RAGA | 38

437K 30.6K 2.1K
                                    

Ada hal yang lebih penting untuk dipikirkan daripada harus larut dalam kesedihan yang kita rasakan. Pada dasarnya, cinta sejati itu saling memperjuangkan, menjadikan kesetiaan dan kepercayaan itu kunci disebuah hubungan. Namun, terkadang salah satu pihak selalu menuntut akan haknya. Dan tidak semua hak bisa didapatkan. Terkadang, hak itu hanya bisa membuat rasa sakit semakin menyebar luas.

Seperti halnya yang Meisya rasakan saat ini. Gadis itu memang berkewajiban untuk mempercayai Raga. Namun, kepercayaannya selama ini telah dipecah belah oleh Raga. Meisya mempercayai jika Raga tidak akan melakukan suatu hal yang bodoh. Tapi, kepercayaan yang Meisya pegang hancur sia-sia. Raga tidak bisa mengertinya, Raga tidak bisa menghargainya, bahkan iapun tidak mempercayai gadisnya sendiri. Ia malah percaya pada omongan orang lain.

Hak Raga untuk dipercayai pun telah dilepas oleh Meisya, gadis itu sudah tidak perduli akan Raga. Raga sudah membuatnya sakit hati. Raga tidak mempercayainya, bahkan ditaman kemarin Raga malah menuduhnya. Dan sampai pada saat ini cowok itu benar-benar tidak menghubungi Meisya.

Hari Minggu ini, Alira mengatakan bahwa ia akan pergi ke Jerman untuk mengurusi pekerjaannya disana. Meisya terkejut, karena Alira dilempar jauh oleh perusahaannya untuk memantau keadaan disana. Alira menitipkan Zura pada Meisya. Jujur, Meisya keberatan. Takut jika Zura rewel. Namun ia berpikir dua kali, Zura sudah termasuk bukan batita lagi. Dan Zura pun sudah cukup pintar dan menurut untuk diberitahu. Jadi, Meisya mengiyakan permintaan Alira. Toh Alira bekerja juga untuknya. Dan Alira disana hanya dua minggu.

Wina selesai menyiapkan sarapan pagi untuk Alira, Meisya dan Zura. “Kamu berangkat jam berapa?” tanya Wina kepada Alira yang sudah siap dengan kopernya.

“Jam sembilan, Bu.” jawab Alira.

“Ya sudah, sarapan dulu. Jangan lupa pamit sama Zura.”

“Iya Bu.”

“Meisya, Zura, sarapan dulu!” teriak Alira seraya duduk di kursi meja makan. Meisya pun turun masih dengan piyamanya, sedangkan Zura, gadis kecil itu masih belum keluar dari kamar.

“Sya, bangunin Zura dulu gih.”

Meisya pun mengangguk, gadis itu masuk ke dalam kamar Zura dengan wajah khas bangun tidurnya, dengan penutup mata yang masih menempel dikeningnya.

“Ce, bangun! Sarapan dulu. Mau ikut anter Mama gak ke bandara?”

“Enghh—” Zura mulai menggerakkan badannya. “Ikut.” jawab Zura dengan suara seraknya.

“Yuk, makan dulu.” ucap Meisya seraya membantu Zura bangkit.

Meisya dan keluarganya pun memulai kegiatan sarapan paginya. Mereka makan dengan tenang, tanpa bicara sedikitpun. Mereka pun selesai makan, Meisya meminum air putihnya. Lalu menoleh ke arah Alira. “Aku mandi dulu ya Tan, Tante panasin mobil dulu aja.” ucap Meisya dan dibalas anggukkan oleh Alira.

“Ce, mandi dulu ya sama nenek.” ucap Wina.

Zura pun mengangguk, “Oke nek!” seru Zura.

Beberapa menit kemudian, Meisya sudah siap dengan dress simple warna biru muda. Gadis itu menggerai rambut cokelatnya dan mengambil tas juga ponselnya.

“Cecee.” teriak Meisya.

“Iya Nte, Cece dibawahh.” sahut Zura.

“Ayo. Nanti Mamamu ketinggalan pesawat.” ucap Meisya membuat Zura berlari ke mobil.

Meisya pun masuk kedalam mobil dan duduk dikursi depan bersama Alira seraya memangku Zura.

“Jaga Zura ya, Tante titip ke kamu. Kalo ada apa-apa, hubungi Tante segera. Tante bakal langsung terbang ke Jakarta. Kalo gak sempet, minta tolong aja sama asisten Tante, Tante Silvi, masih inget kan?” tanya Alira.

RAGA [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang