Vote.
Komen.
Done?
Ok thanks;))
Eca bertanya setelah yakin bahwa ia tidak pernah memasuki kawasan ini, setelah supir taksi menyebutkan nama daerah ini Eca semakin mengerutkan keningnya. Rasa-rasanya Saka tidak memiliki teman atau kerabat yang tinggal di daerah ini.
"Kamu mau ke mana, Ka?"
Eca bertanya-tanya tanpa jawaban, karena ia sendiri yang akan menemukan jawabannya. Taksi yang ditumpanginya berhenti, sontak saja Eca menatap Lamborghini merah yang berhenti di salah satu halaman rumah dengan cat biru langit. Kali ini Eca menurunkan kaca taksi agar bisa melihat gerak-gerik Saka lebih jelas.
Kacamata besar yang membingkai mata indah gadis itu terlempar hingga pecah menubruk pintu taksi ketika ia melihat seorang gadis dengan rambut sebahu menyambut Saka dengan sebuah pelukan mesra. Saka tersenyum lebar setelah gadis itu melepas pelukannya. Eca mendidih. Saka mengacak puncak kepala gadis itu seperti Saka mengacak puncak kepala Eca. Tanduk seolah mencuat dari kepala Eca. Saka merangkul gadis itu__berjalan beriringan memasuki rumah. Rasanya Eca akan meledak.
Gadis berkuncir dua itu membuka pintu taksi kasar. Berjalan cepat mendekati rumah bercat biru langit. Kemudian berhenti dipertengahan jalan sembari mencengkram dadanya yang bergemuruh hebat, sesak dan nyeri.
Dihantam ribuan sembilu mungkin rasanya semenyakitkan ini. Bahkan kaki jenjangnya sangat sulit untuk digerakan, terasa sangat berat seolah ada beban yang bergelayut di sana.
Eca menggeleng frustasi. Mencoba berpikir jernih. Apa yang ia lihat belum tentu apa yang terjadi. Mata masih bisa dibohongi.
Tapi tetap saja rasanya menyakitkan.
Mata indah berbalut softlens cokelat itu berkaca-kaca, terasa panas saat lelehan air mata menerobos keluar dari kelopak matanya.
Eca memilih untuk melepaskan softlens-nya, memberi kesempatan kepada beberapa penduduk desa yang memperhatikan gadis itu untuk melihat warna asli matanya.
Perlahan langkah yang sempat terhenti itu kembali berderap, semakin mempertipis jarak dengan sebuah rumah bercat biru.
Kedua tangannya menyentuh dinding bagian samping rumah perlahan, mengendap-ngendap saat suara kekasihnya menggema di dalam sana. Eca mengintip melalui jendela, menempelkan sebelah telinganya ke jendela.
"Aku mau jalan-jalan," ucap gadis berambut sebahu manja. Yang dibalas dengan elusan sayang di puncak kepalanya oleh Saka.
Eca membekap mulut menahan isakan.
"Mau banget?" tanya Saka lembut.
"He'em," gadis itu mengangguk. "Tapi kalo kamu gak bisa gak papa. Nanti kalo udah bisa kita harus jalan-jalan," ucapnya dengan cengiran lebar.
"Aku bisa kok, apa sih yang enggak buat pacar aku yang paling lucu ini?" balas Saka sembari menarik pipi gadis itu.
Pacar?
Sekali lagi, PACAR?
"HAHA!"
"HAHAHA!"
"HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA!!" Eca terbahak keras, air mengalir semakin deras dari pelupuk matanya.
Saat itulah Saka menoleh, matanya membulat sempurna melihat keberadaan Eca.
"Ca," gumam Saka 'tak percaya. Cowok itu melangkah ke arah jendela, membuka jendela rumah Inka tergesa-gera kemudian melompat keluar. Inka yang tidak tahu menahu tentang hal yang terjadi saat ini hanya mengekor di belakang Saka, ikut keluar melalui jendela hanya saja tanpa melompat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Goodbye Cupu! [SUDAH TERBIT]
Teen Fiction[Part masih lengkap] Warning⚠ 17+ Eca, tujuh belas tahun, tinggi 170 cm, berkulit putih, berambut pirang, dan berhidung mancung. memiliki sifat pendiam, pemalu dan tidak mudah bergaul. Gadis itu cukup cantik, jika saja kacamata besar 'tak membingkai...