipinya lalu membawanya mendekati bibir, mencium punggung tangannya hangat.
"Besok aku izin mau nganter Sasa ke toko buku ya, mas?"
Angkasa menggerutu, "Minta ditemenin kamu terus, nggak punya gandengan apa?" Angkasa mengubah posisinya menjadi menyamping.
"Yaudah sih biarin, lagian dia kan cewek. Kamu nggak wajib cemburu." Tangan Juli menyentil kening Angkasa.
"Siapa yang cemburu?" Tangannya masuk ke dalam selimut, melingkari perut Juli.
"Orang di depan aku."
"Nggak, ya! Tanpa kamu kasih tau, aku yakin kamu nggak akan berpaling ke cowok lain."
Juli merengut. "Pede gila kamu." Cibirnya.
"Iyalah, secara aku ganteng, punya penghasilan sendiri, perhatian. Apalagi coba kurangnya?" Ujar Angkasa membanggakan diri, membuat Juli memutar bola matanya jengah.
"Nyebelinnya ketinggalan." Sahut Juli. Mereka terkekeh bersama.
"Langit apa kabar ya, mas?"
Tiba-tiba Juli teringat Langit. Padahal baru beberapa hari yang lalu ia bertemu dengannya. Entah mengapa Juli dan Langit terlihat begitu dekat dan akrab. Langit tampak nyaman bersama Juli, padahal kalau bertemu orang asing ia sering tantrum.
"Langit terus yang kamu kasih perhatian." Angkasa mengerutkan bibirnya.
Juli menghela napas, "Ya kan kamu udah di depan aku, sehat wal afiat tanpa kurang suatu apapun."
"Dimana-mana yang dicari itu yang nggak ada." Lanjutnya.
Angkasa berdeham, ia mengeratkan pelukannya. "Enaknya nanti kalau punya anak kita dipanggil apa ya, sayang?"
Astaga, Juli salah memilih topik pembicaraan!
"Masih jauh, mas." Sebenarnya Juli sudah mulai mengantuk, tapi ia masih menanggapi Angkasa.
Angkasa mengangguk, ia dan Juli memang sepakat untuk menikmati waktu berdua dulu dan fokus untuk menyelesaikan kuliah. "Iya, kan aku bilang, nanti."
"Enaknya apa?" Juli balik bertanya. Matanya sudah mulai sedikit terpejam. "Mami, papi? Ayah, ibu?" Lanjut Juli. Tangannya sibuk menyisir rambut Angkasa yang mulai panjang.
Angkasa mendecak. "Udah pasaran. Yang beda dong."
Juli diam sejenak, tampak berpikir.
"Gimana kalau mima sama pipa?" Tiba-tiba Angkasa mencetuskan ide yang membuat mata Juli terbuka seketika.
KAMU SEDANG MEMBACA
Momen
RomantikJuli sama sekali tidak berpikir hidupnya berubah saat ia baru memasuki perguruan tinggi. Orangtuanya meminta untuk menikah dengan anak sahabat mereka. Karena Juli sangat menyayangi ayahnya, maka ia tidak bisa menolak. Angkasa sangat kaget saat salah...