empatpuluhdua

2.1K 145 2
                                    

Jumat ini Juli terpaksa mengikuti acara wajib yang diadakan oleh program studi. Ia menggeram kesal saat membaca balasan pesan dari Septian.

Adik laki-lakinya itu mengatakan tidak bisa menjemput karena ada les tambahan. Tidak enak juga kalau Juli meminta ayah keluar malam untuk menjemput. Pesan ojek online juga ia tidak berani. Sudah dua puluh menit Juli duduk di halte bus kampus di depan gedung fakultas.

Juli mengamati jalanan kampus yang sedikit basah karena hujan. Ia sibuk berpikir. Apa ia menginap ke kontrakan saja? Ah, tapi ia tidak membawa kuncinya. 

Tak lama ada sebuah motor menghampirinya. Pengendara itu berhenti di depan Juli. Menatap sang pengendara yang baru saja membuka helm, Juli mendengus.

Ngapain dia ke sini sih? Kenapa juga dia tau kalau aku di sini?

"Ayo pulang," ajaknya.

Juli masih enggan menanggapi, ia memalingkan wajahnya ke arah lain. Angkasa kemudian duduk di samping perempuan itu. Ia menunggu sangat lama dan Juli sama sekali belum ada pergerakan.

"Udah malam ini. Kalau kamu susah diajak pulang, kita sampai rumah tambah malam." Ujar Angkasa pelan. Ia mengetuk-ngetukkan kakinya di aspal.

"Ngapain ke sini?" Akhirnya Juli bersuara.

"Jemput, lah."

Angkasa berdecak karena Juli masih belum mau pulang bersamanya. "Udah, ayo. Ngambeknya dipause dulu. Lanjutin besok." Ia menarik tangan Juli dan mendekat ke  motornya.

Sebelum Juli naik ke motor, Angkasa melihat pakaian yang dikenakan oleh Juli kemudian ia sedikit mendecak. Tangannya dengan cepat melepaskan jaket yang ia kenakan.

"Nggak usah!" Juli menatap Angkasa garang saat laki-laki itu menyampirkan jaketnya ke tubuh Juli.

"Pakai aja!" Juli sedikit terkesiap saat Angkasa membalasnya dengan tak kalah garang. Kenapa jadi dia yang lebih galak?

Mereka melewati sepanjang jalan dari kampus ke rumah ibu dengan diam. Saat Angkasa menawarkan untuk menginap di kontrakan, Juli lebih dulu menyela ingin pulang ke rumah ibu. Jalanan yang mulai sepi menambah intensitas hawa dingin.

Beberapa kali helm Juli menabrak helm belakang Angkasa. Tampaknya Juli sudah sangat mengantuk. Angkasa berhenti di lampu merah, ia menunggu pergantian warna lampu sambil menarik tangan Juli dan melingkarkannya ke perutnya sendiri. Menggenggam, mengelus, dan menepuk-nepuk pelan secara bergantian.

Juli sama sekali tidak menolak. Angkasa dapat melihat mata Juli yang sudah terpejam lewat kaca spion. Dagu gadis itu menempel di antara pundak dan ceruk lehernya.

Kalau saja Angkasa tahu, Juli sama sekali belum tertidur. Ia hanya pura-pura memejamkan mata. Sengaja menikmati momen yang sudah banyak ia lewatkan bersama laki-laki itu karena ketakutannya sendiri.

Takut Angkasa tiba-tiba meninggalkan, takut kalau ia tidak cukup baik untuk Angkasa, sampai takut dengan perasaannya yang telah muncul lama. Banyak juga ketakutan lain yang ada di kepala Juli.

Beberapa hari ke belakang, Juli sama sekali tidak ingin melihat Angkasa. Ia selalu mencari-cari alasan agar bisa menghindari laki-laki itu. Tapi, jauh di lubuk hatinya, sungguh ia merindukan keberadaan Angkasa di sisinya.

Juli selalu ingat pesan ayah. Tidak semua orang terdekat kita akan selalu menemani kita. Ada saatnya mereka pergi, baik untuk selamanya atau hanya berganti prioritas. Tugas kita hanya bisa menerima kepergian tersebut.

Tapi kalau untuk sekarang, Juli belum mau Angkasa pergi darinya. Ia masih ingin membuat momen kebersamaan bersama laki-laki itu. Ada yang bilang, nikmatilah waktu kebersamaan yang tersisa sebelum mereka pergi dari kita.

