Bacanya pelan-pelan aja biar gak cepet abis wkwk
24. Sesal
"Non Eca, silahkan masuk."
Eca mengangguk saat seorang pelayan mempersilahkannya masuk. Tanpa banyak bicara cewek berkuncir dua itu menaiki anak tangga dengan segala pikiran yang berkecambuk di kepala kecilnya.
"Gue gak peduli. Enggak. Ini cuma penasaran aja," tekan Eca pada dirinya sendiri.
Sampai di depan pintu gadis itu menempelkan telapak tangannya.
Pintu terbuka. Mungkin benar cowok itu tidak mengubah apa pun tentang Eca, baik di dalam rumah mau pun di dalam hatinya.
Memasuki kamar Saka lebih dalam, kakinya terpaku tepat sepuluh meter dari arah balkon.
"Brengsek," desis Eca penuh amarah.
Di sana Saka berdiri dengan pakaian tidur dan perban yang membalut kepala serta tangan kekarnya. Lebam biru juga terlihat mengerikan di kulit pucatnya. Tapi bukan itu yang membuat Eca serasa terbakar.
"Eca," Eca berbalik saat Inka menyadari eksistensinya.
Yaaa, sepuluh meter di depannya Saka berdiri__berhadapan dengan Inka.
Saka ikut menoleh, terkejut saat gadis yang ditunggunya justru berbalik pergi. Eca pasti sangat marah. Lagi-lagi dia mengecewakan gadis itu.
Eca berlarian kecil menuruni anak tangga. Di belakangnya Saka susah payah menyusul, dengan gadis berambut sebahu yang berteriak mengkhawatirkan keselamatan cowok itu.
Eca tidak peduli.
Dia benar-benar menyesal telah meluangkan waktu berharganya hanya untuk menemui Saka. Seharusnya sejak dulu Eca sadar, hati yang telah terbagi tidak mungkin untuh kembali. Sekali pun Saka mengatakan bahwa dirinya sangat mencintai Eca, bahkan tidak bisa hidup tanpanya, tetap saja ... kehadiran Inka sudah menjadi bayang-bayang 'tak menyenangkan dalam hubungan mereka.
Karena apa pun alasannya, sebuah pengkhianatan memang tidak bisa dibenarkan.
Tadi malam, Saka memang menghubungi Eca, lebih tepatnya video call. Awalnya Eca tidak peduli, tapi saat sebuah foto yang Eca takut-takutkan masuk dalam whatsApp-nya mau tidak mau Eca menjawab panggilan itu. Ternyata yang menghubungi Eca adalah Mr. Harvey__pelayan pribadi Saka.
Entahlah ... Eca tidak bisa berpikir jernih saat layar ponselnya memperlihatkan Saka yang terbaring lemah dengan alat-alat rumah sakit yang menempel di tubuh cowok itu.
Mr. Harvey bilang, Saka selalu mengigaukan namanya. Cowok itu juga keukeuh ingin dibawa pulang karena sejak dulu memang tidak menyukai bau rumah sakit.
Setelah mendengar cerita Mr. Harvey Eca tidak bisa tidur semalaman.
Pada akhirnya pagi-pagi buta dia sudah bersiap dengan topeng cupunya. Niatnya ingin menghibur Saka, Eca ingin kembali menjadi gadisnya walau satu hari saja. Tapi ....
Eca bahkan kehabisan kata untuk memaki cowok itu.
Kacamata bulat yang membingkai manik indahnya berembun, membuat si gadis berambut pirang bahkan tidak bisa melihat dengan jelas.
"Ca, tunggu."
Keras kepala. Saka memang bajingan berkepala batu.
Eca tetap berlari keluar rumah. Saat ini waktu seolah merangkak. Untuk pertama kalinya Eca mengutuk rumah Saka yang terlampau luas.
Ini hanya akan menghambat Eca untuk menghindari Saka.
Ssreettt ....
"Lepas," kata Eca datar tanpa ekspresi, saat Saka berhasil menahan tangannya.
"Jangan salah paham. Aku gak pernah bawa cewek itu ke rumah aku-"
"Cewek itu cewek lo," potong Eca kejam.
Saka masih belum menyerah. "Cewek sinting itu yang maksa buat masuk-"
Eca melotot, menghempas kasar tangan Saka yang mencekal pergelangan tangannya. Melihat darah yang merembes keluar dari perban cowok itu, Eca memalingkan wajah.
"Gak usah ngehina orang. Sintingnya emang sebelas-sebelas sama lo!" Sama dong?
Menghela napas, Saka bersimpuh di hadapan Eca. "Salshabilla, satu-satunya perempuan yang aku cinta itu cuma kamu, gak ada yang bisa gantiin posisi kamu di hati ak-"
"Perlu gue potong lidah gak berguna lo biar gak usah ngucapin kata-kata kosong kayak gitu?" sinis Eca pada Saka.
Saka diam. Inka juga sejak tadi memilih diam. Semut-semut di rerumputan ikut diam.
"I already don't know you."
Kalimat terakhir yang Eca ucapkan sebelum pergi berhasil memukul telak seorang Saka Bagaskara Wijaya. Hari ini ... seberkas harapannya sirna. Dunia runtuh tepat di bawah kakinya.
***
"Queen!!!"
Refleks saja Eca menjauhkan ponselnya. "Apaan sih?! Gak usah teriak bego. Gue gak budeg!"
"Lo tau? Gara-gara lo mecahin kaca mobil gue, uang jajan gue ampe jebol. Gue beli Lamborghini gak serebu-dua rebu ya! Gue perkosa juga lo lama-lama!-"
"Woy-?!" teriak Eca terengah-engah. Kesal, karena Ken selalu menyulut emosinya.
"Lo-"
Tut.
Memutus panggilan sepihak. Eca melempar ponselnya asal dan justru menghantam kacamata bulat miliknya hingga pecah. Sial.
Hari ini buruk. Ahh, lebih tepatnya manusia yang ia jumpai hari ini terlalu buruk.
_Tbc_
See u❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Goodbye Cupu! [SUDAH TERBIT]
Teen Fiction[Part masih lengkap] Warning⚠ 17+ Eca, tujuh belas tahun, tinggi 170 cm, berkulit putih, berambut pirang, dan berhidung mancung. memiliki sifat pendiam, pemalu dan tidak mudah bergaul. Gadis itu cukup cantik, jika saja kacamata besar 'tak membingkai...