30. Lipatan Surat
Saat cahaya matahari berusaha mengintip wajah tampannya, cowok itu justru sibuk dengan lamunannya.
"Ini udah hari ke sepuluh. Kenapa Caca belum jatuh cinta juga ya sama gue?"
"Ahhh, Caca ya?" Ken tersenyum lebar ketika mengingat nama panggilannya untuk Eca. Dengan tidak sabaran cowok itu membongkar tas sekolahnya. Merobek selembar kertas, lalu mulai menggerakan bolpoin di atas kertas itu.
"Kalau nyebelin aja gak cukup buat bikin dia rindu, gue bakal jadi cowok paling manis yang pernah dia temuin di alam semesta, mulai hari ini."
"Ken, udah siang! Kamu gak sekolah?!" teriak sang mama dari balik pintu kamarnya.
"Iya, Ma! Sebentar!"
Selesai.
Ken melipat Kertas itu__membentuk hati kemudian memasukkannya ke dalam saku kemeja.
***
Mengendap-endap seperti pencuri, cowok jangkung itu santai-santai saja walau tahu terlambat hampir setengah jam.
"Udah pada masuk," ujar Ken yang sedang mengintip di balik pembatas sekolah. "Ke kantin aja kali ya?"
Ken yang hendak melompat mendadak berjongkok. Cowok itu memasukan tasnya yang hanya berisi satu buku dan satu pulpen ke dalam seragamnya yang dilapisi almamater. "Buat jaga-jaga kalau ada kesiswaan keliling sekolah," katanya.
Happ!
Dalam sekali lompatan, Ken sudah berpindah tempat ke dalam sekolah. Cowok itu nyelonong ke kantin baru yang baru buka beberapa minggu, lalu duduk memesan secangkir Capuchino untuk mengusir kantuk.
Semalaman ia tidak bisa tidur karena terus memikirkan Eca. Memikirkan perasaannya yang belum juga terbalas.
Apa karena masalalu Eca masih saja menjadi bayang-bayang bagi cewek itu ya?
"Tuhan ... apa ini karma?" Ken bertanya-tanya. "Kalo iya, kok aku gak setuju ya, Tuhan? Bukan apa-apa, aku pernah menyakiti banyak wanita karena mereka sendiri yang nekad mendekat padahal aku sama sekali tidak suka terikat," dia diam sesaat. "Kecuali dengan Eca."
"Intinya bukan aku yang salah, Tuhan." Ken ngotot. Dia itu sebenarnya mengadu pada Tuhan atau curhat pada mangkuk ayam jago di depannya sih?
Sepertinya Ken memang sudah tidak waras. Pantas saja Eca bilang Ken itu gila.
"Bolos lagi, Ken?" tanya wanita itu sembari meletakkan secangkir Capuchino di atas meja.
"Iya, Bun. Tapi kali ini gak sengaja kok," jawab Ken dengan cengiran lebar. Ahh, cowok itu selalu terlihat ceria dengan cengiran lebarnya.
"Jangan sering-sering, ahh. Mentang-mentang pinter."
"Ken gak pinter, Bun. Bunda yang pinter, bisa bikin Ken betah kalo deket-deket sama Bunda." Kali ini Ken mengedipkan sebelah matanya, menggoda ibu kantin yang kerap dipanggil Bunda itu.
"Karena Bunda jual makanan di kantin kan?"
"Hahahaha, itu Bunda tahu."
Ken menikmati Capuchinonya sesantai mungkin, menambah nasi kuning juga sebagai sarapannya. Tidak nyambung memang, nasi kuning dan capuchino, tapi namanya juga Ken kelakuannya pasti aneh-aneh.
Sekitar enam menit setelah menghabiskan sarapannya, Ken tidur pulas di bangku kantin. Benar-benar pulas karena ada seorang wanita berusia dua puluh tiga tahunan yang tengah mengipasi wajahnya.
Saking pulasnya, cowok itu bahkan tidak sadar telah menjadi pusat perhatian tepat ketika bel istirahat pertama dibunyikan.
"Ken," ucap Bu Icha lembut, "tidur terus ya jangan bangun-bangun." Kalimat terakhir dengan nada jengkel.
Murid-murid yang menonton cekikikan, termasuk Eca dan Adela.
"Ken!" teriak Bu Icha tepat di depan telinga Ken karena siswanya yang satu itu belum juga bangun. Tidur lelapnya sudah seperti mati suri saja.
Ken melompat kaget. Wajah bangun tidurnya yang dikagetkan sukses mengundang gelak tawa dari warga sekolah.
Bu Icha berkacak pinggang. Sudah sangat emosi menghadapi siswa nakal yang sama, nyaris setiap hari.
Bengong. Sejak tadi pandangan Ken terkunci pada Eca yang mengumbar tawa.
Tawanya indah sekali ....
Kepang duanya bergoyang seiring dengan tawa gadis itu yang menciptakan sedikit guncangan di kedua bahunya.
Ini hari kedua Eca berpenampilan berbeda atas perintah Ken. Hanya saja hari ini Eca tidak memakai kacamatanya, iris birunya juga masih bisa dinikmati semua kalangan secara cuma-cuma. Tidak tahu kalau nanti Eca sudah jadi milik Ken, mungkin akan ada pungutan pajak bagi orang yang ingin menatap iris biru milik gadis itu.
"Ken! Malah bengong kamu!" sentak Bu Icha sembari menarik telinga cowok itu. Ken menjerit kesakitan.
"Ampun, Bu!"
"Ibu gak tahu harus hukum kamu kayak gimana lagi Ken." Bu Icha geleng-geleng kepala.
"Gak usah dihukum kalo gitu, Bu," sahut Ken sama sekali 'tak merasa berdosa.
"KEN!"
"BU!"
Ken segera membekap mulutnya. Nyengir lebar dengan wajah gantengnya yang dibuat lugu, seperti biasanya. Bu Icha melotot buas. Murid-murid yang menonton lagi-lagi cekikikan. Setiap kenakalan Ken selalu menjadi hiburan tersendiri bagi mereka, dan pastinya mampu menebar tawa.
Memang dasar anak-anak, ada-ada saja kelakuannya.
"Ikut ibu!" Bu Icha menarik siswanya kesal. Ken pasrah.
Walau diseret-seret Bu Icha yang sedang mengamuk, Ken tetap tidak lupa tujuan utamanya masuk sekolah pada hari ini. Meronggoh saku kemejanya, Ken meraih kertas yang ia lipat rapi membentuk hati kemudian menyerahkannya pada sang pujaan hati. Kebetulan Bu Icha menyeretnya melewati gadis itu.
"Baca," kata Ken sepelan mungkin, lalu dadah-dadah.
Eca tidak bisa menghentikkan tawanya, senang sekali melihat Ken disiksa.
"Ini apaan lagi?" kata Eca saat melihat kertas yang Ken berikan.
"Coba buka, deh." Nyaris saja Eca membuka lipatan kertas itu, namun Adela sudah lebih dulu menarik tangannya.
"Makan yuk, laper."
"Eh, iya-iya." Ia memasukkan kertas itu ke dalam saku kemejanya. Menyanggupi ajakkan Adela untuk makan.
_Tbc_
Cek mulmed ya;))
See u❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Goodbye Cupu! [SUDAH TERBIT]
Fiksi Remaja[Part masih lengkap] Warning⚠ 17+ Eca, tujuh belas tahun, tinggi 170 cm, berkulit putih, berambut pirang, dan berhidung mancung. memiliki sifat pendiam, pemalu dan tidak mudah bergaul. Gadis itu cukup cantik, jika saja kacamata besar 'tak membingkai...