lima

3.7K 233 1
                                    

Pagi yang cerah untuk mami dan keluarga. Pukul tujuh pagi mereka sudah berkumpul di meja makan untuk sarapan. Bulan dan anaknya yang masih berusia kurang lebih satu tahun juga sudah datang, setelah kemarin menghubungi mami.

"Tumben udah nangkring di sini pagi-pagi," ucap Angkasa yang menuruni anak tangga sambil memainkan handphonenya.

Dari lantai atas, ia mendengar celotehan ponakan dan ibunya yang jelas sangat mengganggunya. Niatnya ingin tidur sampai siang tapi ia urungkan.

"Kemana Mas Rahen?" Tanya Angkasa setelah duduk di depan Bulan.

"Ya kerjalah. Emang situ yang jam segini baru bangun. Itupun harus dibangunin dulu sama istri." Ledek Bulan pada Angkasa.

"Ya suka-suka gue lah. Kok lo yang sewot." Bukan Angkasa kalau tidak menjawab.

Tak lama papi keluar dari kamar. Mami dan Juli membawa beberapa mangkuk dan piring berisi makanan yang cukup banyak.

"Widih, banyak amat, mi."

Mami duduk di samping papi, Juli duduk di samping Angkasa.

"Iyalah, mumpung pada kumpul tau." Jawab mami sambil mengambilkan nasi.

Mereka kemudian menikmati makanan dengan tenang.

"Undaaa," suara itu mengagetkan semua orang yang berada di ruang makan. Langit, anak Bulan yang baru berusia satu tahun, datang dengan baju yang sangat kotor terkena lumpur tanah.

"Hey, kenapa sayang?" Tanya mami setelah meneguk air minum.

"Nenn," Langit mengangkat tangan ke arah Bulan, ingin digendong.

Semua orang menghela napas lega. Mereka kira terjadi apa-apa pada anak itu, ternyata hanya ingin makan.

Bulan berdiri lalu mengajak anaknya untuk berjalan ke kamar mandi, "Oke, kita mandi dulu,"

***

Malam ini sangat panas. Bahkan alat pendingin sudah dinyalakan tetapi tidak terasa. Angkasa mendesah pelan, ia terbangun kemudian bersender di kepala ranjang.

"Gerah banget," ia mengacak-acak rambutnya kesal. Padahal ia sudah melepas semua bajunya. Tapi kenapa tetap saja panas?

Juli berada di dalam kamar mandi sedang membersihkan badan. Saat ia keluar, pintu kamar berbunyi. Ia segera berjalan ke arahnya.

"Kenapa mbak?" Tanya Juli usai pintu terbuka.

Bulan berdiri sambil menggendong Langit yang rewel ingin turun.

"Mau pamit kita." Ujarnya, "Angkasa mana?" Bulan memajukan kepala ke arah dalam.

"Ngapain lo?" Tanya Angkasa yang sudah tiba-tiba berdiri di samping Juli, ia sudah memakai kaos. Kalau tidak, pasti akan menjadi bulan-bulanan kakaknya.

"Pamit doang kok. Okay Lang, kiss aunty Jul and uncle Sa." Perintah Bulan pada Langit yang merengek tidak mau. Sepertinya ia masih ingin bersama Angkasa dan Juli di rumah mami.

Juli meringis, Langit semakin merengek ingin turun.

"Kayaknya... Langit di sini dulu nggak apa-apa, mbak." Entah pikiran dari mana itu yang membuat Juli mengatakannya. Jelas Angkasa menoleh tak terima.

Sebelum Angkasa ingin memprotes, Langit sudah lepas dari ibunya dan berlari ke arah ranjang.

"Beneran nggak apa-apa? Oke makasih, ya." Itu yang diinginkan Bulan sebenarnya. Ia kemudian berbalik dan Angkasa menutup pintu sedikit keras.

"Kenapa bilang gitu, sih?" Angkasa cemberut. Suasana yang panas akan bertambah kacau saat anak kecil yang susah tidur itu di kamarnya malam ini.

"Yaudah, sih. Sama keponakan sendiri juga,"

"Sayang, Langit. Sini!" Panggil Juli. Langit yang bermain di meja rias menoleh. Anak itu tersenyum lalu berlari ke arah Juli sambil merentangkan tangannya.

Juli mengangkat tubuh Langit ke atas ranjang, "Udah malam, waktunya bobo."

Langit bergerak ke tengah. Angkasa tengkurap di sampingnya. Juli mematikan lampu utama dan menyalakan lampu tidur.

Mereka berbaring bersama. Juli menghadap Langit dan memeluknya. Ketika dua orang itu ingin tertidur, anak kecil itu masih mengoceh membuat Angkasa mendengkus.

Ia berbalik lalu mengulurkan tangannya sampai ke punggung Juli. Posisi mereka sekarang saling memeluk dengan Langit di tengahnya.

"Lang bobo ya,awas kalau nggak bobo. Nanti digigit uncle Sa." Gumamnya. Lalu ia tertidur.

Aku yang jadi nggak bisa tidur.

***
Dilanjut.
Apr, 2020

MomenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang