31. Permulaan
"Ca, panas, gerah," keluh Ken sembari memeluk Eca dari belakang. Dia baru saja menyelesaikan hukumannya.
"Udah tahu gerah ngapain peluk-peluk!" sentak Eca galak. Dia memberontak. Ken dengan sengaja mempererat pelukannya.
"Diem, ahh."
"Baju gue jadi basah! Lo keringetan, Ken!" Eca protes, masih saja berteriak kesal setiap kali berhadapan dengan cowok bernama Ken itu.
Ken menoleh, membuat jarak di antara mereka kian menipis. "Gak papa, nanti gue jilatin ampe kering," jawab cowok itu asal.
Eca bergidik jijik. Ken tetap tidak mau melepaskannya dan-
"Kenapa jantung gue jadi cenat-cenut gini di peluk sama tuh ongol-ongol?" tanya Eca dalam hati.
"Lo pake parfum apa, Ca? Wangi bener." Cowok itu mengendus bahu Eca yang menguar harum, sangat segar. Padahal cuaca begitu terik.
Eca meringkuk. Auranya berbeda, padahal Ken masih tengil seperti biasa. "Ken, lepas. Gerah," ujar cewek itu pelan, tidak berteriak seperti sebelum-sebelumnya.
"Gerah banget, hm?" tanya Ken sembari mengurai pelukannya di tubuh Eca. Tangan kekarnya terulur untuk mendorong anak rambut gadis itu ke belakang. Cowok itu cuek-cuek saja menghapus keringat di dahi Eca dengan tangan kosong.
Lupa berkedip. Eca bahkan tidak tahu sejak kapan dia menggigit bibir bawahnya?
Eca tidak bergerak satu inci pun dari tempatnya, hanya matanya saja yang bergulir melirik tangan Ken yang tengah menyentuh rambut pirangnya.
"Kenapa?" tanya Ken saat menyadari manik biru itu memindai tangan kekarnya.
"Gak papa."
"Bohong, pasti apa-apa," Ken menyangkal. Eca mendengus.
Cup!
Manik biru itu seketika melebar, bersamaan dengan mulutnya yang juga menganga lebar. Ken mencium keningnya. Hanya sekilas, tapi sanggup membuat jantung Eca yang sejak tadi cenat-cenut menjadi jumpalitan.
"Sana makan, hari ini lo gak usah nemenin gue makan. Nanti malem aja gue jemput buat dinner," kata Ken tanpa rasa bersalah sedikit pun.
Eca masih diam, seperti manekin.
"Kok diem? Mau gue cium lagi?" Ken mengangkat sebelah alisnya, bibir bawahnya ia jilat sensual seperti laki-laki hidung belang yang tengah menggoda gadis malam.
Tersadar. Eca menampar mulut Ken kemudian berlari pergi. Misuh-misuh tidak terima karena Ken menciumnya tanpa berita.
"Si tengil itu makin songong aja. Nyebelin!" Keluh Eca sembari menghentakkan kaki.
***
Eca pikir Ken bercanda saat bilang akan menjemputnya untuk dinner, tapi tepat jam 07.00 malam ini, cowok itu sudah hadir menampakkan diri di rumah Eca.
"Dandan gak ya?" Cewek itu menatap pantulan wajahnya di cermin. Memakai rok levis selutut dan baju tanpa lengan, dia sudah sangat cantik walau tidak memakai riasan.
"Dandan dikit deh," putus Eca pada akhirnya. Siapa tahu nanti dia bertemu dengan teman-temannya di restaurant atau cafe yang akan dia dan Ken datangi.
Setelah lima belas menit di dalam kamar, Eca turun ke lantai dasar menemui Ken. Di lihatnya cowok itu, tampak anteng duduk dengan setoples camilan di dalam pelukannya sembari mengobrol heboh bersama sang mama.
"Ken, mau jalan sekarang?"
Menoleh, Ken nyaris meneteskan liur melihat Eca yang begitu cantik malam ini. Ahh, purnama saja berlomba-lomba untuk melihat wajah cantiknya.
"Biasa aja, Ken," Grachila menegur. Tersenyum usil menatap pemuda di depannya. "Billa, emang cantik banget kayak mamanya." Lalu wanita itu tertawa.
"Ngh, kita jalan sekarang ya Tante." Ken menyalami Grachila sopan. "Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam, hati-hati ya Ken. Ecanya terlalu cantik malam ini, nanti kamu jatuh cinta lagi."
"Ma," Eca menegur. Sementara Ken tertawa merdu.
"Udah, tante."
"Udah jatuh cinta?"
"Dari dulu," sahut Ken cepat.
"Udah-udah, ayok. Pada gak jelas ihh," kata Eca sembari menarik lengan Ken 'tak sabaran.
"Pelan-pelan, Ca. Gak sabaran banget sih." Cowok ganteng itu terkekeh.
"Gak usah ngomong aneh-aneh sama mama gue, ngerti?"
"Hm," sahut Ken tidak peduli. Dia sibuk menatap wajah cantik Eca yang malam ini diberi riasan tipis.
"Motor lo di mana?"
"Gue gak bawa motor," jawab Ken tanpa mengalihkan pandangannya.
Menghentikan langkah. Eca berbalik, berhadapan langsung dengan Ken. "Terus mau naik apa?"
"Jalan kaki."
"Jalan kaki?" beo gadis pirang itu.
"Heem, cuma sebentar. Soalnya gue parkir di deket taman komplek sini."
"Idiii, kayak halaman rumah gue kurang luas aja. Jangan-jangan lo bawa truk ya?"
"Iya."
"Beneran?" kaget Eca.
"Enggak, Ca," gemas Ken dengan tangannya yang menarik kedua pipi Eca.
"Sha-khit."
Ken melepasnya, beralih mengusap pipi tirus Eca yang sedikit memerah.
"Ihh!" Eca menepis tangan Ken kasar. Dia tidak suka Ken bersikap manis, tidak suka karena lagi-lagi jantungnya berdetak begitu cepat.
***
"Ken? Kita makan di sini?"
"Yap," jawab Ken lalu menggandeng lengan Eca.
"Ini rumah siapa?" Eca belum pernah ke sini sebelumnya. Bangunan megah yang bahkan lebih besar dari rumahnya pun baru kali ini ia lihat dengan kedua matanya.
"Udah masuk aja." Ken menuntun Eca masuk. "Hari ini lo terlalu banyak tanya," bisik Ken di telinga Eca.
Si gadis pirang mendadak bungkam. Hanya hatinya saja yang bertanya-tanya. Ke mana sebenarnya cowok itu membawanya? Ia pikir mereka akan makan di cafe atau restaurant, ternyata bukan.
Dan rumah yang ia masuki ini ... Eca tidak tahu ada rumah yang menyaingi kemegahan rumahnya layaknya rumah Saka. Tapi ini bukan rumah Saka. Pasti bukan.
"Mama, ini calon mantunya udah dateng!" teriak Ken saat menginjakkan kaki di ruang keluarga.
_Tbc_
Absurd banget kayaknya. Tapi yaudah lah ya, lagi ambyar saya.
Semoga suka^^
See u❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Goodbye Cupu! [SUDAH TERBIT]
Teen Fiction[Part masih lengkap] Warning⚠ 17+ Eca, tujuh belas tahun, tinggi 170 cm, berkulit putih, berambut pirang, dan berhidung mancung. memiliki sifat pendiam, pemalu dan tidak mudah bergaul. Gadis itu cukup cantik, jika saja kacamata besar 'tak membingkai...