Itu yang Juli lakukan sekarang, tapi, sekali lagi, kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, kan? Bagaimana kalau besok tiba-tiba Angkasa pergi darinya? Siap tidak siap, menerima adalah solusi terbaik.

Juli menggeram saat tangannya tiba-tiba dielus berkali-kali. Niatnya yang hanya pura-pura tidur, malah membuatnya tertidur cukup pulas.

"Maaf, kebangun ya?" Suara Angkasa menyapa Juli yang baru saja membuka matanya secara perlahan.

Juli mengedarkan pandangannya, sekarang ia sudah berada di garasi sebuah rumah bercat biru muda. Masih berusaha mengumpulkan nyawa, Juli mengangkat dagunya dari pundak Angkasa.

Ia tertidur cukup lama hingga tidak tahu kalau sudah sampai tujuan dan apa yang dilakukan laki-laki itu? Tidak membangunkan Juli? Malah membiarkan Juli memeluknya erat dengan badan yang bersandar ke punggungnya. Bisanya selalu mencari kesempatan dalam kesempitan memang.

"Udah sampai." Ujar Angkasa.

"Udah tau." Juli segera melepaskan tangannya dari perut Angkasa.

Ia turun dari motor sambil mendengus. Ia berjalan cepat menuju pintu. Di sana ibu baru saja keluar dan berdiri di samping pintu.

"Baru pulang?" Tanya ibu. Juli mengangguk dan meraih tangan ibu. Perempuan itu kemudian melenggang masuk.

"Jul?" Panggil ibu.

Juli yang sudah berada beberapa langkah di dalam rumah berhenti. Ia membalikkan tubuhnya dengan wajah masam. "Kenapa lagi, bu? Juli udah ngantuk banget nih."

"Itu," ibu menunjuk kepala Juli. "Helmnya masih mau dipakai buat tidur?"

Hah?

Juli segera mengangkat tangan ke kepala. Astaga! Ia sampai lupa melepas helm karena cepat-cepat pergi dari Angkasa.

Ia berjalan sambil melepas helm. Lalu mengulurkannya ke ibu. "Ibu aja yang ngasih."

Perempuan itu segera kembali masuk dan menuju kamar. Ia ingin segera membersihkan diri dan beristirahat.

Juli baru saja selesai mencuci wajahnya. Ia berjalan menuju meja rias sambil menepuk-nepuk wajahnya menggunakan handuk kecil. Baru saja ia ingin membuka tube pelembab wajah, handphonenya menyala.

Ia meletakkan kembali tube itu ke meja dan mengambil handphonenya. Ada notifikasi WhatsApp dari Angkasa. Memang Angkasa sering mengiriminya pesan. Baik saat bangun tidur, jam siang, dan sekarang, waktu mau tidur. Meski begitu, Juli hanya bisa membaca tanpa mau membalasnya.

Halo,
Selamat malam, cantikku.

Seperti yang sudah-sudah, Juli selalu tersenyum saat membaca pesan-pesan yang Angkasa kirimkan. Walaupun kadang memang isinya tidak jelas.

Jaket aku juga mau kamu pakai tidur? Itu belum aku cuci loh.

Juli mengabaikan pesan itu selama beberapa menit.

Bales, kek. Aku tau kamu belum tidur.

Juli membiarkan pesan itu. Ia kemudian menggunakan skincarenya sebelum tidur. Ia senang membuat Angkasa kesal, herannya laki-laki itu belum mau menyerah.

Apa benar ya, kata ayah kemarin?

Lamunan Juli terganggu karena ada notifikasi di handphone yang ia pegang. Ia melangkahkan kakinya menuju ranjang dan melesakkan tubuhnya ke dalam selimut.

Ada kiriman voice note dari laki-laki yang sama. Juli segera mengunduh audio itu dan mendengarkan. Ia mendengarkan suara Angkasa yang lirih dan dibuat lemah lembut.

"Sayang... Aku kangen nih. Ngambeknya kapan game over? Let me tell you, i always miss you with all my heart. Don't you? Kangenin aku dong, manis."

Juli tidak bisa untuk tidak tertawa. Ia menggelengkan kepala saat suara itu berhenti. Dasar raja gombal! Kali ini Juli membalas pesan itu sebelum ia tidur.

Ngarep.com

***
Berlanjut.
Okt, 2020

Jangan lupa votenya yaa. Makasih banyak!

Stay health semua💙

MomenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang